Jumat 28 November 2014. Hari itu
gerimis. Tidak begitu romantis. Tapi aku
mandi sore. Soalnya mau diajak jalan-jalan sama Suaka. Kemana coba? Ke Taman
Lalu Lintas? Bukan! Kita mau ke Jogjakarta yang katanya selalu istimewa. Keren
kan? Coba kalau kamu ikut, pasti minta foto bareng. Bukan sama aku. Tapi sama
Adi. Soalnya dia senyum-senyum terus. Katanya baru pertama kali ke Jogja. Kalau
ke Zimbabwe sering. Oh ya, kami berangkat jam tujuh malam. Naik bus kampus yang
itu—nanti kalau sempat aku tunjukin. Kami sekitar tiga puluh orang. Yang
jomblo, kayak Rama dan Rijal juga dihitung. Kalau Robi apalagi. Dia dihitung
dua. Sebangku sama perut. Edisi jalan-jalan kali ini belum dikasih judul sama
Ola. Ya sudah, aku namain Suaka Ngejogja
aja ya? Kalau tdak setuju silahkan
gunakan hak jawab dan kirim ke redaksi kami. Ayo berangkat!
Aku lupa tanya siapa nama supir
kami. Yang jelas, dia santai. Robi nyanyi-nyanyi sepanjang jalan saja
dibiarkan. Padahal suaranya kayak Giant temannya Nobita. Apalagi ditambah suara
Wisma. Jangan bilang kayak kaset rusak ya! Aku gak kepikiran gitu. Tapi biarlah.
Karena mereka perjalanan kami jadi lancar meskipun tanpa antimo. Kalau gak
salah liat, kami sampai di Jogja jam enam pagi.
Ola selaku ketua panitia
menyediakan tempat penginapan keren buat kami. Khusus untuk para wanita, mereka
istirahat di semacam wisma lembaga islam yang aku kurang tahu jelasnya.
Sedangkan untuk pria lebih keren. Kita di masjid. Tempat yang memberikan
ketenangan tanpa kau minta. Lebihnya, kami bisa berhenti mendengar nyanyian
duet Robi dan Wisma. Soalnya dimarahi bapak-bapak berjenggot yang mengantar
kami.
Kami tidak lama berdiam diri.
Percuma kami jauh-jauh ke Jogja kalau hanya untuk malas-malasan. Setelah mandi
dan minta sabun, kami berangkat ke tujuan pertama: Universitas Gadjah Mada. Di
sana kami akan mengunjungi Badan Penerbitan Pers Mahasiswa Balairung. Tujuan
utama perjalanan kami ke Jogja adalah mengunjungi rekan Pers Mahasiswa. Kalau
mengunjungi tukang gelang dan kerajinan tangan itu nanti. Apalagi mengunjungi
kenalan di Facebook. Itu juga nanti,
kalau sudah berani.
Lalu berangkatlah kami menyusuri
jalanan kota Jogja. Kesan pertama yang disajikan Jogja pagi itu sungguh
menawan. Bukan soal makanan atau candi, tapi jalanan bersih dan rapi. Hal yang
seharusnya bisa dicontoh oleh kota kami,
Bandung. Tidak ada angkot yang ngetem sembarangan dan bikin kesal
penumpang. Di sini, bus Trans Jogja jadi andalan. Membuat jalan lenggang dan
tak nampak kemacetan. Shelter bus
terurus dengan rapi. Bahkan pakai gorden dan kipas angin! Aku jadi malu.
Soalnya kostanku saja tidak punya. Kalau di Bandung, seperti di jalan Soekarno
Hatta, kaca halte pun pecah-pecah kayak kaki si Adi. Dalamnya pun gerah kayak
ketiak si Adi. Sebentar, kok Adi terus ya? Oke ganti. Di Bandung, haltenya pun
sepi kayak hatinya si Rama. Demikian adanya.
Selain jalan dan halte, hal keren
yang terlihat dari dalam bus selanjutnya adalah pepohonan tegak yang berdiri
menghiasi sepanjang jalan. Kalau sudah begini, Jogja yang katanya panas pun
bisa diakali. Tapi kenapa Bandung yang katanya sejuk tapi begitu gersang
jalanannya? Apa karena negara api menyerang? Ini pekerjaan rumah yang harus
segera diselesaikan oleh kaum Urban (Urang Bandung).
