Jeremy, Saus Kacang, dan Papandayan


Aku punya teman, tapi bukan sepermainan, karena itu lagunya Mbak Maya waktu masih akur sama Mas Dhani. Tahu mereka, kan? Itu lho, yang suka mengaku-aku jadi orang tuaku. Temanku ini bukan orang Banten karena tidak kebal, juga bukan orang Bogor karena bukan pawang hujan. Dia warga asli Minessota, Amerika Serikat, tempat aku belajar main karambol waktu masih balita dulu. 

Temanku itu bernama Jeremy Johansen. Ingat, Johansen ya, bukan Teti, karena dia bukan presenter. Umurnya 24 tahun, dan tidak bisa bahasa Indonesia. Tiga kata yang dia bisa adalah terimakasih, sama-sama, dan bagus. Selebihnya, dia berbahasa kaumnya, yang aku juga suka bengong kalau dia bicara panjang lebar. Tapi kupaksakan harus mampu berkomunikasi dengan dia. Kenapa? Biar aku tahu, saat di mana dia lapar, dan saat dia ingin boker. Bahaya kalau terjadi salah paham di antara kami. Nanti kalau dia busiat, kamu mau tanggung jawab? Pasti tidak. 

Kami bertemu di depan indekos, sekitar pukul sembilan pagi, pada tanggal 7 Mei lalu. Waktu itu hari Sabtu. Aku yang belum mandi dan wisuda sempat bingung, karena jarang-jarang ada bule main ke tempatku. Daripada heran, aku beranikan kenalan dengan dia, tapi pakai bahasa Sunda. 

“Orang mana yeuh? Umi nyangu can?” 

Dia bengong, entah tidak mengerti, entah terpesona. 

Oh, benar dugaanku, dia tidak mengerti bahasa Sunda. Baiklah, aku coba pakai bahasa yang pasaran di dunia ini. 

“Hello, My name is Adam, ei-di-ei-em, what is your name, my friend?”

“Hai, Im Jeremy, nice to meet you, Adam”

Sebetulnya saat itu aku ingin ketawa. Kukira dia bilang jerami. 


Lalu setelah mukadimah yang kaget itu, obrolan kami sedikit cair meski terbata-bata. Aku maklumi, mungkin karena habis menempuh perjalanan jauh, dia terlihat gugup berbincang denganku. Atau mungkin level bahasa Inggrisku yang masih iqro, ya? Siapa tahu.

Dari percakapan dengan Jeremy waktu itu, ada beberapa informasi yang bisa kuperoleh: dia belum pernah makan seblak tulang sampai mencret, dia belum pernah selfie di terowongan Nagreg, dan belum pernah dimarahi Pak Enjang Muhaemin. Oh ya, Pak Enjang itu dosen favoritku di kampus. 

Tapi, ada beberapa informasi penting yang juga kudapat. Pertama, dia tertarik dengan dunia otomotif. Kedua, dia datang ke Bandung dengan pacarnya, yang asli orang Bogor. Ketiga, dia mengajakku mendaki ke Papandayan. Berhubung saat itu tidak ada jadwal di kantor, aku sanggupi permintaan Jeremy: mengantarnya naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. 

Baiklah Jeremy, aku siap-siap dulu, tunggu sebentar, jangan pergi-pergi ke jalan raya karena sedang musim begal. 

-----

Ternyata, Jeremy itu sudah ada sejak semalam. Aku tidak tahu, karena habis mengisi workshop adu muncang di Republik Kongo. Jadi ceritanya begini:

Jeremy adalah warga Paman Sam yang sedang berlibur ke Jawa Barat. Dia punya pacar, (((punya pacar))) namanya Tyas, yang orang Cibinong, Bogor, itu. Tyas merupakan temannya Ati, yang sama indekosnya denganku. Tyas juga bekerja di bidang travel, tapi bukan sebagai kondektur yang nempel di pintu mobil seperti ELF jurusan Cicaheum-Cikajang. Tyas perempuan yang ramah dan baik bahasa Inggrisnya. 

