Buih Rindu Itu Mengapung di Chao Phraya



Memang tidak banyak kain tenun dan teh hijau di dalam koper. Namun, tangan dan pundakku rasa-rasanya pegal tak keruan. Setelah kulihat sejenak, ternyata ada tanya yang bergelayut, yang sering kali membikin sesak. Tanya itu menjadi oleh-oleh setelah aku bersambang ke Thailand, selama satu pekan, yang kubawa untuk kotaku. Bunyinya: “Kamu tidak bosan begitu melulu?”

Aku tidak mau memaksa siapapun untuk setuju, dalam hal, menjadi jurnalis itu menyenangkan. Karena faktanya, ada yang lebih menyenangkan dari sekadar menjadi seorang jurnalis. Misalnya menjadi pendamping hidup untuk seseorang yang didamba, atau, menjadi salah satu penghuni surga. Itu sangat menyenangkan. 

Tapi, menjadi jurnalis juga. Sebuah profesi yang jika dijalankan dengan benar, akan mendapat imbalan bahagia tiada tara, di dunia, dan akhirat. Begitulah kira-kira.

Jenis kesenangan yang didapat seorang jurnalis, salah satunya, adalah jalan-jalan. Sebuah kegiatan yang banyak disuka orang. Apalagi jika mendapat kesempatan meliput acara di negeri seberang. Medio Maret lalu, aku disuruh demikian oleh atasan. Sebagai jurnalis yang kadang dibuat jenuh oleh Ibu Kota, aku mau saja. 

Thailand adalah negara yang harus aku sambangi. Karena, di negara yang sudah mengalahkan Indonesia di Final AFF 2016 itu, akan digelar sebuah pameran peternakan terbesar se-Asia. Oleh yang membuatnya, pameran tersebut diberi nama VIV Asia 2017. Pihak panitia menjadikan mediaku sebagai salah satu media partner dalam pameran yang digelar dua tahun sekali. Bangkok adalah kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah tahun ini.

Kesan pertama yang kudapat saat menginjakkan kaki di negerinya Mario Maurer itu, adalah suka cita. Padahal, seharusnya biasa saja. Mungkin karena selera humorku saja yang receh. Setiap mendengar warga sana berbicara dengan intonasinya yang khas, aku terkekeh. Entah mengapa. 

Mungkin, Selama di Indonesia, aku terlalu banyak menonton film Thailand bergenre humor, seperi Suckseed, ATM: Er Rak Error, hingga Hello Stranger. Aku memiliki firasat bahwa Thailand adalah negeri yang bersahabat.

Tapi lambat laun kelucuan itu berubah menjadi sebuah kekaguman. Bandara Suvarnabhumi yang megah tersaji di depan mata. Segala sisi nyaris dirangkai secara otomatis untuk melayani siapa saja yang hilir-mudik di dalamnya. Agaknya, Thailand memang serius dalam menghadapi persaingan global, termasuk sektor pariwisata. Mereka berada pada langkah yang tepat dengan menjadikan bandara sebagai gerbang yang meyakinkan, sarat dengan prestise. 

Tak heran jika Negeri Gajah Putih mampu menjadi magnet bagi 32 juta wisatawan selama 2016 lalu. Berbeda jauh jika dibandingkan dengan Indonesia, yang hanya mencapai angka 11,5 juta wisatawan. Padahal, aku berani bertaruh, jika potensi wisata yang dimiliki Indonesia jauh lebih baik.

Salah satu andalan dari bandara yang terletak di Bangkok itu, adalah tersedianya Airport Link, atau kereta yang menghubungkan bandara dengan jantung kota. Fasilitas itu sangat membantu bagi orang-orang yang mencari transportasi cepat dan nyaman. Harga tiketnya pun cukup murah. Jika dirupiahkan, biaya yang harus dibayar untuk menaiki kereta tersebut berkisar antara Rp 6.000-18.000, tergantung jarak yang ditempuh. 

Saat itu, aku menggunakan Airport Link untuk mencapai stasiun Phaya Thai, karena menjadi stasiun transit untuk kemudian berganti kereta, menggunakan Bangkok Mass Transit System (BTS), juga masyhur dengan nama skytrain.  

