Halo, selamat jam segini.
Sebelumnya, saya ingin bilang, kalau tulisan yang dibuat ini bukan
untuk mendapatkan Penghargaan Nobel. Bukan juga sebagai pengalihan
isu supaya masyarakat tidak nonton “Katakan Putus” di Trans TV. Meski jujur,
sebetulnya saya ingin dengan lantang mengatakan acara itu norak, tapi
khawatir para penggemarnya malah membenci saya, itu juga kalau
punya. Ceritanya, tulisan ini adalah salah satu bentuk empati saya
kepada seorang seniman pantomim. Ini tentang Wanggi.
|
Sebelumnya,
saya ingin mengenalkan sosok Wanggi terlebih dahulu. Biar kita sama-sama kenal,
siapa tahu nanti sama-sama cocok. Wanggi, yang punya nama lengkap Wanggi
Hoediyatno, biasa juga dipanggil Wanggihoed, adalah seorang laki-laki. Pernah
lahir di Cirebon, Jawa Barat, pada 24 Mei 1988. Waktu kecil suka jajan
sembarangan dan main kejar-kejaran sama temannya. Sudah besar suka dituduh
sembarangan dan kejar-kejaran sama pengintainya.
Wanggi
sudah menyenangi seni pantomim sejak dalam pikiran. Konkretnya, sejak pakai
seragam putih-biru. Hasrat memperdalam seni pantomim kemudian mengantarnya
menjadi mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Kota Bandung. Selain
memperdalam seni pantomim di dunia kampus, Wanggi juga memperluas wawasannya
bersama komunitas Mixi Imajimime
Theatre Indonesia dan Indonesian Mime Artist
Association. Dengan berbagai pengalaman seni pantomim yang dimiliki, kita
bisa ambil kesimpulan, bahwa Wanggi bukanlah seorang polwan.
Pria
berperawakan kecil itu punya karir pantomim yang mentereng. Tak terhitung
jumlah seniman lokal dan mancanegara yang telah berkolaborasi dengan dia. Pada
tahun 2013 silam, Wanggi sempat satu pentas dengan tim sirkus asal
Perancis, Chabatz de’entrar. Dia juga pernah melakukan tur ke 8 kota
di Indonesia, juga tampil di Timor Leste dan Vietnam. Beberapa waktu lalu,
Wanggi pun sempat diundang ke Mata Najwa, tampil di sana, dan bikin
senyum-senyum Mbak Najwa Shihab.
Wanggi
adalah orang yang mudah dikenali. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, egonya juga.
Ciri khas yang membuat Wanggi gampang diingat adalah kumis yang melintang dan
menjadi pembatas antara hidung dan bibirnya. Hidupnya sederhana. Kalau lapar
makan, kalau lelah istirahat, bukan bikin status. Kalau resah lawan, kalau
bingung diskusi, bukan cari sensasi. Kalau bosan bilang, jangan tiba-tiba
hilang, eh, kalau itu sih buat kamu, iya kamu.
Lalu,
dari keahlian pantomim, kepedulian sosial, penolakan atas penindasan, dan
kumis, mulailah Wanggi menggerakkan aksi damai setiap hari Kamis di Gedung
Sate, Kota Bandung. Saya bilang damai, karena tidak ada bakar ban, coret-coret
liar dan perusakan fasilitas seperti para aktivis pergerakan mahasiswa. Aksi
tersebut kemudian dikenal dengan Aksi Kamisan Bandung. Sebuah aksi yang
sebetulnya sudah dimulai sejak 18 Januari 2007 lalu di depan Istana Presiden,
Jakarta. Aksi Kamisan bertujuan merawat ingatan, melawan lupa, dan menuntut
pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Hadirnya
Wanggi membuat Aksi Kamisan Bandung menjadi menarik. Dengan seni pantomimnya,
Wanggi menampilkan keresahan, kesedihan dan perlawanan dari para korban
pelanggaran HAM. Di depan Gedung Sate, Wanggi bersama peserta Aksi Kamisan
Bandung, dengan payung hitam, poster dan spanduk, tak lelah menuntut keadilan
bagi para korban.
Hingga
saat ini Aksi Kamisan masih tetap berjalan. Dengan kritik tanpa suara ala
Wanggi, orasi berapi-api ala para aktivis, dan pemerintah yang masih saja
tuli.