Jeremy dan Tyas sudah pacaran tiga tahun. Kok bisa ya? Mau tahu? Baik, begini ceritanya:

Tyas punya teman perempuan. Teman Tyas dan Jeremy sudah lebih dulu berteman di Facebook. Entah bagaimana ceritanya Jeremy jatuh hati pada temannya Tyas. Lalu, Tyas berperan sebagai penghubung Jeremy dalam rangka mendekati teman Tyas. Singkat cerita, karena Jeremy banyak berbagi pengalaman dengan Tyas, akhirnya Jeremy suka sama Tyas, dan Tyas juga suka Jeremy, dan aku belum ada yang suka. Maaf. Maka setelah itu, Jeremy dan Tyas akhirnya pacaran. Tamat. 

Jadi, sudah sejak malam Jeremy ada di indekosku di daerah Gang Kujang, Cipadung, Cibiru, Kota Bandung itu. Kau tahu apa yang Jeremy kerjakan dengan temanku di sana? Bukan, bukan latihan marawis. Jeremy dan Panca, Rio, Faiz dan Ati, mereka bermain gaple. Kata Panca, Jeremy tampak senang dan nyaman, seolah-olah lupa kalau sedang berada di belahan dunia lain, yang sangat jauh dari rumahnya. 

Kata Panca lagi, sejak malam itu, Jeremy suka sekali beli makanan yang pakai saus kacang. Semacam batagor, sate, Bunga Citra Lestari, oh maaf, kalau itu film Saus Kacang, dan makanan lainnya. Entah karena di Amerika tidak ada makanan seperti itu, jadi Jeremy banyak makan saus kacang, atau supaya tidak dikacangin sama teman-teman. Iya. 

Jeremy, kata Panca, tertawa lepas dengan humor-humor bahasa Sunda yang Jeremy sama sekali tidak mengerti maknanya. Paham tidak paham asal ketawa. Jeremy pria baik, jadilah seperti Jeremy. 

Maka pada malam yang akrab itulah mereka merencanakan untuk mendaki Papandayan besok harinya. “Jeremy ingin lihat edelweis,” kata Faiz. Setelah lelah main gaple, lalu mereka tidur dengan cara masing-masing. 

-----

Sekitar jam satu siang, hari Sabtu, kami berangkat. Jeremy tidak naik motor matic, karena kakinya kepanjangan. Dia naik motor yang lebih besar, dengan Faiz, yang juga besar. Kami tiba di pos masuk Gunung Papandayan pukul tiga sore. Oh ya, informasi untuk kamu, siapa tahu mau bawa teman WNA ke Papandayan, harga tiketnya lebih mahal berkali-kali-kali lipat. Harus dipersiapkan. Kalau tidak punya uang banyak, bilang saja ke tukang tiket, bahwa temanu yang WNA itu naturalisasi yang KTP-nya masih ditahan Pak RT, atau bilang kalau dia keponakannya Haji Umuh. Selesai perkara. 

Ini kali pertama Jeremy mendaki gunung. Entah kalau gunung yang lain. Gunung Agung maksudnya, itu, toko buku di Bandung Indah Plaza. Tapi, jujur, aku salut lihat dia yang semangat dan mengayomi pacarnya yang kadang repot untuk melangkah. Kalau sudah begini, sepertinya bagi Jeremy, lelah ribuan kilometer sirna ketika tiada lagi jarak yang membatasi antara dirinya dan kekasih hatinya. Jos.

Sepanjang jalan, aku tidak banyak berbincang dengan Jeremy, karena untuk napas pun susah. Aku tidak mau mengalami gangguan pernapasan dan diberi napas buatan oleh si Panca. Tapi sesekali aku dan Jeremy membuat obrolan singkat. Seperti saat kutanya, “Enak mana, Jer, naik gunung atau mocelan budug?” 

