Nama besar itu kudengar pada 2009.
Tahun ketika seragam putih-biru berubah menjadi putih-abu. Beberapa sanak
sering kali bercerita tentang adanya sosok karismatik yang jadi panutan banyak
orang. Ia dikagumi bukan hanya karena berasal dari garis keturunan para
pemimpin hebat, namun sebab ilmunya pula yang terpancar dan mencerahkan. Ia
adalah kiai yang kelak tak jemu kukejar demi sekian judul berita. Ialah Deddy
Ismatullah.
Segala hal di pesantren Syamsul
Ulum, Sukabumi, adalah suatu yang baru buatku. Teman beragam suku, kitab
kuning, asrama bertingkat, antre makan dan mandi, hingga misteri hilangnya sandal
jepit baru yang nanti kembali lagi dengan bentuk tak keruan. Namun dibandingkan
dengan semua itu, hal yang tiada kusesali dalam hidup adalah bertemu dan menggali
ilmu dari guru-guru hebat. Sejak langkah pertamaku di pesantren dulu, aku
merasa sebagai musafir di gurun tandus yang haus dan sekarat. Guru-guru
terhomat itulah kutemukan serupa oase.
Interaksi pertamaku dengan Deddy
Ismatullah terjadi di suatu sore, di selasar masjid pesantren. Kulihat sosok
pria berwibawa yang selama ini hanya kudengar namanya saja. Ketika ia melangkah
memasuki masjid, kucium tangannya sambil berkata, “Pak, sendalnya apa perlu
saya simpan di rak?”
Senyumnya agak merekah. Sambil berlalu,
ia bilang “Sendal aing mah dijagaan ku malaikat, Jang.”
Kalimat itu sungguh menyengat. Kekagetan
tak hilang dalam beberapa menit. Namun kalimat itulah yang kemudian menjadi
awal bagiku untuk lebih jauh mengenalnya. Aku si santri ingusan semakin memupuk
tanya tentang siapa sebenarnya sosok kiai yang satu ini.
Momen bertemu dengannya tidaklah
mudah. Sesekali aku hanya melihatnya di upacara sekolah sebagai pembina,
ataupun di mimbar masjid sebagai khatib. Kelas pengajian bersamanya pun belum
bisa kuikuti sebab tingkatanku barulah pemula. Rasa penasaranku kian menjadi
ketika para senior sering kali bercerita tentang pengalaman mengikuti pengajian
bersama Prof. Deddy, begitu mereka biasa menyebutnya. Bahkan seorang santri
pernah diminta memaca kitab, dan ketika tak mampu, Deddy Ismatullah berkata “Ah,
sia mah eleh ku ucing aing di imah!”
Lama-lama aku memaklumi mengapa
gaya bahasa yang kerap digunakan Deddy Ismatullah terkesan arogan. Bila melihat
siapa sesungguhnya ia, kurasa, yang dilakukannya itu wajar-wajar saja. Ia
merupakan pemimpin pesantren dengan seluas ilmu agama yang dimilikinya; ia
adalah guru besar di berbagai perguruan tinggi dengan ilmu hukum yang mentereng;
ia pun keluarga utama dari pahlawan rakyat Sukabumi, K.H. Ahmad Sanusi, sang
pejuang bangsa dan agama. Ragam penghormatan telah diberikan kepada Deddy
Imatullah. Ia adalah representasi sosok cendekiawan Muslim dan negarawan yang
cemerlang.
Meski sulit mengikuti kelas
pengajian bersama Deddy Ismatullah, aku terus menggali ilmu dari ragam
pemikirannya di berbagai media. Aku pun memiliki kesempatan untuk lebih sering
bertemu dengannya ketika salah satu guru memberiku tugas. Ustad Syaefulloh,
seorang guru tahfidz terbaik, memberiku amanat sebagai koordinator pengisi
khatmil quran rutin di rumah Deddy Ismatullah. Hal itu tentu menjadi
kesempatan untuk bisa mengenal sang profesor lebih dekat.
