Mengecup Ubun-Ubun Jawa




Mahameru. Sosok cantik yang tak begitu menarik perhatian kami sebelumnya. Mahasiswa. Adalah kami yang kadang-kadang malas baca dan sukanya ngaca. Biar gak intelek amat tapi kami tidak mau kelihatan jelek amat. Jadi itu. Kadang kami lebih fokus ke penampilan daripada materi perkuliahan. Ya tidak masalah. Kami adalah sekelompok anak muda yang lagi sibuk mencari jati diri masing-masing. Terkadang bantu cari punya orang lain. Meski begitu, kami tetap menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kami tetap salat saat ingat. Yang tidak kalah penting, kami tetap bayar spp. Kalau tidak, bisa-bisa kami dipecat jadi mahasiswa. Itulah kami. Sekelompok gangster antikriminal. Kalau godain Maba sih, suka. Adalah kami, mahasiswa tingkat tanggung yang terikat dalam persaudaraan “Kuya Legeg”.
Langit dan bumi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango tahun lalu menjadi saksi besar terbentuknya persekongkolan absurd ini. Saat itu tim ekspedisi kami belum memiliki nama beken. Sampai pada saat yang haus, Agvi Firdaus, sang kepala suku menyebut diri dan teman-temannya sebagai Kuya Legeg. Kenapa? Ya begitu saja. Kalau ditinjau dari segi bahasa, Kuya berarti kura-kura. Sedangkan Legeg adalah banyak gaya. Jadi kura-kura yang banyak gaya. In English, you can call us as Fullstyle Turtle. Dengan demikian, secara terminologi, Kuya Legeg berari sekumpulan orang-orang yang bergerak lambat tapi banyak gaya. Sebentar. Kenapa gak enak gitu ya? Gini saja. Sekelompok orang keren yang bergerak perlahan namun pasti dan tangguh dalam melindungi diri. Begitu kira-kira. Setuju? Iya. Terimakasih.

Dari ekspedisi Gunung Gede Pangrango lah kami dilahirkan. Menjadi sesosok Kuya yang siap menapaki belahan punggung bumi yang lain. Sekelompok remaja antimainstream yang sukanya menggeniti keindahan alam. Berpacaran dengan mereka dan menikahinya hingga punya anak-anak yang panjang umur: pengalaman.

Gunung Gede, the first summit, sepertinya mengandung zat adiktif yang membuat kami letagihan untuk menginjakkan kaki di puncak gunung lainnya. Pada saat itu kami berencana untuk menaklukan gunung-gunung yang ada di wilayah Jawa Barat terlebuh dahulu. Kami menyebutnya dengan Ekspedisi Pasundan. Kau tahu? Pasundan dalam akronim yang kita buat sendiri. Yaitu Pasukan Sunda Edan. Sekumpulan Kurawa edan yang siap melibas petualangan besar selanjutnya.

***

Saat itu entah hari apa dan tanggal berapa. Yang jelas salah satu siang di awal juni 2014. Kami, remaja kekininian sedang sibuk menelanjangi kertas jawaban Ujian Akhir Semester. Kami adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik yang sekarang semester lima di salah satu kampus ternama di Bandung. Sebut saja UIN Bandung. Sebuah kampus yang katanya hijau. Tempat bersemainya para jomblo yang sedang merasa indahnya naksir gebetan orang lain. Itulah kampus kami. Wahyu Memandu Ilmu. Pacaran Memandu Jodoh. Kampus yang tenang untuk jiwa-jiwa yang usang.

Dak kadarieu! Kita kan udah beres nih UAS-nya. Hayu kita refreshing!” Kata si Dea. Tukang ngukut Sugar Glider yang juga warkamsi (baca: Warga Kampung Sini).

Hayu! Kita liburan gitu lah biar gak boloho jiga di dinya! Hehe” Ucap Eka Permana yang mirip Ariel kalo lagi ngahejeun.

Merasa direndahkan harkat dan martabatnya oleh Ariel supercopy, Dea memberontak.

Eh siah kelek oray!” balas Dea. Entah apa motivasinya, tiba-tiba Deni ikut menyerang Eka.

Cicing siah cucunguk jengke”! Kata Deni Si Manusia Ikan.

Melihat situasi yang mulai karut, aku yang bijaksana mencoba melerai pertempuran verbal ini.

Garandeng sia teh tutup Mizone! Bujur katel! Bulu Irung Pak Haris!”

Ternyata usaha meleraiku gagal. Kondisi semakin ricuh seperti Sidang MK. Ditambah si Ayi, pemuda Tasikmalaya yang sedang goyang Bang Jali serasa dirinya paling hot pada saat itu. Kelas kami bukan seperti tempat belajarnya manusia berperadaban. Kelas kami menjadi lebih ramai daripada TK Tunas Bangsa. Kami seperti makhluk abnormal yang masih dalam euforia setelah menumbangkan Ujian Akhir Semester.

Dalam kondisi yang sperti itu, Agvi—sang kepala suku—mulai mebuka mulut dengan kumisnya yang nampak baru dicukur.

Hayu ke Mahameru!,” ucapan singkatnya berhasil membuat sekumpulan kurawa yang lupa diri itu duduk manis. Beberapa cingogo bari ngacai.

Agvi yang sudah pernah ke Mahameru sebelumnya mengusulkan liburan kami kali ini untuk menapaki daratan tertinggi di tanah Jawa tersebut. Kebiasaan kami memang mengadakan liburan minimal satu semester sekali.

“Ah setuju! Kita lanjutkan ekspedisi Pasundan kita!,” kata Rizal. Pria soleh idaman wanita.

“Tapi tunggu! Mahameru itu kan Jawa Timur. Berarti bukan Pasundan,” tanggap Dea.

“Ya sudah. Kita lanjutkan ekspedisi Kuya Legeg saja. Dengan destinasi, Mahameru!,” kata Adi yang eksotis mirip Dodol Piknik.

Satu persatu pendapat berseliweran. Dari obrolan aneh tadi lahirlah satu keputusan. Kami sepakat bahwa liburan kali ini, kami akan menciumi ubun-ubun Jawa! Ya. Ekspedisi lintas provinsi yang membutuhkan persiapan ekstra. Dan kami agendakan untuk mendaki Gunung Semeru itu tepat pada tanggal 15 Agustus 2014. Sehingga kami bisa merasakan nuansa merdeka upacara bendera di puncak tertinggi Jawa! Semeru, We are ready!

***

Juni, Juli lewat sudah. Masa liburan pasca UAS yang lumayan indah. Nuansa hangat Idul Fitri pun kami lewati bersama keluarga masing-masing. Ada yang berbeda dengan liburanku kali ini. Mungkin di saat Kuya yang lain menghabiskan dua bulan di kampung halaman, aku sedang berkeliaran. Aku lebih senang berada di Bandung ketimbang menjadi pengangguran intelek di kampung. Di Bandung, aku bisa makan, nonton drama Korea dan tidur ganteng. Sebenarnya sama sih seperti di rumah. Lalu? Bedanya, di Bandung aku bisa makan saat istirahat di sela-sela liputan. Aku bisa nonton sehabis menulis berita. Aku bisa tidur saat tugas menggarap tabloid Suaka—Lembaga Pers Mahasiswa paling keren itu—sudah selesai. Dengan kata lain, aku bisa menyibukkan diri di Bandung dan tetap produktif di waktu libur panjang. Remaja kekinian banget kan? Prok..prok..prok

Sekarang tanggal lima Agustus. Kurang lebih sepuluh hari menjelang keberangkatan paguyuban Kuya Legeg ke Gunung Semeru. Sudah kusiapkan fisik, mental dan dompet dari jauh hari. Rasanya rencana ini akan berjalan lancar karena soal pemesanan tiket kereta dan tiket pendakian sudah diurus oleh Dea si Warkamsi itu. Jadi aku dan Kuya yang lain hanya mengurusi keperluan logistik yang harus dibawa. Selain itu, kami juga harus mengurusi Surat Kesehatan. Tentunya pihak server di Semeru sana tidak mau mengambil resiko dengan memperbolehkan pendaki yang kurang sehat melakukan pendakian. Kami juga harus mengurus Kartu Tanda Pengenal sebagai salah satu syarat pendakian.

Si Bleki—ponsel hitam yang katanya cerdas—berkedip-kedip menandakan pesan yang baru masuk. Entah mengapa setiap sms atau bbm yang masuk selalu menarik perhatian. Kenapa? Soalnya aku sedang punya pulsa. Jadi bisa dibalas. Kalau tidak ya malas. Dan kau tahu siapa pengirim pesan itu? Dea! Ini pasti soal Semeru. Soal mimpi yang baru kami buat saat obrolan ricuh waktu itu.

Hai Kuya! Sudah siap buat perjalanan nanti? Kudu siap siah! Oh ya. Eskpedisi Kuya Legeg nyaba Semeru bakal seru! Tapi diundur. Jadinya kita berangkat tanggal 17 Agustus. Tong salahkeun urang. Salahkeun we tukang kareta naha bet pinuh. Oke! Sebelum tanggal segitu segera merapat ke Bandung.

Si anying. Aku kira nadanya yang semangat seperti itu membawa kabar baik. Ternyata, baik. Ada baiknya karena aku tahu betapa ramainya pendakian Semeru tanggal 15. Bayangkan kondisi pendakian yang sesak karena ribuan orang ingin merasakan nuansa upacara bendera di Gunung Semeru. Jadi dengan diundurnya jadwal keberangkatan, kami bisa menikmati alam Semeru yang tenang. Persiapan kami seharusnya juga menjadi lebih maksimal. Mungkin ini memang rencana Tuhan. Terimakasih PTKAI.

***

15 Agustus 2014. Seharusnya hari ini menjadi hari keberangkatan kami. Tapi tidak jadi. Jadinya aku berangkat ke ATM mengecek uang beasiswa yang rencananya akan digunakan untuk ekspedisi nanti. Kalau tidak ada besasiswa rasanya aku takkan menjelajahi puncak tertinggi Jawa itu. Jumlahnya memang tidak besar, tapi cukup untuk biaya perjalanan dan sekadar membeli oleh-oleh.