Tak perlu berlama-lama di jalan
kami pun sampai di gerbang Universitas Gadjah Mada. Sebuah ucapan selamat
datang yang layak. Megah dan memesona. Berbeda dengan kampusku UIN Bandung.
Wajah depannya seolah mengisahkan kegelisahan. Tegang. Tak tenang.
Mudah-mudahan segera diperbaiki (Colek Prof. Deddy).
Kami sampai di rumah sekretariat
BPPM Balairung. Kami langsung disambut sepotong senyum dan seiris gerimis.
Karena ini obrolan Pers Mahasiswa, akan kuceritakan dengan gaya penulisan kami.
Saat itu..
Selasar rumah Badan Penerbitan
Pers Balairung (BPPM)Universitas Gadjah Mada mendadak ramai. Beberapa tikar
baru saja digelar menutupi tanah lembab dan dedaunan yang terserak. Sementara
itu, seorang wanita berkacamata sibuk menyuguhkan minum kepada tiga puluhan
mahasiswa berseragam abu-abu. Ghembrang, nama wanita itu, merupakan anggota
litbang Balairung yang nampak semangat menjamu rekannya dari Lembaga Pers
Mahasiswa (LPM) Suaka UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sebuah kunjungan Pers
Mahasiswa di pagi yang mendung.
“Kunjungan ini sebagai wadah sharing antar Pers Mahasiswa supaya bisa
membangun relasi yang baik dan mengetahui kinerja Pers Mahasiswa yang dikunjungi,”
kata Pimpinan Umum LPM Suaka Iqbal Tawakal, Sabtu (29/11/2014). Kegiatan ini
merupakan program akhir tahun di kepengurusan LPM Suaka.
Angin yang berhembus kencang saat
itu seolah memacu anggoata LPM Suaka melontarkan bermacam pertanyaan. Di depan,
nampak Pemimpin Redaksi BPPM Balairung Khairul Arifin kewalahan dihujani
pertanyaan. Namun mahasiswa Ilmu Komunikasi semester tujuh itu dengan jelas
memaparkan seluk beluk BPPM Balairung mulai dari keredaksian hingga manajemen
pemasaran.
Arifin menjelaskan, kegiatan BPPM
Balairung tidak jauh beda dengan LPM Suaka. “Kami sama saja seperti
teman-teman, mungkin kami lebih menekankan pendalaman isu dan landasan teori.
Kami biasanya harus telebih dulu mendatangkan narasumber ahli untuk sebuah isu
yang akan diangkat,” ujar pria yang akra disapa Ipin itu.
BPPM Balairung dan LPM Suaka
terus melancarkan pertanyaan seolah ingin menghabiskan rasa penasaran dan
memetik pelajaran sebanyak-banyaknya. Sayang kebersamaan mereka tak lama. LPM
Suaka harus melanjutkan perjalanan. Lalu berakhirlah cerita bersama BPPM
Balairung dalam gerimis pagi itu.
Pers Mahasiswa yang dikunjungi
LPM Suaka selanjutnya adalah LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta. Ketika
sampai, LPM Suaka disambut oleh Pemimpin Divisi Jaringan Kerja LPM Ekspresi
Taufik Nurhidayat. Taufik kemudian membawa puluhan tamunya dari Bandung itu ke
ruang sekretariat di Student Center.
Di sana LPM Suaka dan LPM
Ekspresi bertukar kisah. Iqbal Tawakal menanyakan ihwal hubungan antara LPM
Ekspresi dengan rektorat. Kemudian Taufik menjawab terang-terangan bahwa
hubungan LPM Ekspresi dengan rektorat memang kurang harmonis. “Para petinggi
kampus itu masih suka takut sama kita. Kadang janji untuk wawancara saja suka
ingkar, janji memberi dana juga sama”.
Dari perbincangan LPM Suaka
dengan LPM Ekspresi, Iqbal mengaku jika keduanya memiliki kendala yang tak jauh
berbeda. Namun menurutnya, yang patut diapresiasi dari LPM Ekspresi adalah
kepekaan mereka mengangkat isu kecil nan penting. Selain itu, LPM Ekspresi juga
sudah mampu menerbitkan beberapa buku yang berkualitas. “Ini pelajaran yang
harus kita ambil dari LPM Ekspresi!” seru Iqbal.