Sejak saat itulah aku lebih sering
berjumpa dengan Deddy Ismatullah: berbincang ringan dan disertai candaan khasnya,
melihat wajahnya yang tegas dan berwibawa, serta mengenal keluarganya yang juga
cerdas dan berbakat. Aku bersyukur bisa mendapat berbagai nasihat darinya. Ia
bukan hanya seorang kiai bagiku. Ia adalah sosok pemimpin yang ideal.
Kondisi menjadi agak berbeda dua
tahun kemudian. Meski aku sudah memasuki tingkatan pengajian kelas menengah,
kesempatan bertemu dengan Deddy Ismatullah justru semakin sempit. Ia lebih
sering menghabiskan hari-harinya sebagai rektor di Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung. Sebagai santri, aku dan lainnya tentu senang
kiai kami dapat memimpin sebuah perguruan tinggi ternama. Sebagai santri pula,
kami menyayangkan kesempatan mengaji langsung dengan Deddy Ismatullah menjadi
sangat terbatas.
Setahun berselang. Takdir
membawaku menjadi seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung. Aku adalah satu dari sekian ribu
mahasiswa baru yang dipimpin oleh Deddy Ismatullah. Ya, ialah kiai kebanggaan
santri Syamsul Ulum Sukabumi. Di kampus inilah aku kembali mendapat kesempatan
untuk bertemu dan berbincang bersamanya. Aku benar-benar bersyukur.
Menjadi mahasiswa jurusan
Jurnalistik kian memantik minatku dalam dunia reportase. Pada tahun kedua
perkuliahan, aku bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka UIN SGD
Bandung. Aku menikmati segala aktivitas di sini. Mendapat teman dan pengalaman
baru adalah suatu kenikmatan yang tak mungkin terdustakan. LPM Suaka adalah
rumah baru tempatku bernaung. Ia lebih dari sekadar organisasi. Ialah sebuah
rumah yang akan kulindungi dan kubela dari segala ketimpangan.
Sayang beribu sayang. Pada
bulan-bulan yang berlalu, pada beratus gagasan isu, terbawalah aku pada satu
nama yang harus kukejar dalam peliknya kasus pembangunan kampus. Nama itu milik
guruku: Deddy Ismatullah. Ia adalah narasumber kunci atas pusaran desas-desus
yang berembus di UIN SGD Bandung berbulan lamanya. Beberapa waktu lalu, Ia
terjerat isu penyalahgunaan biaya pembangunan kampus. Ia diduga bertanggung
jawab atas hal itu, sehingga diberhentikan dari jabatan rektor sesuai dengan
Surat Keputusan Menteri Agama.
Aku ibarat kucing liar yang
terpojok di jalan buntu. Isu yang kuhadapi menjelma sebagai anjing gila yang
siap menerkam. Bimbang adalah mimpi siang malam. Di waktu yang bersamaan, aku
harus memilih jalanku sebagai jurnalis sejati, atau sebagai santri yang
berbakti. Sesaat lamanya aku lebih memilih diam dan tidur dengan pikiran
melayang-layang.
Kebenaran adalah pegangan
Adam adalah sebuah nama dengan
arti pria pertama dalam sejarah semesta. Maka sudah seyogianya seorang pria
dihadapkan pada pilihan-pilihan dan menentukan jalan hidupnya. Dalam perihal
ini, aku memosisikan diri sebagai jurnalis. Masa bodoh dengan statusku sebagai
santri. Siapa saja yang bersifat bengis hari ini, ia adalah musuhku. Dengan
cara apa pun aku harus membawanya ke arah yang benar sesuai norma-norma
berlaku.