Tadinya aku mau langsung belanja kalau dompet yang sepi ini sudah dipenuhi para pahlawan di uang lembaran. Aku bawa tas biar kelihatan keren. Aku masuk ke ATM dan dengan pede memasukkan kartu jagoanku ke lubang kenikmatan. Lubang yang mengeluarkan lembaran kebahagiaan. Tapi tiba-tiba  Maaf, saldo anda tidak mencukupi. Ingin melakukan taransaksi lain? Aah TIDAK. teet..teet..teet.. Ah! Apa-apaan ini? Kemana si lembar biru yang lucu itu? Kemana hilangnya lembaran merah yang penuh gairah? Ini gawat. Tanpa mereka nasi pecel di kereta hanya cita-cita saja. Tanpa mereka selfie bareng awan hanya isapan jempol belaka. Unpredictable!

“Dit beasiswa udah cair belum?”, aku tanya Adit, teman sekelas yang kata si Acep mirip bidan desa.

“Udah dong, Dam. Aku udah cair. Udah kepake malah buat bayar kost..,” katanya santai.

“Kok aku belum ya?,”

“Mungkin kamu gelombang dua Dam. Denger-denger sih seminggu lagi juga cair,”

“Gelombang dua Dit? Yaudah makasih deh. Jangan godain dokter desa ya,”

“Apaan Dam?”

“Enggak,”

Gelombang dua? Kenapa bukan gelombang cinta aja biar bisa dijual ke Si Amang taman kampus? Atau gelombang rindu saja biar kamu tidak sendu. Iya kamu. Ah apa ini. Kenapa birokrat kampus suka menunda-nunda kebahagiaan mahasiswa? Kenapa beasiswa yang secuil saja suka lama cairnya? Ayo kita demo! Ah tapi malas. Paling yang demo yang belum cair. Yang sudah cair ya ke Jatos beli sepatu baru. It isn’t fair!

Gagal cairnya beasiswa mengharuskan aku mencari rencana lain. Merampas anak SD? Jualan foto Ariel? Sepertinya bukan. Ah iya. Jalan terbaik untuk masalah ini adalah meminjam. Tapi ke siapa? Adit? Uangnya sudah dipakai bayar kost. Dalam situasi kejepit saat ini aku ingat kejadian setahun yang lalu. Saat aku berencana untuk berangkat ke Pare belajar bahasa Inggris. Aku mengandalkan uang beasiswa yang memang telat cair. Saat itu sudah kutawarkan Si Jagur—komputer kesayangan—untuk digadai ke siapapun yang mau. Tapi gagal. Dan akhirnya aku kembali ke tempat seharusnya pulang: rumah. Karena rumah bukan hanya bangunan berisi keluarga yang ramah. Namun tempat yang tepat untuk menenangkan segala resah dan masalah. There is no place like my home.

Dari kontemplasi siang bolong itu aku mendapat ilham: meminjam uang ke Mamah! Karena Mamah adalah surga yang paling nyata. Malu memang. Tapi demi Mahameru! I’m coming Bundahara.

***

Sekarang tanggal berapa coba? Ya! Tanggal 16 Agustus. Hari ini kami bermalam di rumahnya Dea Si Pengendali Cipadung. Soalnya besok pagi kita harus bergegas ke stasiun Kiaracondong jam setengah lima subuh! Kita akan segera membelah dataran Jawa Barat hingga Timur dengan gerbong-gerbong besi yang kuning itu. Oh ya. Dalam ekspedisi kali ini Kuya Legeg beranggotakan delapan kurawa. Tadinya mau sebelas tapi dikartu merah tiga. Jadi pemain kami umtuk membobol awan Semeru berjumlah delapan. Kau tahu filosofi angka delapan? Dia angka yang tak terputus dan solid. Semoga serupa dengan kami. Tetap kompak dan terkendali selama perjalanan. Awesome!

Pasukan Kuya yang ikut kali ini hampir semua teman sekelas. Sidik, jajaka Cililin. Kata dosen Statistika Sosial Cililin itu terkenal dengan wajitnya yang keras di luar tapi lembek di dalam. Dan sidik sepertinya tak jauh beda dengan wajit. Deni, preman Kahatex. Masih semangat mendapatkan sepuluh gunung untuk ditukar dengan dua gunung. Semeru akan jadi pembuktiannya yang keempat untuk seorang gadis. Dea, yang ingin sekali lihat pacarnya goyang Karawang. Semeru jadi targetnya tahun ini. Dia tempel tulisan Semeru bersampingan dengan tulisan saxophone. Agvi, kepala suku. Sebagai ketua dan ketuaan. Pengalamannya menjadi pedoman kami mencari keindahan Tuhan yang Mahasuci. Dia setenang air. Selembut angin. Seporno Tora Sudiro. Dedi, ketua Karang Taruna di Soreang. Sudah mau insaf judi bola dan sekarang dagang pulsa. Kami masih anggap teman sekelas walaupun sudah tidak kuliah dari semester tiga. Aris, pemuda Jakarta yang tidak mau mengaku Jakmania. Beli sepatu baru khusus untuk mendaki ke Tahta Para Dewa. Panca, dia anak kelas sebelah tapi sejurusan. Sudah pernah ke Mahameru tapi mau lagi. Dia anak rimba. Tapi punya pacar anak kelas. Katanya sudah berhenti merokok karena akhir bulan. Dan terakhir, aku. Judge me whatever you want. I don’t care.

Dalam ekspedisi kali Ini tim Kuya Legeg angkatan pertama tidak ikut semua. Adi katanya sedang tidak punya uang karena mau beli Fortuner. Dede sibuk menjadi wartawan dan meliput nanas Subang. Rijal sepertinya kurang sehat dan dibutuhkan mamahnya untuk mengantar ke sekolah. Terakhir, Ridwan. Dia jurusan Fisika. Belum ketemu lagi sejak pendakian Gunung Gede. Siapa tahu nanti ketemu di Mahameru. Mereka yang tidak bisa ikut adalah motivasi kami untuk kembali. Menceritakan betapa indahnya Indonesia dari ubun-ubun Jawa. Semoga.

***

Minggu, 17 Agustus 2014. Semangat merdeka menyeruak ke setiap bilik jiwa. Menggelegak di sela sahutan ayam subuh yang serak. Kami sekelompok anak muda banyak gaya sudah siap walau belum mandi. Saat itu jam 04.30 WIB. kami berangkat dari rumah Dea menuju stasiun Kiaracondong. Tadinya kami mau pakai angkot. Tapi sopirnya belum pada bangun. Masih dikeloni istrinya di rumah. Jadi kami menyewa mobil dogong pamannya Dea. Cukup dengan membayar tujuh ribu seorang kami bisa sampai ke stasiun dengan cepat dan hemat. Kami salat di stasiun. Sidik kencing di wc. Deni beli pulsa di Dedi. Kemudian kami berangkat tepat jam 05.20 WIB menggunakan kereta ekonomi-ac Pasundan rute Bandung-Surabaya. Harga tiketnya Rp 55.000-, saja. Sudah termasuk rel kereta dan jembatan Nagreg. Kamu juga bisa tidur kalau mau. Kalau tidak ya jangan ngantuk. Kami mau tidur dulu soalnya semalaman mengurusi logistik dan bayar utang-piutang bekas beli perlengkapan.

Belum sehari tidur aku bangun. Kepala si Dedi lupa diri dan posisi. Deni juga. Kepala mereka menyerangku dari sisi kanan dan kiri. Kami kebagian kursi untuk tiga orang. Dan di depan kami sepasang suami istri yang naik di Tasikmalaya. Aku yang tau karena lihat mereka datang. Dea sekursi dengan Agvi yang berhadapan dengan Sidik dan Aris. Sedangkan Panca di gerbong sebelah karena beda pemesanan tiket. Entah mengapa saat itu selalu terngiang lagu masa kecil dulu. Naik kereta api.. tut..tut..tut.. siapa hendak turut. Ke Bandung Surayabaya. Ayolah naik dengan percuma.. Percuma? Hah. Kenapa dengan negeri ini? Kenapa penipuan sudah mendarah daging hingga ke lagu anak-anak? Percuma? Apanya? Kami harus bayar dari Bandung ke Surabaya. Kalau tidak nanti kami dilempar sama tukang karcis yang kumisan itu. Ah sudahlah. Aku cinta negeri ini.

“Ded, di hape maneh aya bokepan nya?,” kata Deni.

“Eweuh. Khusus jang 20 tahun ka luhur,”

“Atuh Ded, hiburan di kereta panan,” sambut Sidik.

“Enya euy sia mah teu bagi-bagi bga nu anyar teh,” sergah Agvi si Kolot.

Aku dilema. Bukan soal mau atau tidak. Tapi itu. Soal..

“Ah si Adam pura-pura,” sela Aris.

“ Eweuh ih bejaan teh,” Dedi kekeuh.

“Uhuk,” suara batuk yang aku tahu nadanya sinis. Keluar dari suami yang duduk di depan kami bertiga.

Aku menutup muka rapat-rapat dengan iket. Para Kuya tidak tahu kalau sepasang suami istri itu orang sunda. Dan kau tahu apa selanjutnya? Sekumpulan Kuya dengan fantasi malam pertama itu terdiam. Muka merah dan tanpa bahasa. Namun sesaat kemudian gelak tawa kembali pecah di antara kita. Perjalanan membosankan yang kami coba ubah menjadi menyenangkan. Itulah kami. Di mana-mana hatiku senang.. lalala..lalala…

***

Tentang Pakistan. Adalah sesosok wanita kesayangan kami. Dia molek. Tidak berkurap. Hidungnya seperti pisang cokelat: mancung manis. Alisnya melengkung memesona. Tubuhnya seperti Selena Gomez kalau lagi ingat. Saat dia tersenyum, apa lagi yang kau cari di dunia ini? Dan kami membahasnya sesekali di perjalanan. Agvi dan Dea. Katanya bersaing mendekatinya. Tapi hanya mendekat. Karena setelah dekat mereka insaf dan ingat pacar masing-masing. Kalau aku sih tidak. Aku masih bisa mendekat, memikat dan menjeratnya hingga dapat. Tapi malas ah. Aku kan menanti kamu.

Muka Dedi pucat. Dia ingin merokok tapi tidak boleh. Tapi mereka tidak habis akal. Satu persatu berjalan ke arah wc dan gantian merokok di dalam. Mereka terlihat seperti anak SMA yang sembunyi-sembunyi takut ketahuan guru BP. “ Kajeun, yang penting bisa nyambung nyawa,” kata Dedi si Waduk.