Agaknya,
sekilas pemaparan tadi bisa memberi gambaran tentang sosok Wanggi. Kalau belum
jelas, nanti saya kasih nomor telepon, alamat kontrakan dan media sosialnya
Wanggi, biar bisa enak berbincang dengan dia. Tapi, kalau nanti mau ketemu dia,
bilang saja yang jelas dari mana. Jangan seperti om-om dengan kaus bertulisan
“Turn Back Crime” yang sok misterius dan gagal keren.
Jadi
begini, di balik keramahan Wanggi dengan Aksi Kamisan dan kumisnya, dia adalah
orang yang sangat sering diincar intelijen dan ormas-ormas kurang piknik. Belum
lama ini, saya sempat berbincang dengan Wanggi di kampus UIN Sunan Gunung Djati
Bandung. Keperluannya datang ke kampus yang sangat fobia terhadap JIL dan
Syi’ah itu, sebagai tamu di acara Lembaga Pers Mahasiswa Suaka. Dia menampilkan
kebolehannya berpantomim di sana.
Saya dan
seorang rekan asal Universitas Padjajaran, berbincang ringan dengan Wanggi.
Sambil sesekali memilin kumisnya Wanggi bercerita pengalaman kejar-kejaran yang
belum lama terjadi. Saat itu, kisah Wanggi, dia baru pulang setelah menghadiri
satu acara, dan berniat pulang ke kediamannya. Saat duduk di bus, ada seorang
pria—yang saya tidak tahu pria itu punya anak gadis seumuran dengan saya atau
tidak—dan memberi senyum kepada Wanggi. Besar kemungkinan itu senyum
palsu.
Baru
beberapa menit duduk, Wanggi sudah berkali-kali diserang dengan berbagai
pertanyaan basa-basi. Kebanyakan seperti pertanyaan seorang remaja yang kikuk
saat pertama kali kencan dengan pacarnya. Setelah sepuluh menit yang
membosankan itu berlangsung, akhirnya pria itu mengaku sebagai anggota
kepolisian. Sengaja satu bus dengan Wanggi karena ingin menggali beberapa
informasi. Setelah mengetahui siapa pria itu, Wanggi memutuskan untuk pura-pura
tidur, hingga bus yang dia tumpangi sampai ke tujuan.
Bukan
hanya interogasi dadakan di bus yang pernah Wanggi alami. Pada akhir Maret 2016
lalu, aksi Perayaan Tubuh di Kota Bandung, dengan salah satu pegiatnya adalah
Wanggi, dibubarkan paksa oleh polisi. Katanya, karena mengganggu ketertiban
umum. Padahal acara tersebut diadakan di ruang publik, tanpa ada warga yang
mengatakan keberatannya. Polisi benar-benar secara paksa dan sepihak,
membubarkan sebubar-bubarnya acara itu. Bahkan, polisi bilang seperti ini:
“Sudah bubar sana! Dasar seniman tidak jelas!” begitu kata polisi.
Fungsi
polisi sebagai pengayom masyarakat sama sekali tidak terlihat pada peristiwa
itu. Yang terlihat hanyalah arogansi, tidak seperti citra manis dan baik hati
yang ditampilkan di acara “86” NET TV. Oh, hampir saya lupa, dongeng layar kaca
itu kan hanya rekayasa.
Setelah
sukses membubarkan aksi Perayaan Tubuh 2016, sepertinya polisi masih belum
puas. Ketika para seniman, aktivis dan penonton sudah pulang ke tempatnya
masing-masing, ternyata tidak dengan Wanggi. Dengan perasaan yang masih resah
karena pembubaran, Wanggi, yang bertubuh kecil itu, dibawa paksa oleh dua orang
intelejen ke dalam mobil Alphard. Hingga sampailah Wanggi ke kantor polisi, dan
diinterogasi terkait acara yang dibubarkan tersebut. Wanggi dan kumisnya
benar-benar mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari om-om polisi.
Peristiwa
itu hanyalah segelintir intimidasi terhadap Wanggi. Masih banyak lagi yang
lain, tentu akan sangat panjang jika diceritakan di sini. Sampai saat ini pun
perlakuan tidak menyenangkan terhadap Wanggi masih terjadi. Ponsel Wanggi, yang
bertipe sederhana dan saya yakin jaringannya belum 4G, sering mengadat
gara-gara terlalu banyak telepon dan sms masuk yang tidak jelas sumbernya.