Namun, di balik keputusan itu, ada
hal yang kuyakini dengan pasti: kebenaran adalah mutlak. Ia akan tetap benar
meski tertimbun jutaan dusta, muslihat dan kepura-puraan dalam bentuk apa pun. Hati
kecilku meyakini bahwa Deddy Ismatullah tetaplah sosok yang kukenal dulu.
Seorang tokoh yang ikhlas dan amanah dalam menjalankan tanggung jawabnya. Akan
tetapi, keyakinan itu perlulah dibuktikan secara gamblang, jelas dan teliti. Untuk
itulah proses jurnalisme dibutuhkan.
Kopi dan suntuk tarik-menarik
setiap malam. Saat itu pula rangka peliputan terus kumatangkan. Sederet kendala
datang berganti. Meliput kasus ini tidak semudah membuat berita online
dengan judul sampah yang berharap datangnya kunjungan membludak. Laporan yang
kususun adalah tulisan mendalam dengan perspektif ragam narasumber, dikerjakan
secara tim, dan ditempuh dengan waktu yang tidak sebentar. Taruhannya adalah
satu: harga diri LPM Suaka.
Pada waktu-waktu yang terlewat, celah
terang mulai terlihat. Titik beku perjumpaan dengan Deddy Ismatullah akhirnya cair.
Dengan ragam upaya, akhirnya aku bisa bertatap mata dengan mantan rektorku ini.
Momen perjumpaan dengan Deddy adalah kunci laporan yang aku dan rekan redaksi
susun selama berminggu-minggu. Aku berdoa agar profesiku saat itu selalu
diberkati Allah, sehingga tak melahirkan sedikit pun noda yang mencoreng.
Kulihat binar mata Deddy
Ismatullah yang meredup. Rautnya lesu. Badannya agak mengurus dibanding terakhir
kali kulihat. Dengan suara berat dan pelan dia berkata “Saya dikriminalisasi.
Semua tuduhan itu tidak benar. Ada pihak yang tidak suka dengan saya.”
Dalam hati aku merintih. Tak kuasa
melihat kiai yang kuhormati berada dalam posisi seperti ini. Namun logikaku saat
itu bersuara lebih keras daripada gumaman dalam batin. Logika ini menuntunku
untuk terus bertanya terkait kasus yang menimpa Deddy Ismatullah. Setajam apa
pun pertanyaannya.
“Lalu mengapa Bapak diam saja
selama ini? Saya jarang sekali melihat Bapak berbicara di depan umum, memberi
klarifikasi, atau membela hak-hak Bapak pribadi. Isu yang beredar di luar sudah
teramat liar, Pak,” ujarku.
Ia menatapku lurus. Sesaat kurasa
ia lebih memandangku sebagai jurnalis seutuhnya. Mungkin saja ia tak
menemukanku sebagai santri barang sedikit saja. Namun aku tak peduli. Bisa
jadi, ia pun tak menyadari betapa aku ingin membuktikan bahwa semua tuduhan
kepadanya adalah sebuah kesalahan. Namun, tetap, pembuktianku haruslah berdasar
pada fakta-fakta yang riil dan bukan opini buta.
“Saya tak ingin memperkeruh
suasana. Saya akan buktikan ini di PTUN. Saya akan bawa masalah ini dan selesaikan
di sana,” jelasnya secara yakin.
Pertemuan itu sungguh melibatkan
emosi bagiku. Pertemuan dari sekian lama penantian yang akhirnya pecah di
pondok pesantrenku sendiri. Bukan kampus, bukan Bandung. Pada akhirnya aku
bertemu dengan Deddy Ismatullah di selasar masjid, di tempat pertama kali aku
bertemu dengannya.
Sekitar dua puluh menit aku
berbincang dengannya. Tanya yang menggantung di kepalaku sedikit demi sedikit
berjatuhan. Kudapat jawaban yang selama ini kucari. Aku pun bisa kembali ke
kampus dengan membopong kabar yang kemudian akan tertuang pada halaman-halaman
majalah LPM Suaka.