Kereta yang kami naiki ini sukses membelah kota-kota di sepanjang jalur lintas provinsi. Bahasa di kereta sudah bercampur dengan bahasa sekitar. Makanannya juga. Baunya juga. Kami sudah menempuh perjalanan yang pegal dari matahari terbit hingga tenggelam. Kami habiskan hari kemerdekaan di kereta. Dan tubuh kami merasa perlu dimerdekakan dengan selonjoran dan makan malam. Sekarang jam 19.45 WIB. Akhirnya kami tiba di Stasiun Gubeng Suarabaya. Kami turun dengan tas yang sebesar anak SD. Kami seperti sekumpulan tentara yang baru turun dari kereta perang.

“Kemana sekarang?” kata Aris sambil garuk-garuk selangkangan.

“Terserah. Mau makan dulu ayo. Mau langsung ayo,” Jawab Panca yang baru kami dengar lagi suaranya karena terpisahkan oleh gerbong-gerbong yang sombong.

Perjalanan kami belum selesai. Kami masih harus menuju Malang karena memang di sana adanya gunung. sebetulnya kami bisa berangkat dari Bandung langsung menuju Malang. Tapi ongkosnya keterlaluan untuk kami yang pas-pasan. Untuk kelas bisnis saja tiket dibanderol hingga Rp 250.000-an. Jadi kami memilih rute Bandung-Surabaya-Malang.

“ Yaudah. Kita lanjut aja,” Kata Sidik.

“Iya deh tanggung. Kagok capek. Sekarang gini, mau naik apa dulu kita ke Malang?” aku bilang.

“Naik bis aja,” Panca katanya begitu.

“Jangan. Kereta aja,” Si Dea usul.

“Bagi tugas dulu aja, Dea tanya soal kereta, Panca cari mobil,” aku punya ide.

“Oke. Yang lain jaga barang. Bawa ke luar stasiun dulu,” Dea balas.

Saat yang lain menjaga barang dan membeli rokok, Dea sudah bergegas kembali. Panca juga. Tapi Dea lebih menjanjikan soalnya suruh kita buru-buru.

“Ayo ke Malang! Goceng doang Jon!” kata Dea mengajak.

Tanpa pikir panjang kami buntuti Dea yang seukuran sama tasnya itu. Ternyata benar. Dari Gubeng kita langsung berangkat lagi ke Stasiun Malang Kota pakai kereta Penataran. Ongkosnya apa coba. Cuman Rp 5.500,- untuk perjalanan dua jam. Kalau tidak salah perjalanan dengan bus atau angkot memakan waktu lebih lama dan biaya yang lebih mahal. Kami beruntung bisa dapat kereta langsung malam ini. Dan ini waktu yang tepat untuk sedikit istirahat di gerbong yang nyaman. Kami tidur di Surabaya dan kelak terbangun di Malang.

***

Sekitar jam sebelas malam kami sampai di Malang. Rencananya pendakian akan dilakukan lusa. Bukan besok. Karena kami butuh waktu untuk mempersiapkan fisik dan barang bawaan yang harus dilengkapi. Sekarang kita makan dulu. Karena logika tanpa logistik adalah anarkis. Kita santai.

Di depan stasiun ada taman kota berukuran mini. Di sana ada arsitektur yang menarik tapi gelap. Kan malam. Di sepanjang jalan banyak tukang minum yang tidak haus. Ada juga rombongan pendaki yang baru turun dari Semeru dan menggelar matras di pinggir jalan. Kami tidak. Kami menggelar dompet dan patungan beli makan meski makannya pisah. Kami mampir ke semacam food court­ depan stasiun. Di sana banyak yang jualan. Ada berbagai macam minuman dan makanan khas dari berbagai daerah. Tapi khas Jatim lebih banyak. Para Kuya pesan makanan yang sama. Mereka mau mencoba nasi pecelnya Malang. Aku tidak. Soalnya sudah sering saat di Pare dulu. Aku sendiri pesan nasi rawon dan minta yang banyak dagingnya. Si ibu penjual senyum-senyum. Oh ya. Di sana murah meriah. Cukup dengan bayar Rp 7.500,- kamu bisa makan nasi pecel sampai bosan. Terus dikasih minum teh manis hangat yang aromanya beda dengan kebanyakan teh di Jawa Barat. Sedangkan untuk sepiring nasi rawon harganya Rp 9.000,- sudah sama kenyang. What a delicious night!

“Kemana sekarang?” tanya Dedi sambil nyengir.

“Udah kita nginep di sini aja. Di emperan toko aja,” respon Sidik yang kelihatannya sudah capek.

“Tanggung, ayo lanjut ke Tumpang!” Kata Panca yang mukanya kagok.

“Ke Tumpang naik apa? Sudah deket kan?” tanya Deni.

“Iya Deket. Tinggal naek angkot sekali. Palingan bayar ceban,” Panca bilang.

“Yaudah coba cari angkot yang paling baik!” Agvi sumbang suara.

Panca dan Dea langsung cari angkot. Ternyata angkot yang cari kita. Beberapa sopir pasang harga. Tapi belum ada yang cocok. Mereka pingin dua puluh ribu. Kita tidak mau. Sampai akhirnya muka tak berdaya Panca menyentuh sisi kemanusiaan seorang sopir angkot. Dan akhirnya, kami berangkat ke Tumpang dengan membayar Rp 120.000,- atau seorangnya Rp 15.000. Perjalanan ini ditempuh sekitar dua puluh menit dengan kecepatan mobil F1. Mungkin ini perjalanan terakhir kami di hari kemerdekaan. Sementara itu Deni sibuk mencari kacamata yang katanya hilang. Kalau hilang nanti tidak bisa gaya-gayaan. Berangkat kita!

Tahukah kamu? Barang bawaan kami banyak banget. Kenapa? Soalnya kami berrencana membuat liburan kami kali ini istimewa. Seistimewa Chibi. Nanti, sepulang dari Semeru, kami mau melanjutkan perjalanan ke Pulau Sempu! Edan kan? Iya. Di sana kita bisa lihat pantai yang putih, karang-karang keren dan kepiting pacaran. Agvi sudah pernah ke Sempu sama temannya. Katanya tidak terlalu jauh. Di perjalanan ke Tumpang, Panca sudah ngobrol sama sopir.Di perjalanan kali ini, Panca seolah menjadi semacam translator ­bahasa Jawa. Panca itu orang Lampung yang lama di Jawa dan sekolah di Bandung. Rasain. Katanya Sopir siap membawa kita ke Sempu dengan ongkos yang miring. Kalau tidak salah seorang cukup bayar tidak lebih dari Rp 120.000. Sudah pergi-pulang. Jauh lebih hemat jika harus sambung-sambung angkutan. Di sana, tinggal bayar tiket masuk seharga Rp 10.000 katanya. Dan naik perahu buat nyebrang pulau Rp 100.000 perkapal. Murah kan? Kami dengan ridho menjalani liburan ini. Semoga jadi. Mendaki-daki dahulu berenang-renang kemudian! Sounds great!

Sekarang hari Senin, 18 Agustus 2014 jam 12.45 malam. Kami sampai di kediaman Pak Laman. Siapa itu? Tidak tahu. Kata Panca, beliau adalah salah seorang pengelola transportasi dari Tumpang menuju Ranupani. Ternyata sopir tadi hatinya seputih kue salju. Dia mengantar kita ke Pak Laman yang memang menyediakan transportasi buat besok serta penginapan gratis! Gratis? Ya! Gratis adalah kata sakral yang tak pernah ada tandingannya. Jadi, malam ini kami menginap di sana tanpa biaya tambahan sedikit pun. Tadinya kami takut diculik dan dijual ke tante girang. Tapi tidak. Kami malah dijamu dengan spesial. Diberi ruangan untuk istirahat, roti yang enak, kamar mandi yang luas, mushola serta teh manis yang lagi-lagi memiliki aroma dan rasa yang khas. Aku lupa bertanya itu teh apa. Mungkin kamu tahu? Kalau tahu tolong bikinin untuk kita ngeteh berdua. Namun malam ini, aku mau tidur waras dulu. Dadah!

 ***

Tumpang, sebuah kota kecil yang menampung kami pagi ini. Suhu di sana seperti Jakarta kalau lagi musim dingin. Tumpang menjadi tempat persinggahan para pendaki Semeru. Karena di sana terdapat pasar yang menyediakan berbagai perbekalan untuk pendakian. Selain itu, Tumpang juga menjadi pos pemberangkatan pendaki ke Ranupani. Di Tumpang kalian bisa menyewa truk dan mobil untuk perjalanan ke Ranupani—desa terakhir sebelum jalur pendakian.

Aku terbangun dari mimpi indah semalam. Dalam mimpi, aku jadi porter yang bawa barangnya Dinda di film 5 CM. Mimpi yang menyedihkan. Tapi ada yang lebih menyedihkan. Aku bermimpi salah satu dari geng Kuya Legeg tidak sampai ke puncak entah karena apa. Semoga saja tidak terjadi hal yang tidak diinginkan pada perjalanan kami nanti. Amin.

Saat itu jam setengah enam pagi. Agvi dan Panca kami utus untuk membeli bahan makanan untuk pendakian. Kenapa mereka? Karena dua orang itu sudah berpengalaman kalau belanja di Tumpang. Mereka tahu jalan dan tenang walau belum mandi. Oh ya, ibu pemilik rumah baik sekali. Dia meminjamkan kami sepeda motornya untuk dipakai Agvi dan Panca ke pasar. Lalu berangkat kedua orang yang sudah tua itu. Kami yang muda beres-beres ruangan dan badan. Sedangkan aku lagi sibuk beres-beres pikiran dan perasaan yang nyangkut di Bandung.

Tidak lama ternyata. Cuman setengah jam lebih tiga puluh menit yang ke pasar sudah balik lagi. Muka mereka senyum-senyum aneh. Nampak ada yang disembunyikan di balik kumis mereka.

“Ada kabar gembira untuk kita semua,” adalah ucapan setelah salam yang Agvi katakan.

“Kulit mantan kini ada ekstraknya?” bukan aku yang bilang.

“Bukan. Apa ayo..” Panca sok centil dan lupa umur.