BTS merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Bangkok. Mode transportasi yang belum dimiliki Kota Jakarta itu, memang keren. Jika dibandingkan dengan Commuter Line, kereta andalan orang Jakarta, BTS boleh jadi sedikit jemawa. Mengapa? Karena begini: BTS sudah hampir melakukan otomatisasi di berbagai sektornya. Tenaga para petugas pun tidak banyak terkuras. 

Selain itu, jumlah kereta yang banyak dan datang tepat waktu, adalah kesenangan bagi orang-orang di saat jam sibuk. Aku yang sering merasakan serangan terbuka dari ketiak orang di Commuter Line, ketika menaiki BTS, bisa bernapas lega. Desain gerbong yang futuristis, waktu tempuh yang tepat, ongkos yang murah, dan, perempuan Thailand yang manis-manis, nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Berbicara mengenai warga Bangkok, sepertinya, kalau dilihat-lihat, mereka lebih cuek dibandingkan warga Indonesia. Misal, dalam hal penampilan, mereka lebih bebas berekspresi, tanpa takut stigma ini-itu. Maka tak heran jika Bangkok kemudian menjadi salah satu pusat mode di Asia. Jika berjalan-jalan di Emporium Mall, atau juga sederet pusat perbelanjaan di daerah Siam, rasanya, sudah seperti berada di sebuah fashion show. 

Tak hanya itu, aku melihat berbagai sudut Kota Bangkok memiliki daya tarik bagi wisatawan. Sampai pasar sederhana yang berisi pedagang kaki lima saja, bisa dipadati para bule yang entah mencari apa. Mungkin benar kata seorang jurnalis yang kukenal di Bangkok. Dia bilang, bahwa pemerintah setempat pintar dalam segi promosi. Mereka benar-benar serius dalam mengembangkan sektor wisata.

Tapi, siapa kira, kalau orang-orang Bangkok ternyata cukup ramah. Mereka tidak menutup diri terhadap para pendatang. Pun dalam soal beragama. Sejauh yang kulihat, mereka tidak anti terhadap agama minoritas, seperti Islam. Buktinya, muslim di sana bebas mengumandangkan adzan. Bahkan, masjid sudah mulai tersebar, meski tidak terlalu banyak. Salah satu masjid yang terkenal adalah Masjid Jawa. Sebuah masjid dari tanah wakaf seorang perantau dari Jawa, yang berdiri sekitar tahun 1906. 

Setidaknya, Bangkok sudah berupaya menjadi kota toleran bagi para pemeluk agama. Orang-orang muslim yang sedikit itu, mereka pun solid, guyub, harmonis. Meski kutahu, di beberapa daerah lain di Thailand, persoalan agama masih menjadi isu sensitif.

Oh, hampir kulupa. Tadinya aku ingin berbagi mengenai pameran yang kuliput. Jadi begini, VIV Asia 2017 itu, hanya membuat iri saja, aku, sebagai orang Indonesia. Bagaimana tidak, inovasi mutakhir di bidang peternakan, seluruhnya tumpah-ruah di Bangkok International Trade and Exhebition Centre (BITEC). Orang-orang dari berbagai penjuru dunia berdatangan. Dengan percaya diri, Bangkok siap menjamu para inovator itu, dengan asyik dan meyakinkan. Jadinya, para pengunjung pun dibuat nyaman.

Secara langsung, Thailand mendapat keuntungan atas terselenggaranya acara tersebut. Dari pameran yang berlangsung selama tiga hari itu, ternyata, mencatatkan kunjungan yang fantastis, dengan nilai transaksi yang sangat besar. Panitia memperkirakan, bahwa nilai transaksi di VIV Asia 2017 mencapai lima triliun rupiah. Suatu jumlah yang layak, mengingat adanya 1.057 perusahaan dari 55 negara yang berpartisipasi di dalamnya. Thailand mendapat keuntungan berlipat, baik secara materi maupun nonmateri.