Tidak berakhir sampai sana, LPM
Suaka juga mengunjungi LPM Arena di UIN Sunan Kalijaga. Suasana di LPM Arena
lebih terasa akrab karena kesamaan latar belakang universitas. Di sana, LPM
Suaka dipandu oleh Redaktur Bahasa LPM Arena Kang Sabiq. Dia pernah menjadi
mahasiswa di UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebelum pindah ke UIN Sunan
Kalijaga.
Kunjungan ke LPM Arena membuat
beberapa anggota LPM Suaka merasa iri. Pasalnya, fasilitas yang disediakan di
UIN Sunan Kalijaga lebih lengkap daripada yang dimiliki UIN Sunan Gunung Djati.
Seperti yang dikatakan Redaktur Online LPM Suaka Adi permana. “Di sini enak.
Bayaran lebih murah dan fasilitas lebih lengkap. Pantas jika LPM Arena bisa
leluasa berkarya”.
Tak lama di UIN Sunan Kallijaga,
LPM Suaka kembali teruskan kunjungannya. Kali ini LPM Pendapa Taman Siswa jadi
tujuan terakhir. Pemimpin Umum Pendapa Isnan Waluyo mengatakan, kalau dirinya
terkesan dengan kemampuan LPM Suaka yang bisa terus berkarya dengan mandiri
tanpa mengandalkan rektorat. “Kita salut ke Suaka, kok bisa ya hidup dengan
dana terbatas tapi produknya berkualitas?”
Perjumpaan LPM Suaka dengan
Pendapa saat itu banyak memunculkan semangat baru. Seperti semangat yang
ditunjukkan anggota Pendapa yang mayoritas semester tiga dan lima. “Mereka bisa
berkarya dengan jumlah yang sedikit dan masih muda, harusnya kita berkaca,”
kata Pimpinan Redaksi Suaka Ratu Tresna.
Perjalanan LPM Suaka mengunjungi Pers
Mahasiswa di Jogja memberi banyak pelajaran. Tentang semangat yang harus terus
meletup, karya yang tetap hidup serta kekuatan tekad yang tak boleh redup. Lalu
berakhirlah perjalanan itu di Malioboro yang teduh.
Gaya penulisan barusan namanya
feature atau laporan khas. Kalau kamu mau tau lebih jauh soal feature, bisa
ikut belajar bareng-bareng sama LPM Suaka. Sekarang, ayo lanjut ceritanya.
***
Setelah selesai mengunjungi
teman-teman Pers Mahasiswa, sekarang waktunya kami menikmati istimewanya Jogja.
Malioboro jadi tujuan pertama. Tring! Tiba-tiba aku, Adi, Robi dan Faisal sudah
ada di warung makan di pinggiran jalan Malioboro. Gak tau yang lain. Mungkin di
warung sebelah.
Adi memesan Gudeg Jogja, soalnya
gak ada karedok. Faisal dan Robi juga. Aku pesan sepiring kenangan dan
secangkir nostalgia. Si Ibu warung bingung. Jadinya dibikinin pecel ayam.
Dikasih bonus sambel. Jadi Adi bisa nambah.
“Di Saidan, di jalanan..” adalah
sebait lirik yang terus diulang-ulang Adi. Karena sebelumnya ada pengamen yang
ramah menyanyikan lagu itu dengan apik. Berbeda dengan pengamen Bandung yang
maksa minta seceng, kalo enggak minta selfie. Jogja memang ramah, tercermin
dari warganya.
Kalau Faisal beda lagi, dia sibuk
ngajak ngobrol seorang anak kecil yang tadinya minta-minta. Tapi dengan lirikan
mata Faisal yang menarik hati, akhirnya mereka berdua berbincang. Dua puluh
menit lebih dekat. Gadis kecil itu kemudian bercerita bahwa dirinya jago
menggambar. Dia juga mengucapkan beberapa kalimat berbahasa Inggris denga
fasih. “Sayang, anak sepintar ini kok malah jadi pengemis ya?” gumam Faisal.