“Apa ih? Bahan makanan gak ada?” tanya Aris.

“Ini. Ada dua kabar,” Agvi coba buat kami tambah penasaran.

“Sok buru sia teh kolot sok loba genit nya,” Dedi nampak gelisah. Kelihatan dari mukanya yang random.

“Gini, kabar gembira pertama, kalian harus patungan lagi buat bahan makanan. Tadi Agvi nombokin hehe,” jelas Panca.

“Satu lagi apa?” Aku penasaran.

“Satu lagi, kita kehabisan tiket kereta buat pulang! Bergembiralah kalian! Haha” Agvi meracau.

“Bentar, memang waktu itu gak beli tiket kereta bolak-balik?” tanyaku.

“Enggak. Lagian waktu itu masih banyak, tapi uangnya pas-pasan. Lagian juga kita kan belum jelas pulangnya tanggal berapa,” lanjut Agvi.

Jadi, tadi, Agvi dan Panca menyempatkan mampir ke Indomaret buat periksa tiket kereta. Ternyata kelas ekonomi yang harganya gocap itu penuh. Adanya tinggal kelas bisnis dan eksekutif yang harganya tidak lucu. Aku baru sadar kenapa tidak Agvi dan Dea pesan tiket buat pulang. Kalau sudah begini kan ribet. Kita harus putar otak buat jalan pulang nanti. Karena uang yang kita punya pas-pasan.

“Jadi gimana?” Deni bingung.

“Belum tau nih,”

“Gini aja, kalau misalkan gak ada cara lain, kita pakai uang Sempu buat pulang,” kata Agvi.

“kalau tidak salah, naik bis ongkosnya dua setengah. Itu dari Surabaya ke Bandung,” info dari Panca.

“yasudah, untuk sementara ini jalan-jalan ke Sempu kita tunda dulu. Kita fokus ke Semeru. Kalau memungkinkan dan ada jalan lain nanti kita pikirkan lagi. Oke?” Dea kasih solusi.

Dari perbincangan itu, akhirnya kami sepakat untuk fokus menaklukkan Semeru terlebih dulu dan mengesampingkan Sempu. Karena ongkos nanti akan jauh lebih mahal. Dan dana untuk ke Sempu sepertinya akan dipakai untuk nambah ongkos pulang nanti. Semoga lancar jaya.

***

Delapan buah tas gunung diangkut satu persatu ke atas mobil. Tadinya kita akan pakai truk. Tapi tidak jadi karena kurang penumpang. Biasanya, truk mengangkut lima belas orang dalam sekali jalan. Masing-masing bayar Rp. 35.000. Kebetulan jumlah kami hanya delapan dan kurang untuk menyewa sebuah truk. Ibu-ibu yang baik itu kemudian menawarkan mobil Jeep-nya kepada kami. Cukup dengan membayar Rp. 50.000 seorang kami bisa sampai ke ranupani. Jadi mobil yang kami naiki itu berharga Rp 400.000. Murah bukan? Sebuah mobil keren untuk perjalanan dua jam ke Ranupani. Lalu kami foto-foto sebagai bentuk syukur. Terimakasih ibu dan bapak yang sudah terima kami semalam. Semoga rizki kalian berkah seiring kebaikan kallian yang bertambah.

Kami pakai kacamata biar keren. Deni juga. Kacamatanya yang hilang sudah ketemu. Kami menyusuri perkebunan apel dengan mobil yang kami tumpangi. Udaranya sejuk seperti di sana. Apelnya merah kuning hijau seperti lampu lalu lintas. Selain apel, ada juga perkebunan daun bawang dan kubis. Kami benar-benar disuguhi kekayaan Indonesia yang nampak lezat. Kami juga menyempatkan diri turun di kawasan masuk wisata Bromo. Di sana, lagi-lagi kami ambil foto sesuai selera. Karena sayang sekali pemandangan seindah ini kalau tidak bisa dipamerkan nanti. Dalam keadaan seperti itu, aku selalu dekati Dedi karena dia punya kamera. Jadi kami gantian ambil gambar. Dan kamu tahu akhirnya foto siapa nanti yang paling banyak. Ya! Sidik! Tetap dia yang paling banyak dengan gaya sensualnya itu. Kamera Dedi, Dea, Agvi dan Panca akan selalu disesaki foto Sidik. Entahlah. Kamu akan tahu kalau kamu kenal dia dulu. Nanti aku kenalkan kapan-kapan. Yang jelas, kadang-kadang yang punya kamera jaga jarak dari Sidik. Mungkin takut kalah eksis.

Sekarang jam setengah sebelas siang. Kami sampai di Ranupani. Sebuah desa yang ramah dengan pemandangannya yang indah. Tanah di sini dilapisi abu. Kabut juga sering turun menyelimuti desa tanggap bencana ini. Setelah turun dari mobil, tadinya kami mau mendirikan tenda di tepian danau. Karena memang perjalanan kami ke puncak baru akan dimulai besok pagi. Sesuai dengan tanggal pemesanan di tiket pendakian. Tapi sesaat kami mau mendirikan tenda, Agvi bilang, sebaiknya kita ke tempat penginapan di atas. Ada semacam ruangan untuk para pendaki yang bisa digunakan untuk menginap. Jadi kami tidak jadi bikin tenda di pinggir danau. Padahal aku mau. Kayaknya seru.

Kami berdelapan menuju ke tempat persinggahan. Sementara itu Panca, Agvi dan Dea mengurusi surat izin kami ke kantor yang ada di dekat mushola. Deni langsung bongkar tasnya dan ganti baju. Sidik sibuk pakai pelembab biar kulitnya tidak kering. Dedi lagi ribet cari colokan karena hapenya lowbatt. Aris sakit perut tapi malas ke wc karena bayar dua ribu. Sedangkan aku lagi menyatu dengan alam dalam keheningan: tidur di mushola.

Kira-kira setengah jam aku tidur, Dea membangunkan. Katanya begini, “Ayo siap-siap berangkat!”. Apa? Berangkat? Bukannya besok? Ternyata mereka merayu penjaga untuk bisa mendaki siang ini. Karena kalau besok masih lama. Dengan berangkat sekarang, perbekalan akan lebih hemat dan kami bisa pulang lebih cepat.

Tanpa menunggu disuruh dua kali, kami sudah siap-siap. Tinggal berangkat. Satu persatu barang bawaan kami periksa lagi. Kompor, matras, tenda dan jas hujan tidak lupa. Niat, semangat dan tekad juga ikut. Mereka sudah membara sedari kemarin. Fisik dan mental sudah dipanaskan. Kelak, hanya akan ada kaki yang pegal lebih banyak. Tangan yang garuk-garuk lebih sering. Ingus yang keluar masuk. Perut yang lebih sering salatri. Dan doa yang tak pernah usai. Mahmeru, kami datang!

***

Baru sekitar tujuh menit berjalan, kami diperiksa dulu di pos sebelum gerbang masuk. Di sana ada server yang memeberi arahan kepada para pendaki. Kata dia, kita tidak diminta bayaran apa-apa untuk pemberian materi ini. Namun kita cukup membayarnya dengan sampah pas turun nanti. Jadi kita harus bawa ­trash bag buat simpen sampah selama perjalanan. Kita pecinta alam, bukan? Selain itu, server juga memeriksa kembali perlengkapan dan persyaratan kami. Supaya pendakian kami kalli ini lancar dan terhindar dari hal-hal yang merepotkan.

Sekarang jam lapar dan haus. Matahari tepat berada di atas topi. Kami masih menyusuri Lendengan Dowo yang panjang seperti Tembok Cina itu. Aku masih semangat. Agvi juga. Tapi kasihan dia. Pundaknya sering terasa sakit karena barang bawaannya yang banyak. Bentuk tasnya menurutku kurang nyaman karena model lama. Semakin lama semakin kasihan aku melihat orang tua itu. Ya sudah. Aku coba gantian dengan dia. Tapi tentu tidak akan lama. Hingga cakranya bertambah kembali dan siap melakukan jurus langkah seribu di rimbunnya jalur pendakian.

Sementara itu Sidik riang gembira. Jalannya masih seperti Luna Maya saat memeragakan busana baru. Berbeda dengan Dedi yang sudah mulai pucat. Dia sering kehausan. Wajar, mungkin di saat lelah seperti ini Samson pun merengek minta es goyobod. Kami belum setengah perjalanan. Rencananya, kami akan bermalam di Ranu Kumbolo. Surganya Semeru itu. Kami harus sampai sebelum malam biar di jalan tidak gelap. Kami harus benar-benar menghemat sumber penerangan yang kami miliki.

“Duluan mas..” kata serombongan pendaki saat mendahului kami.

“Monggo mas,” balas Dedi serasa orang Jawa.

Entah yang keberapakalinya kami disusul pendaki yang tadinya berada di belakang. Ya itulah kami Kuya Legeg. Kalau tidak lambat berarti bukan kita. Tapi bukan tanpa alasan. Kami sengaja lambat karena menghemat energi dan meresapi keindahan alam dalam setiap langkah. ­Slow but sure. Kami menemukan keramahan antar pendaki dalam keadaan seperti ini. Senyum, sapa dan salam ternyata tidak hanya tradisi Pertamina. Pendaki pun sama. Kami memiliki kesamaan tujuan dan tantangan yang mungkin sama. Karenanya, bersikap ramah adalah suatu keharusan. Sebuah hukum tidak tertulis yang senantiasa berlaku di setiap jalur pendakian. Semoga kebiasaan baik ini berlanjut saat turun ke kota nanti.

 ***

18.30 WIB. Nyala tenda belum juga terlihat. Rasanya sudah lama sekali perjalanan hari ini. Desir air Ranu Kumblolo pun belum terdengar. Tadi kami melewati tanjakan yang entah apa namanya. Tanjakan terjal dengan debu beterbangan setelah melewati pos tiga. Sekarang gantian. Kami yang bergerak cepat di waktu gelap. Derap kaki kami terdengar lebih kencang. Nafas memburu. Mata terpasang tajam. Kami menghantam malam untuk sebuah tujuan: makan. Mungkin karena kami mahasiswa nocturnal, kemampuan beradaptasi kami dengan pendakian malam sungguh bagus.