Jeremy tidak jawab, karena aku juga tidak jadi tanya itu. Soalnya aku lupa apa bahasa Inggrisnya budug. Setelah sekitar sekian jam, kami sampai di tempat bekemah, dan Jeremy langsung minta diantar ke kamar mandi. Untungnya, di Gunung Papandayan sudah tersedia kamar mandi yang nyaman, meski belum dilengkapi wi-fi. 

Setelah Jeremy selesai buang hajat, ada perdebatan kecil antara aku dan tukang jaga kamar mandi. 

“Ini kenapa cuman dua ribu A? Kurang tiga ribu lagi,” kata si tukang.

“Memang dua ribu kan, Pak? Yang lain juga dua ribu,”

“Iya, yang lain itu bukan bule,”

“Kalau bule kenapa, Pak”

“Ya harus ada lebihnya,”

“Kan yang dibuang juga sama pak, bentuknya juga gak jauh beda sama warga lokal?”

“Harus bayar lebih pokoknya, A. Kalau tidak bayar lebih, silakan diambil lagi barang si bule”

Oke, kalau diancam seperti itu, aku menyerah.

Akhirnya setelah melakukan negosiasi lebih lanjut, aku jadi bayar tiga ribu untuk Jeremy, dan si Bapak tukang jaga kamar mandi itu akhirnya berkenalan denganku. Lalu selanjutnya kami mengobrol, dan selanjutnya lagi, Jeremy jadi bayar dua ribu. 

Ini diplomasi yang penting. Karena, kuhitung, tak kurang dari tujuh kali Jeremy mondar-mandir tenda-kamar mandi untuk buang hajat. Ternyata, setelah aku melakukan perundingan terbatas dan rahasia dengan Panca, kami menduga, Jeremy sakit perut karena terlalu banyak makan saus kacang. 

Untung saja aku sudah bernegosiasi dengan penjaga kamar mandi. Jadi kami bisa menghemat uang tujuh ribu rupiah, yang kalau dibelikan ikan cupang bisa dapat dua, lalu diternak dan beranak-pinak. Pencapaian diplomasi yang luar biasa, bukan? Tidak perlu tepuk tangan. 

Lalu kami semua menikmati alam Papandayan. Bernyaman-nyaman di Pondok Saladah, berfoto ria di Hutan Mati, dan berencok ria pula saat turun kembali. Banyak hal yang bisa kami bagi dalam perjalanan itu. Jeremy belajar kekayaan alam dan budaya tanah Sunda; Tyas bertamasya dengan pacar dan temannya; Panca dan Rio senang berkenalan dengan Jeremy; aku senang karena tidak sedih, dan teman-teman yang lain punya cara untuk merayakan kesenangannya masing-masing. 

Kemudian kami kembali dengan selamat dan lapar.

Pada hari Senin, sehari setelah pulang dari Papandayan, Jeremy dan Tyas berpamitan dengan kami para penghuni Indekos Minajati. 

Selamat pulang, teman! Tetap berkabar melalui Instagram dan Facebook! Nanti kukabari kalau aku hendak main ke Minessota, dan akan kubawakan kau saus kacang yang kau rindukan itu. Sudah, selesai.

-----

Jadi, hikmah yang bisa diambil dari kisah ini adalah: LDR itu teralu banyak rindunya. Sekian.

8 komentar:

  1. ngakak abiss a adam ih bisaan ge ngabodor na hahaha
    btw thanks a udah nulis tentang perjalanan kita di blog aa :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eeeh ada tokohnya nih hahaha hayu main lagi...

      Hapus
  2. kenal sama tyasnya tapi ga kenal jeremy... ngakakkk baca iniii

    BalasHapus
  3. wkwkwk ngakak ka adaam

    BalasHapus
  4. Bodor gening kang Adam teh

    BalasHapus