Setelah bingung mau ngobrol apa lagi, faisal minjam uang dua ribu buat ngasih
anak itu. Lalu anak itu pergi membawa selembar uang dan sesimpul senyum.
Meninggalkan kenangan manis bagi Faisal di gerimis Malioboro saat itu.
Dari sana aku tahu, kalau Faisal
memiliki jiwa sosial yang besar. Walaupun stok beras di kostannya sering mepet.
Aku yakin Faisal akan menjadi seorang yang dibutuhkan orang-orang di
sekelilingnya. Benar saja. Terbukti sebulan kemudian, Faisal dipercaya menjadi
Pemimpin Umum LPM Suaka.
Jam tanganku menunjukkan pukul
delapan lebih segitu. Gak tau jam tangan Adi. Soalnya suka gak muter kalau gak
disuruh. Teman-teman Suaka mau balik lagi ke tempat penginapan. Aku tidak.
Karena masih betah. Lalu aku minta izin ke panitia untuk tidak ikut rombongan.
Soalnya sudah janjian sama Azwar, sahabatku di Jogja. Dari Malioboro, aku dan
teman Suaka yang lain berpisah. Entah kapan akan berjumpa kembali. Kuserahkan
semua pada dompet.
Mengenai Azwar, dia adalah salah
satu kawan terbaik. Tiga tahun bersamanya di pesantren dulu bukanlah waktu yang
sebentar. Rumahnya di Cimahi. Kalau sedang penat kuliah, aku suka main ke sana.
Walaupun Azwar lagi gak ada. Sekarang Azwar mengambil jurusan Komunikasi Visual
Grafis di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jogja. Sesuai dengan minat dan
bakatnya, kurasa.
Aku dan Azwar berjumpa di depan
Mirota Batik, sebuah toko oleh-oleh khas Jogja di Malioboro. Saat itu dia tidak
bersama Jalu, vespa kesayangannya. Lagi sakit katanya. Jadi pakai motor punya
teman sekostan. Kami berdua tidak langsung pulang. Mampir dulu sebentar ke
angkringan langganan Azwar. Saat itu aku baru tahu angkringan yang sebenarnya.
Berbentuk gerobak dengan berbagai
macam hidangan, angkringan menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi saat
malam datang. Harganya murah, makanan dan minumannya khas. Angkringan banyak
tersebar di seluruh sudut kota Jogja. Aku sempat berpikir, mengapa Jogja selalu
menghasilkan orang-orang hebat dengan kreativitas tanpa batas? Mungkin karena
mereka—masyarakat dan mahasiswa Jogja—tidak hanya sekadar ngobrol kosong saat
berkumpul. Banyaknya angkringan di Jogja sering digunakan sebagai tempat
diskusi informal mereka. Membicarakan ide dan inovasi baru hingga malam larut.
Salut!
Di angkringan itu, kami memesan
susu jahe dan beberapa makanan. Coba kau tebak berapa harganya? Salawe? Bukan!
Hanya empat ribu rupiah. Sungguh murah.
Dan kemurahan ini berlanjut pada hal-hal yang kutemui berikutnya.
Jam sepuluh malam kami sampai di
kostan Azwar. Lokasinya berada di dekat Panggung Krapyak. Dekat lingkungan
pesantren pula. Kulihat kamar Azwar lumayan
besar. Tapi kamar mandi di luar. Azwar
tinggal sendiri. Kalau bertujuh itu kamar kami di asrama dulu. Hal yang biasa
kulakukan saat berkunjung ke kostan teman adalah menanyakan harganya.
“Sabaraha kostan, Weng?” Tanyaku
pada Aweng, sebutan akrab buat Azwar.
“150 ribu perbulan, Dam”
“Ah murah! Kamar lega dan
lingkungan bersih. Tapi kamar mandi di luar nya?”
“Murah Dam. Ada yang lebih murah,
kamar mandi di dalam”
“Wah? Iya gitu?”
“Iya, tapi tidurnya di luar hehe”
Bila dibandingkan dengan kostan
yang ada di Bandung, ini jauh lebih baik. Lebih murah pula. Tak heran mengapa
banyak teman yang sangat ingin kuliah di Jogja. Mungkin karena segala halnya
begitu menguntungkan bagi seorang yang mau menjadi mahasiswa di sana.