Akhirnya, titik-titik cahaya terlihat dari kejauhan. Seperti kunang-kunang yang berhinggapan di bibir danau. Itu adalah tenda para pendaki. Mereka yang lebih dulu sampai ketimbang kami. Keringat kami beradu dengan cuaca dingin di sana. Saat itu tidak hujan. Namun jari-jari kami seperti ditusuk jarum yang masuk melalui setiap pori-pori. Sungguh keadaan yang menantang. Sejauh mana kekuatan fisik dan mental kami akan dibuktikan di pendakian ini. Mereka yang berada di puncak adalah sekumpulan orang bermental baja dan berfisik juara.

Sesampainya di Ranukumbolo, dua tenda langsung didirikan. Kami memilih tempat dekat danau supaya gampang mengambil air. Saat yang lain beres-beres barang, aku mengambil air untuk masak. Agvi sudah menyalakan kompor. Oh ya, harus kamu tahu, Agvi adalah koki kami di setiap ekspedisi. Dia jago meramu bahan makanan jadi apa yang kita mau. Rasanya juga enak. Termakasih Agvi. Mungkin dengan bilang begini, dia jadi lebih semangat lain kali. Dan akhirnya, kami pun makan malam saat itu.

***

Suara tenda sebelah membangunkanku di subuh itu. Kulihat jam tangan. Setengah enam rupanya. Aku masih sempat salat subuh. Saat itu cahaya langit di sela bukit Ranukumbolo berwarna jingga. Surya begitu hangat menyapa kami dari kejauhan. Wajahnya belum muncul. Semburat sinarnya memecah partikel embun dan hilang. Dingin semalaman hilang sesentuhan. Sebuah harmoni pagi. Menyemai rindu bagi setiap insan yang ingin dimanja alam. Lukisan Tuhan yang tak masuk pameran. Sungguh indah!

“Dam anter..” Kata Dedi.

“Kemana?”

“modol, hehe,”

“Di mana?”

“Itu di semak,”

“Males. Nitip boleh?”

“Apa? Modol?”

“Iya. Kantong plastikin ya?”

“Sianying!”

“Ayo bareng,”

“Yaudah yu,”

Akhirnya cuman Dedi yang jadi. Aku tidak. Sudah malas. Kalau mau buang air harus di semak. Bawa air dari danau atau bawa tisu basah. Tidak boleh mencemari danau sedikit pun. Bahkan mencuci piring harus bawa dulu air danau dan cuci di tempat lain. Begitu etikanya kalau di sana. Karena Ranukumbolo adalah sumber kehidupan kami saat itu. Tidak boleh dipakai macam-macam. Apalagi berenang. Seperti film 5 KM itu. Kalau bukan kita yang menjaga alam, lalu siapa?

Pagi itu Agvi masak sayur yang enak. Juga banyak. Dia sukses membungkam cacing dalam perut Dedi yang kelaparan. Kami semangat lagi. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami sempat foto bareng dulu dengan latar belakang Ranukumbolo. Karena aku pikir nanti tidak akan ada kesempatan untuk foto seperti itu. Bisa saja karena pulang malam. Atau karena kamera yang kami bawa mati semua. Jadi mumpung sempat, kita bergaya. Kuya Legeg!

***

Hari Selasa 19 Agustus 2014, Jam setengah sebelas pagi. Kita berangkat. Tujuan selanjutnnya adalah Kalimati. Di sana kami akan bermalam sebelum pendakian sesungguhnya dimulai. Panca bilang, perjalanan ke sana akan menyenangkan. Tapi melelahkan. Baru saja kami melangkah sepuluh kali, tanjakan tinggi langsung menghadang. Ya, itu tanjakan cinta. Sebuah tanjakan yang punya mitos menarik. Mistis romantis. Katanya, kalau kita menanjak terus tanpa mengengok ke belakang sambil memikirkan orang yang kita sayang, maka orang itu bisa jadi jodoh. Percaya kah kamu?

“Ded, urang mau lari sampe atas,” kata Deni.

“Sombong! Jalan aja capek,” balas Dedi.

“Eh lemah. Ini kan demi A…”

“Aku? Haha,”

“Ih! Just for “A” and no more!”

“Coba sok. Semoga sukses,”

Saat Deni memerjuangkan cintanya di atas tanjakan, Dedi masih ngupil. Sidik sama Aris lagi merekam momen nanjak itu. Aku sih biasa saja. Karena orang yang aku sayang bukan hanya kuperjuangkan di tanjakan. Sudah sedari dulu. Aku pikir, mitos ini dibuat untuk menambah semangat para pendaki yang kepayahan menanjak bukit terjal ini. Apapun itu, mitos, menurutku, selalu memegang peran penting dalam pelestarian alam di negeri kita.

Setelah melewati Tanjakan Cinta, kami disuguhi pemandangan luar biasa. Hamparan ladang lavender menghipnotis kami sejenak. Orang sekitar menyebutnya Oro-Oro Ombo. Kata Panca, kalau lagi musimnya, ladang itu akan lebih indah karena seluruhnya berwarna ungu. Kalau sekarang tidak. Tapi tetap menakjubkan. Jangan coba-coba buang puntung rokok atau main api kalau di sini. Karena rawan kebakaran. Buat alam kok coba-coba.

Ladang lavender itu berujung di Cemoro kandang. Tempat istirahat yang teduh karena banyak pohon cemara. Kamu tahu? Di sana ada tukang gorengan! Aku suka sakit hati kalau begitu. Sudah capek setengah mati mendaki, ternyata ada yang jualan naik turun gunung. Memang dasarnya kita tidak boleh sombong. Karena saat kita berkeringat, ada orang yang jauh berkeringat daripada kita. Oh ya, kau tahu harga gorengannya? Lima ribu dapat dua! Aku pikir harga gorengan di sana sesuai dengan ketinggian pada saat itu. Ya, 2500 Mdpl. Luar biasa bapak pedagang. Bolt, si manusia tercepat itu, aku pikir fisiknya kalah dibanding penjual gorengan yang saban hari naik turun gunung untuk menjemput rezeki. Dan sekarang, ayo jajan dulu. Ini gorengan termahal yang pernah masuk ke perutku. Sebuah sejarah.

***

Sepatu yang dekil ini sukses melewati Oro-Oro Ombo, Cemoro Kandang dan Jambangan. Semacam checkpoint dalam perjalanan kami menuju puncak. Sekarang jam empat sore lebih sedikit. Kami sampai di Kalimati dengan sehat. Tapi Agvi dan Panca ketinggalan terus di belakang. Mungkin faktor umur. Kami yang sampai duluan seperti biasa: mendirikan tenda dan menyiapkan alat masak. Sisanya beres-beres dan salat Ashar. Selama perjalanan ini, kami tidak berani meninggalkan salat. Meskipun kami harus melakukannya dengan jama’ dan qashar. Bagaimana mungkin kami jauh-jauh datang ke sini untuk menikmati keindahan alam sedangkan Sang Maha-indah kami lupakan?

Kami berkemah di samping para pendaki lainnya. Kami berkenalan dengan mereka. Menjalin persahabatan di dinginnya Kalimati. Kamu harus melakukan itu kalau kamu mau kopi gratis. Seperti kami. Malam ini Kalimati tidak terlalu ramai. Berbeda dengan beberapa hari lalu. Salah satu portal berita online nasional memberitakan bahwa sekitar tiga ribu pendaki lakukan upacara bendera di semeru. Tiga ribu! Berarti ada tiga ribu orang yang kencing di Semeru. Ada tiga ribu orang yang selfie di semeru! Dan tiga ribu orang yang berkemah di sana. Terbayang kan betapa ramainya kala itu?

“Mas, boleh minta air panasnya?” kata tetangga ke Agvi yang lagi masak air.

“Boleh, Mas. Nanti malam mau muncak?”

“Iya nih. Kemarin malam kita ketiduran. Bangun jam enam. Jadi malam nanti mau diganti,”

“Ketiduran? Haha kok bisa?”

“Iya kecapekan kayaknya. Nanti malem bareng ya, Mas?”

“Siap. Nanti kita bangunin deh,”

“Dari mana, Mas?”

“Oh. Kami dari Bandung. Masnya?”

“Wah! Sama Jawa Barat dong kita. Saya dari Indramayu,”

“Berapa orang Mas?”

“Cuman berdua, itu sama teman saya di tenda. Kami naik motor dari Indramayu,”

“Hah? Nekad amat Mas?”

“Iya, sudah biasa, kami dua hari naik motor,”

“Super sekali, Mas”

“Hehe biasa aja kok.. oh ya, makasih ya airnya. Ini ada kopi buat yang lain. Nanti malam jangan lupa samper ke tenda,”

“Oke Mas,” tandas Agvi.

Agvi lupa bertanya siapa namanya. Tapi sepertinya hubungan emosional sudah terjalin di antara mereka. Rencananya, nanti malam kami akan ke puncak bareng dua orang Indramayu itu. Rencananya juga, setelah makan malam jam tujuh ini, kami tidur dulu. Nanti jam sebelasan kami mau ke medan juang.

***

Satu persatu headlamp dinyalakan. Sarung tangan dan tali sepatu dikencangkan. Tubuh kami dibalut beberapa lapis pakaian hangat. Adalah alam sebagai tantangan. Udara dingin yang menusuk. Debu yang memerkosa hidung. Dan batu yang kapan saja siap menghantam. Kami, dan dua orang tetangga, berkumpul terlebih dahulu. Memanjatkan doa kepada Sang Maharaja. Berharap perlindungan. Berharap kasih sayang. Berharap cerita kami tidak berakhir sampai sini.

Malam ini Agvi tidak ikut bersama kami. Kakinya yang luka sejak awal pendakian semakin menjadi. Menurutnya—yang sudah pengalaman—dia tidak akan mampu untuk sampai puncak. Dia lebih memilih beristirahat dan menjaga barang bawaan. Karena tidak ada barang yang kami bawa ke atas. Hanya kamera, air minum dan beberapa makanan yang sudah disediakan Agvi untuk kami. Benar-benar orang tua yang bijaksana.

Di perjalanan malam ini, hanya aku yang bawa tas. Itu pun tas kecil berisi peralatan medis dan makanan untuk nanti di puncak. Masing-masing membawa air. Saat ini jam sebelas malam. Jika lancar, kami akan sampai di puncak sebelum fajar. Kira-kira jam setengah enam. Kami lebih dulu berangkat karena jalur pendakian yang biasa dilewati sudah ditutup dan dipindah ke jalur baru. Katanya, jalur yang sekarang ini lebih berat. Semoga langkah kami kuat. Semoga tekad kami bulat. Semoga Kau setuju.