Thailand pun mendapat label sebagai negara yang merangkak maju, dengan sisi pertanian dan peternakannya yang mulai mapan. Di waktu yang sama, kudengar, negeriku tercinta, sedang dibikin panas oleh peternak rakyat kontra para kapitalis yang memainkan sektor broiler dan layer. Atau, dugaan peyelewengan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang belum reda, serta, kenaikan harga sayur-mayur yang sama sekali tak lucu.

Daripada dibuat resah oleh perasaan iri itu, aku pun punya ide. Lebih baik aku perbanyak main saja. Prinsipku saat itu: perpendek liputan, perpanjang jalan-jalan. Jatah waktu satu minggu untuk liputan, aku padatkan menjadi dua hari. Sisanya, apa lagi kalau bukan main? Maafkan aku wahai atasan. Tapi tugasku sudah selesai, mohon biarkan diri yang suka jalan-jalan ini untuk menyapa ramahnya Bangkok.

Menekur pada arus Chao Phraya

Banyak tempat yang kusinggahi di Bangkok. Melihat bagaimana tata ruang kota, arsitektur khas Thailand, menjelajah pasar tradisional, hingga mampir ke Istana Raja. Ada perasaan sedih saat menyambangi Grand Palace. Di sana, nampak ratusan orang berpakaian hitam, berjajar rapi dengan raut duka. Mereka adalah warga yang begitu mencintai mendiang Sang Raja Bhumibol Adulyadej, sosok kharismatik yang wafat pada Oktober 2016 lalu. 

Hingga tulisan ini dibuat, jasadnya masih ada, dan tak henti didatangi para pelayat. Sangat mengharukan bagaimana melihat warga Thailand yang begitu mencintai rajanya. Lalu, apa hal yang sama akan terjadi pada warga Indonesia, jika pemimpinnya meninggalkan mereka?

Selain istana, banyak lagi tempat yang kusinggahi. Aku hampiri patung Budha raksasa yang sedang leyeh-leyeh di Wat Pho, merasakan megahnya situs Wat Arun, menikmati pertunjukan kabaret di Asiatique Riverfront, mengapung di pasar sampan Dumnoen Saduak, menjumpai tokoh-tokoh dunia di Madame Tussauds, membeli sepatu kulit di pasar Chatuchak, hingga melewati gemerlapnya Patpong oleh bisnis hiburan malam. Ya, hanya lewat, tidak macam-macam.

Namun, tempat favoritku selama berada di sana, adalah sungai Chao Phraya. Sebuah sungai yang membelah Kota Bangkok, mengalir dan membawa harapan orang-orang yang berada di atas riamnya. Tempat bagi mereka yang ingin mengilhami sebuah perjalanan. Aku, termasuk di dalamnya. 

Malam terakhirku di Bangkok sengaja kuhabiskan dengan sebuah dinner cruise di atas kapal White Orchid. Dari sana kulihat lampu-lampu temaram di pinggiran sungai, dan jembatan kota yang menggantung indah menyala dengan warna lembut. Alunan musik klasik saat itu membangunkan memori dan perasaan rindu. Juga, banyak hal yang terserap secara alami selama perjalanan yang aku lakukan.

Bangkok telah membuka mataku lebih lebar, tentang apa yang harus aku dan kotaku tuju. Membangun kota, perlu lebih dulu dimulai dari membangun manusia. Tidak mudah menjadi Bangkok yang sudah maju di berbagai sisi. 

Tapi, tiada hasil yang mengkhianati upaya. Piramida dan Tembok Cina yang megah itu, pasti pula dimulai dengan sebuah bongkahan kecil. Kotaku, pasti bisa menjadi besar, menjadi rumah yang nyaman bagi orang-orang yang berlindung di dalamnya.

Sementara, angin, arus, dingin, malam, dan cahaya lampu-lampu itu, berbisik padaku, untuk segera pulang, kembali pada dirinya, yang sudah menanti, dengan senyum dan doa.

-----
Bangkok, Maret 2017

1 komentar:

  1. SIP...!!! Mantap dam teruskan perjuanganmu nak.....






    -ds-

    BalasHapus