***
Mingggu, 30 November 2014. Aku
terbangun di subuh Jogja yang tidak sedingin bandung. suasana seperti ini
mengingatkanku pada kelas enam SD dulu saat pertama kali mengunjungi Jogja.
Aku, Egi, Detio dan teman yang lain harus melakukan ujian akhir materi Quran
selama seminggu di Jogja. Sekarang beda. Sepertinya aku akan menghabiskan waktu
satu minggu untuk liburan, bukan ujian.
Teman-teman Suaka hari ini akan
kembali ke Bandung. Tapi sebelumnya mereka akan mengunjungi Pantai Depok
terlebih dahulu. Pantai Depok? Ini kan Jogja? Ya begitulah Indonesia. Kau akan
menemukan tempat yang serupa namun tak sama. Seperti Jalan Sukabumi yang ada di
Bandung, atau Desa Karawang yang ada di Sukabumi. Kearifan negeri kita!
Pantai Depok terletak tidak jauh
dari tempatnya Aweng. Berbeda dengan pantai Ujung Genteng yang benar-benar
berada di ujung Sukabumi. Kalau mau ke Pantai Depok, sangat mudah. Jalannya
lurus dan datar. Sedatar jawaban Adi kalau ditanya kapan punya pacar. Aku lupa
jalan apa namanya. Tapi yang jelas, itu melewati Institut Seni Indonesia dan
monumen Pasar Seni Gabusan. Aku dan Aweng pergi menyusul teman-teman Suaka yang
sudah di sana. Niatnya mau minta file foto. Bonusnya kita foto-foto. Sekitar
setengah jam, kami sudah sampai di Pantai Depok dan ketemu teman-teman Suaka
yang lagi nawar ikan asin.
Ombak di pantai ini tenang. Tak
tega dia kasar menerjang. Beberapa ekor kepiting sibuk kejar-kejaran di pasir
pantai yang berwarna hitam. Di bagian barat banyak pengunjung yang berenang.
Sedangkan di bagian timur terlihat puluhan kapal kecil nelayan yang berjajar
rapi. Beberapa kapal yang baru datang dikerumuni orang-orang yang sibuk membeli
ikan hasil tangkapan. Di sampingnya, terdapat lahan yang lebih luas dan
digunakan untuk wahana ATV yang harganya Rp 15.000 sampai disuruh udahan. Menurutku,
ini pantai yang terlalu ramai untuk dipakai berenang. Atau untuk mereka yang
mencari ketenangan. Kata Aweng, ada yang labih eksotis dari Pantai Depok. Hanya
berjarak dua puluh menit, kau akan temukan keindahan senja dan pasir pantai
yang putih. Tapi karena hujan deras, kami memutuskan pulang. Pantai Depok
menjadi tempat perpisahan aku dan rombongan Suaka di ekspedisi kali ini.
Aku dan Aweng tidak langsung ke
kostan. Mampir dulu ke Taman Budaya. Sebuah tempat yang biasa digunakan untuk
acara-acara seni dan budaya. Di pinggir Taman Budaya, ada sebuah bangunan yang
disesaki bermacam jenis buku. Mungkin semacam Palasari kalau di Bandung. Tempat
yang tepat bagi para pencari buku-buku lama dan baru.
Setelah itu, kami juga sempat ke
acara Sekaten. Pasar malam besar-besaran bagi masyarakat Jogja. Kalau di
Sukabumi namanya Korsel. Tapi Sekaten ini lebih ramai dengan panggung hiburan
dan berbagai tenda makanan dan barang dagangan lainnya. Ayo masuk rumah hantu
biar ketemu si Adi!
***
Sekarang Senin malam, 1 Desember
2014. Setelah seharian hanya menunggu Aweng kuliah dengan beberapa film dan
tugas kuliah, kini saatnya cuci mata. Sebetulnya ini bukan murni liburan.
Karena aku masih harus mengerjakan tugas perkuliahan dan terpaksa bolos selama
dua hari. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Karena bersenang-senang dahulu,
dimarahin dosen kemudian.