***

Aku menengok ke belakang. Cahaya lampu para pendaki nampak kerdil. Kami sudah setengah perjalanan. Sekarang jam dua malam. Di atas sana beberapa lampu dikedipkan. Ada sekitar lima puluh orang berada di bawahku. Entah di atas. Tim kami masih lengkap. Susunan kami pun masih teratur dengan Panca sebagai ujung tombak. Aku paling buncit. Kami adalah makhluk malam yang lagi berjuang. Menapaki setiap batu dan kerikil. Merangkak di leher gunung tertinggi Jawa. Melihat selasar cakrawala. Di Mahameru, tahta para dewa.

Drama kehidupan terjadi di depan mata. Tentang jiwa-jiwa yang tersingkir. Tentang semangat yang terukir. Adalah Mahameru tempat tekad ditempa. Aku di antara orang-orang yang hilang arah. Aku di antara orang-orang yang mulai lelah. Aku terperangah. Di depanku ada darah dan nanah. Sedangkan sekeliling lainnya kulihat wajah-wajah yang resah. Sesulit ini kah kau Mahameru? Sesombong ini kah kau manusia? Drama. Rasa. Cita. Adalah warna yang kulihat malam ini selain hitam. Adalah jiwa yang mulai kalut. Adalah raga yang mulai kusut. Alam-Mu terlalu, Tuhan!

Panca sudah jauh di atas. Aku terus berjalan. Di sampingku hanya Dedi seorang. Yang lain di belakang. Satu langkahku harus dibayar tiga langkah ke belakang. Struktur tanah di sini susah. Sepatumu akan tertelan olehnya dan kau benar-benar sulit melangkah. Udara di sini benar-benar pelit. Kau sulit bernapas di ketinggian 3.500 Mdpl. Dingin di sini belum pernah kudapat sebelumnya. Kulit tertusuk suhu yang tajam. Bibir akan bosan kau basahi. Kulit wajah mulai rekah. Dan semangat mulai lemah.

Sementara itu, di samping kulihat beberapa pendaki tergeletak. Satu, dua, tiga, dan kuhitung ada sekitar lima belas orang yang tak bergerak. Kulihat temannya menampari. Aku heran. Kenapa mereka diperlakukan seperti itu. Atau karena, Ah! Aku ingat. Gejala hipotermia! Sebuah ancaman serius bagi para pendaki. Saat jantung terpacu kencang. Suhu tubuh panas. Namun dikalahkan oleh rasa lelah dan kantuk yang luar biasa. Ditambah suhu pegunungan yang ekstrem. Keadaan seperti itu akan membuat tubuh merasa ingin berhenti bekerja. Dan godaan untuk tertidur semakin kuat. Dari beberapa kasus hipotermia, pendaki tertidur dan tidak lagi bangun. Matanya tak lagi terbuka. Napasnya berhenti menghela. Dan kisahnya berakhir sampai sana.

Aku masih di pangkuan malam. Menyusuri jalan setapak yang dibuat Tuhan. Langkahku gontai. Mataku sayu. Ucapanku meracau. Pikiranku mengacau. Napasku seperti hembusan kenangan yang lepas satu persatu. Detak jantungku redup. Kurasakan udara dingin menyelimuti setiap bagian kulit tubuhku. Dan batu adalah tempat paling nyaman yang kurasakan saat ini. Aku terpejam.

“Dam…Dam, Hudang!” seru Dedi.

“Dam hey! Bahaya Dam, bahaya..!” suaranya semakin nyaring terdengar. Tangannya menggoyangkan bahuku.

Aku terbangun. Ternyata aku sama dengan para pendaki yang kulihat tadi. Sesaat kemudian.. hoooeek uhuk uhuk.. aku muntah. Kulihat makan malam semalam yang belum selesai dicerna. Dedi segera memberiku air yang tinggal seteguk lagi.

“Gak kuat, Ded,”

“Ayo Dam, dikit deui!”

“Mual Ded,”

“Hah? Moal, Dam? Moal ka puncak? Kagok saeutik deui!”

“Mual onta mual, lain moal, Ih”

Aku heran. Dalam keadaan seperti itu sempat-sempatnya dia salah dengar. Aku minta Dedi untuk terus mendampingi sampai aku kuat. Dan dia mau. Aku minta dia untuk membangunkanku saat tertidur pertiga menit sekali. Dia mau juga. Aku memeluk punggung Dedi dari belakang sambil duduk. Itu bukan homo. Hanya menjaga suhu tubuhku tetap hangat. Dan tak lama kemudian aku kembali terpejam.

Aku entah di mana. Saat itu kulihat pepohonan rimbun dengan batangan kayu yang begitu kerontang. Aku lihat Agvi sedang masak. Dan aku pergi mencari air. Di sana air adalah barang langka. Kulihat beberapa pendaki menukar kamera mereka untuk sebotol air. Sedangkan aku tidak, aku dipersilahkan mengambil air semaunya. Dan aku teguk air itu sampai aku jatuh. Dan tidur. Kulihat tubuhku yang tergeletak. Aku tak bisa menepuk lenganku yang dihinggapi nyamuk. Aku menangis tapi tak basah. Lalu tertawa tapi sakit. Aku seperti dipermainkan dan bingung arah tujuan. Dan sesaat kemudian, “puk” seorang tetua dengan cahaya terang menepuk pundakku. Wajahnya samar. Tubuhnya tinggi. Aku tak bisa mengenali siapa dia. Hanya sesosok pria tua yang terang. Dan dia tersenyum.

Hah. Nafas panjang kuhela. Kuulangi itu berkali-kali. Aku terbangun. Ternyata aku bermimpi. Kuilhat jam dan aku telah tertidur selama sepuluh menit. Dedi parah. Dia lupa akan janjinya dan ikut tidur bersamaku. Entah apa yang merasuki pikiranku saat itu. Langsung saja kubuka tas yang kubawa dan meraih kotak obat. Aku ambil obat antimabuk yang dibeli saat di Bandung. Aku ambil dua tablet kecil dan kutelan. Aku cari air dan ternyata tidak ada. Sungguh pahit rasanya. Aku cari sesuatu untuk mendorong obat ini dari tenggorokan. Ternyata ada sosis. Aku ambil dua potong. Dan rasa pahit itu lumayan berkurang. Entah apa yang kulakukan. Aku tidak tahu resiko apa yang akan terjadi jika kumakan obat itu di saat seperti ini. Setelah beberapa saat, aku seperti hidup kembali. Semangatku meledak. Nafasku menderu bak kuda yang hendak berangkat perang. Mataku menatap tajam. Tubuhku seutuhnya baru. Kutarik Dedi dan mengajaknya kembali ke jalur pertempuran. Kami berangkat.

Sekitar sepuluh menit berjalan aku bertemu Panca. Kami jadi bertiga. Yang lain entah di mana. Semoga saja mereka tidak mengalami apa yang terjadi padaku tadi. Kulihat ke samping, dan, ya Tuhan. bintang yang begitu dekat semalam sudah buram. Menyisakan semburat cahaya surya dan hamparan samudra awan yang membentang sejauh mata memandang! Ini hampir setengah enam. Kepuasan yang tak bisa kau beli dengan uang. Pemandangan yang hanya bisa kau lihat di galeri Tuhan. Sungguh indah!

Kami terus memacu langkah kami supaya lebih cepat. Semangatku untuk mencapai puncak begitu menggelegak. Dedi dan Panca juga.

“Hey Dam, damang?” Itu Dea! Dia menyapaku di jalan hampir mencapai puncak. Ternyata dia sudah di atas bersama Panca. Berarti pasukan di bawah menyisakan Sidik, Aris, Deni dan dua orang Indramayu.

“Kirain di bawah!” kataku.

Dari sana kami jalan bersama. Hingga akhirnya tetap, Panca dan Dea yang sampai duluan. Dedi kemudian. Dan aku menyusul. Hal yang paling kuingat adalah saat tidak ada lagi jalan menanjak di depan mata. Lampu-lampu berhenti berkedip. Tiada keluh kesah yang keluar dari mulut pendaki. Tiada orang-orang yang tergeletak. Tiada harapan yang terputus.

Langkah terkahirku terasa begitu berat. Tanganku mulai mati rasa. Dan pada akhirnya batu besar yang kupegang untuk menopangku ke atas adalah gerbang menuju tahta Mahameru. Mataku berkaca-kaca. Napasku tak tentu. Senyumku bercampur haru. Tawaku berubah tangis. Aku sampai! Kudaratkan tubuh yang lemah ini tepat di atas Mahameru. Kuresapi. Kuciumi. Ya. Kuciumi kau ubun-ubun Jawa! Aku di sini. Di puncak tertinggi pulau kelahiranku! Aku bersujud kepada-Mu di sini. Airmata, tawa dan luka ini adalah bentuk syukurku kepada-Mu wahai Mahatinggi! Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu akbar.. Terimakasih Maharaja. Terimakasih Mahameru.

***

Setelah mengambil beberapa foto keren, teman yang lain baru sampai. Mereka sama sepertiku. Mengharu biru. Sidik langsung seyum-senyum. Deni juga sujud syukur. Aris, tunggu, kemana Aris? Kenapa cuman berdua? Orang Indramayu juga tidak ada.

“Kemana Aris?” tanyaku.

“Gak tahu tadi di belakang kok,” jawab Sidik.

“Eh yang bener dong,”

“Iya. Biarin nanti juga nyusul,”

Tak berapa lama kemudian datang lah orang Indramayu. Kata dia, tadi ketemu Aris sepuluh menit sebelum puncak. Lalu kabut turun. Ucapan pria itu benar-benar membuat khawatir. Kami takut terjadi apa-apa pada Aris. Dan kabut semakin tebal. Menutupi seluruh bagian puncak Mahameru. Samudra awan tadi hilang. Matahari juga. Kau tahu betapa dinginnya saat itu? Ingus yang keluar tidak kembali masuk. Dia kering di perjalanan. Bulu mata disesaki Kristal-kristal es. Rambut juga. Mungkin kutu yang ada di rambut Dedi lagi kerepotan. Ini dingin. Sungguh!