Kebanyakan, isinya meneror Wanggi supaya berhenti beraksi.
Selain
itu, tidak terhitung berapa kali Wanggi disambangi orang-orang tak jelas saat
Aksi Kamisan. Ada yang langsung mengaku dari kepolisian, ada pula yang menyamar
menjadi ini-itu. Intinya sama: mereka tidak suka perlawanan dan penuntutan yang
Wanggi lakukan terhadap pemerintah! Mereka juga tidak suka jika kasus kekerasan
HAM selama ini—yang melibatkan para jenderal dan pejabat negara—terus
digaungkan dan menolak dilupakan.
Saya
tidak mengerti mengapa aparat bisa separanoia itu terhadap Wanggi. Apakah karena
semangat Wanggi dalam memperjuangkan hak para korban membuat pemerintah gerah?
Atau karena aksi pantomim Wanggi mengandung ancaman bagi NKRI? Atau
jangan-jangan, kumis wanggi yang seperti Stalin itu dianggap bisa membangunkan
paham komunisme? Kalau benar begitu, om-om aparat, saya sarankan kalian ganti
profesi saja jadi peternak undur-undur.
Menanggapi
hal ini, polisi sering bilang dalam berbagai pencitraannnya, termasuk dengan
slogan “Turn Back Crime” dan lain-lain, bahwa usaha yang dilakukan merupakan
langkah modern dan strategis untuk diterapkan. Duh, kalau saya sih jadi ingin
ketawa medengarnya. Menurut saya, lagkah represif yang dilakukan itu malah
mengembalikan Indonesia ke zaman kolonial! Zaman penjajahan!
Saya jadi
teringat kepada sosok Jacques Pangemanann, tokoh di tetraloginya Pramoedya
Ananta Toer. Pangemanann adalah polisi pribumi yang naik jabatan lalu gila
jabatan. Hobinya mabuk dan main perempuan. Dia ditugaskan untuk mengawasi warga
pribumi yang dianggap berbahaya bagi Gubermen, entah karena berliterasi,
ataupun berorganisasi. Pangemanann menempatkan Minke, Siti Soendari, Marco dan
para penggerak lainnya seolah-olah berada dalam rumah kaca, yang bisa dipantau
dengan jelas. Tujuannya: menekan para pemuda yang punya semangat perubahan!
Kalau mencocokkan
Pangemanann dengan polisi zaman sekarang, saya rasa mereka cocok
secocok-cocoknya. Tentu dalam segi represif dan menuruti kemauan atasannya.
Kalau soal doyan mabuk dan main perempuan sih, saya tidak menjamin mereka
cocok. Mungkin polisi sekarang lebih parah.
Kemudian,
yang ingin saya kritisi dari terjajahnya Wanggi di rumah sendiri, di Kota
Kembang yang sedang genit-genitnya, adalah slogan Bandung Kota HAM yang palsu!
Karena, mungkin Anda juga pernah degar, kalau Kota Bandung pada tahun lalu mendeklarasikan
diri sebagai Kota Ramah HAM. Namun sayang, daripada mengurusi perkara HAM,
sepertinya Wali Kota Bandung lebih senang bikin taman dan main Instagram.
Pemerintah
sepertinya menganggap Aksi Kamisan Wanggi dan rekan-rekan seperti nyanyian
katak di musim hujan: terdengar tapi masa bodoh. Beginilah nasib di kotanya
Wanggi. Gubernurnya sibuk mengurusi ormas, wali kotanya sibuk menggenjot
pupolaritas, dan polisinya gampang panik saat bertugas.
Wahai
Wanggi, tetaplah melawan dalam aksi bisumu itu. Kau selalu mejadi yang terdepan
menyuarakan hak-hak Widji Thukul, Munir, Marsinah, Udin dan para korban yang
lain. Maka itu, kami pun akan ada pada setiap gerak pantomim dan
semangatmu.
Teruslah
kau Kamisan dan kumisan, Wanggihoed!
-----
Ditulis
berdasarkan data rekan-rekan wartawan, hasil obrolan langsung dengan Wanggi,
dan atas nama keresahan untuk bersuara. (Foto: Agvi Firdaus)
salam kenal, wanggi
BalasHapus