Malam ini kami berdua ke
Malioboro. Sudah memang kemarin, tapi kurang nikmat. Malam ini ada kopi dan
cinderamata. Aroma berbagai macam makanan larut dalam harmoni musik jalanan.
Ketenangan tak perlu lagi kau cari malam itu. Aku beli beberapa barang. Buat
kamu, dia dan mereka. Untuk dia dan mereka sudah kuberi. Namun untukmu, belum.
Nanti saja kalau sudah berani. Setidaknya, dari jalan-jalan malam itu aku tahu
tempat mana saja yang murah dengan barang berkualitas.
Tak cukup sampai di situ, kami
pergi ke Tugu Jogja. Foto-foto juga. Kata Aweng, belum lengkap kalau ke Jogja tapi
tidak mampir ke Tugunya. Ya sudah. Kuturuti apa mau tuan rumah. Berangkatlah
kita hingga jalanan kota sepi pada tengah malam. Lalu pulang.
Suasana malam Jogja sungguh
istimewa. Hangat; tentram dan bersahaja. Bawa saja segala resah dan lukamu ke
sini. Senyum seketika yang kau dapat.
***
Selasa, 2 Desember 2014.
Rencananya hari ini aku mau pulang. Kemarin sempat lihat tiket di Alfamart
masih banyak. Sekitar 275 kursi lagi. Berhubung kemarin gak bawa uang pas
lihat, jadi gak beli. Aku pikir, santai sajalah. Masih banyak ini.
Mataku tiba-tiba keram waktu
lihat layar monitor di Alfamart pagi ini. Edan. Tiket yang masih banyak itu
ludes. Tinggal tersisa kelas eksekutif yang harganya gak lucu. Mau gimana lagi.
Terpaksa kutunda kepulangan. Jadinya besok, hari Rabu 3 Desember 2014 jam 13.30
WIB.
Daripada bingung mau apa, ya
sudah kami jalan-jalan lagi. Aweng libur hari ini. Setelah kenyang makan di
angkringan seharga Rp. 6.000, kami
berangkat.
Tadinya kami mau ke museum tiga
dimensi yang aku lupa namanya. Kata Aweng itu keren! Dulu dia pernah ke sana
waktu gratis. Soalnya lagi promo. Baru buka. Sekarang mahal. Harganya tiketnya
60 ribuan. Lalu kita ambil alternatif. Masih tempat seni yang terkenal: Museum
Affandi. Harga tiketnya sih sepuluh ribu. Tapi kalau mau foto-foto pake kamera
hape jadi dua puluh ribu. Kalau pake kamera DSLR nambah lagi, jadi tga puluh
ribu. Udah deh, jangan kayak orang susah. Akhirnya kita ngambil yang paling
mahal. Dengan resiko gak makan siang.
Tempatnya cukup luas. Ada
beberapa ruang pameran. Mungkin karena satu ruang saja tidak cukup utuk
menampung karya-karya Affandi. Kami memasuki ruang paling depan terlebih
dahulu. Di sana sepi. Hanya ada seorang turis asing yang setelah kenalan
ternyata dia orang Spanyol. Pantesan mirip banteng, eh, mirip David Villa. Kami
melihat seisi ruangan dengan saksama. Menikmati karya seni yang bernilai
tinggi. Dikerjakan dengan bebas mencurahkan isi hati. Sebenarnya aku tidak
begitu mengerti . Tidak seperti Aweng yang memang orang seni. Tapi, dengan
melihat karya Affandi, setidaknya aku tahu bahwa lukisan-lukisan itu bukan
sekadar coretan, namun sebuah bahasa yang tak bersuara.
Di ruangan paling depan itu tidak
hanya terdapat lukisan, namun ada juga patung, kursi, sepeda serta mobil
kesayangan Affandi. Namun yang begitu terasa, di ruangan itu terdapat semangat
dan ekspresi Affandi yang tak juga mati.
Ruang-ruang selanjutnya tidak
jauh beda. Masih tetap memuat karya-karya Affandi yang luar biasa. Bedanya,
kali ini semakin banyak turis yang berdatangan. Namun tidak seorang pun turis
lokal selain kami. Entah karena turis lokal sudah bosan, atau kurang menghargai
karya-karya seni seperti ini.