Setelah berdingin ria di puncak selama kurang lebih setengah jam, cahaya matahari muncul lagi. Memberi kehangatan pada setiap makhluk yang disapanya. Termasuk aku. Sungguh nikmat saat itu. Bagaimana kulitku seperti hidup kembali. Karena sudah nyaman, kami lalu makan bareng dan kemudian foto-foto. Ritual suci yang tak boleh ketinggalan di setiap perjalanan.

Tak lama kami di puncak. Hanya sampai jam setengah sembilan. Setelah puas memandangi dataran Jawa dan lautnya. Setelah puas memanjatkan doa di tempat mustajab. Setelah puas menikmati jerih payah perjuangan kami selama ini. Kami turun gunung. Dan kami anggap Aris kembali ke tenda karena kabut tebal. Semoga. Dadah Mahameru. Jumpa lagi lain waktu. Dan kamu, lain kali akan kuajak. Tapi nanti, kalau kamu sudah mau. Dan aku tidak lupa.

***

Ini sungguh lucu! Perjalanan ke puncak yang menghabiskan waktu semalaman tidak berlaku saat pulang. Coba tebak, berapa lama kami menuruni gunung sampai ke Kalimati? Salah! Hanya sekitar dua puluh menit! Itu perjalanan paling asyik kupikir. Karena struktur tanah yang empuk itu sangat seru di perjalanan pulang. Kami seperti berlarian di atas salju. Percaya kah kamu? Kalau tidak, coba saja sendiri. Kalau malas, ya sudah jangan. Aku tidak maksa.

Saat di bawah, Agvi sudah siap dengan makanannya. Dan ada Aris! Sebuah keadaan yang diharapkan. Agvi memang selalu tahu apa yang kita butuhkan. Kalau alasan Aris turun lagi sih, katanya kabut. Dia takut tersesat atau apalah itu. Yang jelas dia lebih memutuskan kembali lagi saat perjalanan menyisakan sepuluh menit sampai ke puncak. Tak apalah. Lain kali coba lagi ya, Aris!

Setelah kenyang dan beres-beres, kami pulang. Rencananya kami akan langsung ke Ranupani. Tidak berkemah lagi di Ranukumbolo. Doakan kami ya!

***

Kami memandang senja yang lembut di Ranukumbolo. Perjalanan dari Kalimati tidak terlalu berat karena jalurnya yang menurun. Setelah salat, kami makan bersama. Menunya mie goreng sampai puas. Kami tidak akan lama berada di sana. Target kami mencapai Ranupani adalah jam sebelas malam kalau mungkin.

“Ayo siap-siap,” seru Agvi. Dia selalu bersikap dewasa. Sebenarnya tidak tua-tua amat sih. Hanya beda tiga tahun dari kami.

“Ayo. Isi air masing-masing,” kataku.

Tapi hanya aku, Sidik dan Agvi yang mengisi. Yang lain sepertinya malas. Sekitar jam setengah delapan kami baru berangkat. Malam ini nampaknya akan jadi perjalanan yang berat. Saat sisa-sisa tenaga dipertaruhkan dengan jalan gelap yang berliku. Saat headlamp kami sudah temaram. Saat konsentrasi mulai buyar. Semoga kami sampai ke Ranupani dengan selamat.

***

“Dea.. Dea.. Sini istirahat dulu, Dea. Santai saja. Kenapa buru-buru? Ayo sini tiduran dulu,”

Suara itu berkali-kali membisiki telinga Dea. Entah siapa. Entah di mana. Sedangkan perjalanan kami masih jauh. Pos dua belum kami lewati. Aris berulang kali melihat kanan kiri dan menggosok-gosok matanya. Dia selalu melihat rumah yang tampak nyaman di setiap persimpangan. Berulang kali dia mau mampir. Tapi kawanan terus bergerak. Panca, sebagai pemimpin jalan, hampir goyah. Dilihatnya sesosok wanita yang selalu hadir di hadapannya. Wanita yang nampak menarik. Perjalanan yang sungguh berkeringat. Saat fisik dan mental kami mulai menurun, imajinasi kami berkeliaran. Mitos Semeru satu persatu kami rasakan. Hanya doa dan keyakinan yang bisa menyelamatkan kami malam ini.

“Break dulu!,” kata Panca.

“Iya. Jangan diforsir, sebentar selonjoran dulu,” Aris setuju.

“Mana air nih, bagi dong,” Dea kehausan.

“Nih, tapi sedikit aja. Biar kebagian semua,” kata sidik.

“Ah masa gak ada lagi yang bawa air,” Deni protes.

“Aku bilang juga apa! Masing-masing bawa air. Kalau begini kan kita juga yang repot,” aku kesal.

Kamu bisa bayangkan, Agvi bawa satu botol kecil. Aku juga. Dan Sidik setengah botol besar. Selain itu tidak ada lagi yang bawa. Dan dalam perjalanan pulang tidak ada sumber air. Sekarang mereka—yang tidak bawa air malah repot sendiri. Di sana kami hampir pecah.

“jangan pelit lah, Dam,” kata Dedi.

“Bukan pelit, Ded. Suruh siapa gak bawa. Yaudah ini cuman ada segini. Cukup-cukupin aja,” kataku.

“Ya sudah kalau tidak kuat nanti tidur di pos dua saja,” aku coba usul.

“Ah gak usah, lanjut aja. Paksain ke Ranupani,” jawab Dea.

“Ya terserah. Kalau kuat sih silahkan,”

Akhirnya kami secara perlahan menyusuri jalan pulang. Melewati Watu Rejeng dan Lendengan Dowo yang panjang. Sesekali merinding. Sesekali mengantuk. Saat tiu sepertinya hanya kaki yang bekerja. Karena pandangan sudah kabur. Pikiran sudah ngawur. Dahaga menjadi luka. Tenaga menjadi budak yang tersiksa. Tapi kami mencoba tetap sadar dan sampai di Ranupani secepat mungkin.

“Mas boleh minta airnya, Mas?” tanya Aris kepada pendaki yang kami temui. Sepertinya itu satu-satunya kelompok yang ada selain kami dalam perjalanan pulang.

“Wah, dikit lagi, Mas. Maaf ya,” balas salah seorang dari mereka.

Apa? Tidak dikasih? Baru kali ini aku melihat pendaki sepelit mereka. Padahal aku lihat masih ada beberapa botol yang masih penuh. Dari basa-basi Aris sebelumnya, kami tahu bahwa mereka pendaki dari Jakarta. Kenapa pelit ya? Padahal Aris juga orang Jakarta.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada kami lanjutkan perjalanan. Satu jam, dua jam. Hingga aku tak lagi melihat jam di tangan. Nampak dari kejauhan cahaya api. Ah! Itu Ranupani! Itu perapian dekat pos pemeriksaan. Sekarang jam satu malam. Kami berhasil sampai ke desa. Suara gemericik air di pesawahan terdengar begitu merdu. Terimakasih Tuhan. Kau masih memberi kami kesempatan untuk sekadar bersih-bersih dan tidur malam.

***

Kami terbangun dengan tenda sebelah yang masih tertidur. Jam enam pagi. Aku langsung ke wc dekat mushola dan menunaikan cita-cita selama di gunung kemarin. Sementara itu, tenda di depan kami sepertinya lebih segar. Keluar satu persatu bidadari yang tidak kami temukan di gunung. Entah. Mungkin efek naik gunung dengan para lelaki kesepian. Rencananya, kami akan turun ke Tumpang jam sembilanan. Setelah semua rapi dan segar.

Jam setengah sembilan. Dea mengurusi surat perizinan ke pos. Kami harus lapor terlebih dahulu. Kalau tidak nanti disangka hilang. Nanti pihak server repot mencari saat kita sudah main PES di Cipadung. Teman-teman yang lain pun sudah siap pulang. Semua tas siap digendong. Dea sempat beli oleh-oleh. Aku tidak. Cuman beli nasi goreng sama Agvi.

Kami pulang. Tapi tidak naik jeep lagi. Soalnya kami dapat teman yang juga mau pulang. Kami bisa menyewa truk untuk delapan belas orang. Harusnya sih lima belas sesuai kapasitas. Tapi setelah lobi, kami pun naik dengan bayar Rp 35.000 seorang. Perjalanan ke Tumpang kami tempuh dengan waktu dua jam. Di truk kami kenalan. Di truk kami ketiduran.

***

Kami turun di dekat terminal Tumpang. Kami mampir dulu ke Indomaret buat periksa lagi tiket kereta. Ternyata benar. Kelas ekonomi semuanya penuh hingga tanggal 27 Agustus. Dari kesepakatan bersama, kami tidak akan ke Sempu. Kami akan langsung pulang ke Bandung dengan cara yang entah bagaimana. Karena keuangan semakin menipis.

“Gimana atuh?” tanya Sidik.

“Sekarang gini, kemarin gitu hehe,” Si Panca kelakuan.

“Palingan kita naik bis deh,” kata Aris.

“Rutenya?” Sidik bingung.

“Kita ke stasiun Malang dulu. Terus ke Surabaya,”

“Kenapa?”

“Soalnya ongkos dari Surabaya ke Bandung lebih murah dibanding dari Malamg ke Bandung,”

“Oh gitu, yaudah ayo,”

Teman-teman akhirnya sepakat. Kita ke Malang kota dulu naik angkot. Sama seperti waktu itu. Tapi sekarang bayarnya lebih hemat seribu. Kita bayar Rp 14.000 seorang. Itu sudah sama ngebut. Tidak ditilang dan tidak ternoda.

Sekarang jam tiga sore. Kami lagi duduk-duduk jenuh di depan stasiun. Baru saja Dea memesan tiket Malang-Surabaya yang murah meriah. Harganya masih lima ribuan. Bedanya, kali ini kami tidak boleh duduk alias kebagian berdiri. Entahlah, beda dengan malam waktu itu. Jadwal keberangkatan kami jam empat sore. Jadi kami bisa salat dan beli makanan dulu.

Sesaat sebelum berangkat, ada dua orang pendaki yang mendekati kami. Mereka mengajak ngobrol ngalor-ngidul. Tidak tahu siapa, sih. Tapi ya gitu. Sok kenal saja mereka.

“Ke Surabaya, Mas?” Kata lelaki yang aku lupa namanya. Juned aja ya? Iya.