Selain ruang pameran, ada pula
taman yang bisa digunakan untuk duduk-duduk santai dan bercengkrama. Ada menara
yang bisa digunakan untuk melihat pemandangan sekitar. Dari sana, kau bisa
lihat kampus UIN Sunan Kalijaga yang memang terletak tidak jauh dari museum
Affandi.
Kalau kau mau lebih jelas
mengenai sejarah Affandi, tinggal datang saja ke ruag audio visual. Di sana
selalu diputar mengenai film dokumenter mengenai Affandi dan karyanya. Sungguh
tempat yang tepat bagi para pecinta seni yang ingin berwisata menambah wawasannya.
Kalau mau ke sana, cukup datang ke Jl. Laksda Adisucipto Jogjakarta. Tempatnya
di pinggir jalan. Kalau di tengah jalan itu polisi. Museum Affandi buka setiap
hari dari pukul 09.00-16.00 WIB. Tutup pada hari libur nasional kecuali dengan
permintaan khusus. Jika mau ke Museum Affandi, bisa menggunakan becak, andong,
bis dan taxi. Jangan pakai burok. Sekian.
***
Tidak terlalu lama kami di Museum
Affandi. Karena yang lama itu PDKT-nya si Adi. Berangkatlah kedua pria hampir
keren ini ke tempat wisata lainnya. Kami pergi ke Candi Prambanan. Dari gerbang
keluar Museum tinggal lurus aja. Sekitar 25 menit menggunakan sepeda motor.
Kalau pake malas sekitar 25 tahun. Candi Prambanan adalah situs bersejarah yang
dimiliki negeri kita. Bukan situs jual beli online. Di sana kau akan menemukan
tumpukan batu yang gak tanggung-tanggung. Sebagai pemuda harapan bangsa,
apalagi yang bisa kami lakukan di sana kecuali melestarikannya dan foto-foto?
Agaknya tak perlu banyak dijelaskan soal Candi ini. Soalnya kalian juga sudah
pada tahu. Kalau mau lebih lengkap, bisa baca di Wikipedia.
Perjalanan kami hari ini berakhir
di hangatnya Malioboro. Lalu mencari angkringan kopi jos dan kembali ke kamar
dengan cinderamata dan pengalaman yang masih baru.
***
Rabu, 3 Desember 2014. Nanti
siang aku pulang. Aweng belum, soalnya belum libur. Sebelum pulang, kami main
lagi. Mumpung masih di Jogja. Tidak jauh-jauh, hanya mengunjungi Tamansari
dekat Alun-Alun Kidul. Katanya itu tempat keluarga raja senang-senang. Berenang
dan makan gorengan. Tamansari berbentuk bangunan tua dengan banyak lorong dan
bagian. Tapi yang paling keren terletak di belakang. Ada tempat ibadah yang
dibuat secara tersembunyi karena menghindari tentara Jepang yang gak asik. Kalau
ke sana kau akan melewati jalanan yang dihisasi pengerajin batik dan
cinderamata. Kalau suka laper mata, jangan lupa bawa uang lebih.
Setelah itu kami menyempatkan
mampir ke Alun-Alun yang terkenal dengan pohon beringinnya itu. Tadinya mau
kayak orang-orang ditutup mata lalu melintasi kedua pohon beringin. Tapi, ah
sudahlah. Sudah puas main tutup mata seperti itu waktu SD dulu. Jogja
benar-benar istimewa dengan segala yang ia punya. Edun!
Tepat jam satu, Aweng
mengantarkan aku ke Stasiun Lempuyangan. Oh ya, tiketnya masih 55 ribuan.
Kurang tahu kalau sekarang. Katanya naik. Kala pun memang ongkos jadi mahal,
rasanya Jogja takkan kehilangan magis wisatanya. Kau akan temukan keajaiban di
setiap sudut kota ini walau dengan uang seadanya! Karena Jogja dengan segala
budaya, cerita dan istimewanya ibarat nadi. Menyebar kisah indah di sekujur
sanubari siapapun insan yang merindu. Jogja adalah nadi-nadi Jawa. Tak perlu
kau repot mencari keindahan Jawa, karena
segalanya mengalir di Jogja.
0 comments:
Posting Komentar