“Iya nih. Kita mau ke Bandung sih sebetulnya. Tapi ke Surabaya dulu. Kehabisan tiket kereta,” kata Dea seolah curhat.

“Oh begitu, kita juga, Mas. Mau ke jakarta tapi sama nasibnya,”

“Rencananya mau gimana sekarang?”

“Belum tau nih, uang kita juga gak banyak. Kalau kita ikut sama rombongannya Mas gimana?”

“Oh boleh aja, tapi kita kan ke Bandung?”

“Iya Mas. Jadi kita ke Bandung dulu terus nanti sambung Jakarta. Ongkosnya bisa lebih murah,”

“Ya sudah ikut saja, gabung,”

Ternyata Juned kasusnya sama seperti kita: kehabisan tiket. Tapi dia lebih jauh karena harus ke Jakarta. Aku kurang tau berapa ongkos sebetulnya ke Jakarta. Kalau dia bilang bisa lebih murah bareng kami, ya sudah. Asal tidak merepotkan saja. Oh ya, kereta sudah tiba. Kami berangkat dulu.

***

Jam tujuh malam. Kami tidak jadi turun di Gubeng. Kami turun di stasiun dekat terminal Purabaya atau Bungurasih. Itu hasil dari obrolan Dea bersama penumpang di kereta. Katanya, kalau mau ke Terminal Purabaya, tidak usah turun di Gubeng. Karena nanti harus balik lagi naik bis. Lama lagi. Bayar lagi. Malas lagi.

Kami berdelapan ditambah dua orang—yang ternyata dari Jakarta—jalan bersama ke arah stasiun. Baru saja tiba, kami langsung dihampiri para calo. Berbagai kata manis mereka ucapkan untuk merayu kami. Tapi kami belum berani ambil keputusan. Akhirnya, yang lain makan-makan dulu di pinggir terminal, aku dan Dea ke dalam terminal mencari informasi.

“Oh jadi harga maksimal Surabaya-Bandung ekonomi itu Rp 95.000-, Pak?”

“Iya. Itu yang disarankan pihak Dishub. Biasanya masing-masing P.O. pasang harga yang beda,” kata petugas dishub di ruang informasi.

Gila saja. Calo pasang harga sampai dua setengah untuk Surabaya-Bandung. Daripada bayar segitu lebih baik naik kereta bisnis! Aku bertanya langsung ke pusat informasi supaya jelas. Kami serasa ditipu kalau memang harus bayar ongkos sebesar itu. Dasar calo.

Kami kembali ke rombongan dengan sejumlah informasi. Kami ceritakan soal harga yang ditawari calo dan harga maksimal sesuai ketentuan Dishub. Dea yang ngobrol sama teman-teman. Aku ngobrol sama bapak penjaga warung.

“Mau kemana,De?”

“Ke Bandung, Pak. Kami kehabisan tiket kereta jadinya mau naik bis,” kataku.

“Berapa orang?”

“Sepuluh Pak. Uang kami pas-pasan jadi nyari yang murah,”

“oh sebentar ya. Saya hubungi teman saya dulu,”

Sesaat kemudian Bapak penjaga warung menghubungi kenalannya. Sementara itu, Aris sedang berbincang dengan dua orang dari Jakarta yang ikut rombongan kami.

“Oh dari Jakarta juga. Sebelah mana?” kata Aris

“Saya Jakpus Bang. Abang dari mana?”

“Saya Timur, deket Kopasus. Eh kayaknya pernah ketemu deh?”

“Iya, kan kemarin rombongan Abang yang minta air ke kita. Pas turun,”

“Oh itu. Iya..iya,”

Entah kenapa Aris malas bicara. Mungkin masih teringat olehnya dahaga yang tak tertolong karena kepelitan pendaki yang sedang berbincang dengannya. Tapi, dengan besar hati, kami tetap membawa mereka berdua dalam perjalanan pulang kali ini. Semoga kami termasuk ke dalam orang-orang yang benar.

***

“Sepuluh orang ya, Mas?” kata Restu. Teman yang dimaksud Bapak penjaga warung.

“Iya Mas. Bisa bantu gak Mas please hehe,” Agvi angkat bicara.

“Bisa kok, saya punya kenalan orang P.O. dan dulu juga saya kerja di sana,”

Restu lalu menelepon Piatu, temannya di P.O. tak lama kemudian dia datang.

“Ayo Mas, kita bisa bantu. Ini sih itung-itung saya teman baiknya Restu hehe,” kata Piatu.

“Jadi berapa nih ongkos ke Bandung?” tanya Panca.

“Udah deh, buat Mas kami kasih murah. Tapi gini, biar gak ketauan atasan, Masnya kami kasih kartu tanda langganan biar dapet potongan,”

“Makasih Mas. Jadinya berapa?”

“kalau mau murah, saran saya, Mas jangan langsung ke Bandung. Tapi ke Jogja dulu. Ongkos ke Jogja kami kasih empat puluh ribu aja,”

“empat puluh ribu? Itu sudah sama potongan?”

“Iya Mas, harusnya lima puluh. Nanti dari jogja ada rute Jogja Bandung. Naik saja. Ongkosnya paling mahal enam puluh ribu,”

“Yang benar, Mas? Nanti malah gak ada lagi. Gimana?”

“Tenang Mas, kami oper Mas ke temen kami sendiri di Jogja. Jadi tinggal ganti bus aja. Tenang, kami tanggung jawab,”

“Bisa dipercaya kan Mas? Ya sudah, boleh saya minta nomer kontaknya?”

“boleh..”

Akhirnya ada jalan terang untuk perjalanan pulang kami yang melelahkan ini. Kami bisa mencapai Bandung dengan uang Rp 110.000 kalau lancar. Tapi kami harus ke Jogja dulu. Sudah itu baru ke Bandung. Ke tempat yang wanginya sudah terasa di depan hidung.

Jam sebelas malam kami berangkat. Sepuluh pemuda dengan uang mepet yang masih bisa makan tadi di terminal. Dan kami tertidur di perjalanan yang entah akan bagaimana akhirnya.

***

Kutengokkan wajah ke timur. Matahari sudah mau ada. Sekarang jam setengah enam pagi. kami baru saja turun dari bus dan sekarang masih bengong di terminal Giwangan. Mas Piatu menepati janjinya. Dia mengutus temannya untuk mengurusi kami. Dua orang Jakarta itu pergi ke ATM buat ambil uang. Tiba-tiba saja..

“Mas naik langsung bis yang itu mas!” kata sopir yang membawa kami semalaman.

“yang itu? Aladin?” kataku.

“iya mas. Cuman itu bis yang murah,”

“oh iya, Mas. Terimakasih,”

Aku langsung menghampiri sopir Aladin yang nampak terburu-buru.

“Hayu, Jang!” kata Sopir bus Aladin yang bisa bahasa Sunda.

“Bandung, Kang? Sabaraha?”

“Enya Hayu! Saratus rebu!”

“Ah mahal! Biasana ge gocap!”

“Moal aya gocap mah! Sok salapan lah!”

“Dalapan?”

“Yaudah sok..sok naraek,”

Setelah sedikit diskusi dengan kawan-kawan, kami setuju. Delapan puluh ribu untuk sampai ke Bandung. Tanpa operan lagi. Tanpa tagihan lagi. Tapi tunggu, kemana dua orang itu? Aris yang punya nomer kontaknya langsung menghubungi.

Akhirnya, mereka berdua, memutuskan untuk berpisah di Jogja. Katanya sih kemahalan kalau harus ke Bandung dulu. Benar juga. Aku berpikiran begitu. Lebih baik mereka langsung naik bus jurusan Jogja-Jakarta. Selamat jalan kawan baru. Semoga kalian tidak pelit lagi!

***

Jumat, hampir Ashar. Kami terbangun di terminal daerah Ciamis. Apa coba? Kami dioper lagi! Benar-benar perjalanan yang susah. Jadi bus yang kami naiki di Jogja sebelumnya tidak sampai ke terminal Cicaheum, Bandung. Kami dipindah ke bus jurusan Ciamis-Bandung. Tapi tidak bayar lagi. Kalau sudah begini, kami merasa seperti anak terminal! Menghabiskan hampir dua hari di bus dan jalanan. Apa-apaan! Tapi mau gimana lagi. Kalau tidak begini ya kami tidak pulang. Jadi rute pulang kami itu: Stasiun Malang, Terminal Purabaya, Terminal Giwangan, Terminal Ciamis dan akhirnya, semoga, Bunderan Cibiru. Ya, kamar kami! Dengan perjalanan seperti itu memang melelahkan, tapi biaya yang kami keluarkan terbilang murah. Hanya Rp 130.000 kami bisa pulang dari Malang ke Bandung. Sebuah pengalaman yang melelahkan. Coba kalau kamu ikut. Pasti marah-marah. Kalau kami tidak. Kami sih, senyum-senyum saja. Oh ya. Aku sudah mau sampai nih. Kalau sudah di kamar, aku mau telepon mamah kalau anaknya masih utuh. Sudah itu, aku mau tidak mau tidur soalnya sudah pernah. Dadah!

***

Kopi, online dan dangdut. Apa lagi yang kurang? Aku sedang bahagia di kamar. Mungkin yang lain juga. Dedi sepertinya langsung bikin mie rebus. Sidik langsung luluran. Dea belum jaga warnet soalnya masih capek. Deni sudah turun duluan di Rancaekek. Pasti lagi dimarahin mamahnya. Panca sama Aris sekamar. Mungkin lagi saling pijitin. Agvi juga sudah pulang duluan karena turun di Cileunyi. Tidak mungkin lagi main catur. Kami capek malam ini.

Akhirnya Alhamdulillah. Ubun-ubun Jawa sudah dikecupi. Pengalaman mahal yang tidak mau dijual. Satu dari sekian banyak mimpi kami berhasil terwujud tahun ini. Semeru adalah semacam guru. Mengajari kami arti kesabaran. Membetuk kami lebih tangguh. Pikiran yang senantiasa tenang. Keyakinan yang matang. Dan persaudaraan yang tak lekang. Semoga ada waktu untuk melihat kesempurnaan-Mu yang lain. Kami ketagihan, Tuhan!

Perjalanan kami takkan berhenti. Sampai hati dan pikiran mati.

0 comments:

Posting Komentar