Laporan yang disusun tim redaksi
usailah sudah. Bercetak-cetak majalah tersebar. Sehimpun data yang kami cari
akhirnya tersimpul pada sebuah arah: Deddy Ismatullah tidak bisa disalahkan
begitu saja. Ternyata, beberapa waktu kemudian, Deddy Ismatullah memenangkan
gugatan. Namun ia tak ingin kembali menjabat. Ia justru kembali ke Gunung
Puyuh, menjadi pengayom bagi para santri yang membutuhkannya.
Ujung waktu
September 2016. Dari sekian ribu
orang yang memakai toga, akulah salah satunya. Masa pendidikan di UIN SGD Bandung
berakhir dalam ragam suka dan duka. Tiada Deddy Ismatullah sebagaimana pertama
aku menyandang status mahasiswa di kampus ini. Bilapun ada, aku tak tahu akan
berkata apa kala berjumpa. Mungkin, yang kulakukan hanyalah mencium tangannya
selayaknya seorang santri yang mengharap berkah.
Pada sebuah magrib di bulan puasa,
adalah saat terakhir aku berjumpa dengan Deddy Ismatullah. Rumah kediamannya
terasa begitu hangat. Aku bersama Wali Kota Sukabumi Mohamad Muraz dan guruku
terhormat Drs. H. Mustafa Kamal, beserta tamu undangan lainnya, berbincang
akrab dengan Deddy Ismatullah. Wajahnya terlihat begitu berseri. Sangat berbeda
ketimbang saat kulakukan wawancara bersamanya dulu.
Aku memang tak banyak berjumpa
dengan Deddy Ismatullah di ruang pengajian. Aku justru banyak berinteraksi
dengannya di ruang yang sarat dengan aroma politis. Bagaimanapun, perjumpaan
dengannya selalu berkesan dan memberi pelajaran baru dalam hidup. Ia adalah
sosok yang menginspirasi, bahkan dalam diamnya sekalipun.
Terhitung sejak lulus kuliah, aku
banyak menghabiskan waktu di Jakarta. Guruku Deddy Ismatullah kudengar lebih
sering berada di pesantren untuk melanjutkan kepemimpinan semenjak ditinggal almarhum
K.H. Maman Abdurrahman. Kurasa pesantren sedang memiliki masa sulit. Namun
dengan kembalinya Deddy Ismatullah sebagai pengayom, kuyakin semua akan pulih
dengan segera.
Jumat, 6 Juli 2018. Deddy
Ismatullah berpulang. Sebuah kabar di pagi hari yang menohok dada dalam-dalam.
Menghujam bilik-bilik memori tempat di mana wajah dan segala bayang tentangnya
tersimpan. Sementara, aku belumlah sempat meminta maaf secara sungguh-sungguh
atas segala hal yang pernah kubuat. Semua terasa begitu cepat. Tuan waktu tak
sudi menunggu.
Padahal, masih banyak yang
ingin kusampaikan padanya. Tentang wacana lari pagi yang tak sampai, tentang
mendiami rumahnya di Bandung yang tak terlaksana, tentang ingin kuungkapkan bahwa
aku dan dirinya adalah keluarga dalam silsilah yang sama.
Pak, sungguh, aku ingin
mencium tanganmu sekali lagi.
Keren bang, semua aspek nya terkupas tuntas
BalasHapusMenyentuh Jang, ditunggu coretannya selanjutnya
BalasHapusMasyaAllah semuanya terkupas tuntas dan sentuhan yang luar biasa.
BalasHapusbisa teu bisa kudu bisa.
#syamsul'ulum prof.Dr. K.H. Dedy Ismatulloh Mahdi, S.H. M.Hum
Bibarokati Alfatihah
MasyaAllah semuanya terkupas tuntas dan sentuhan yang luar biasa.
BalasHapusbisa teu bisa kudu bisa.
#syamsul'ulum prof.Dr. K.H. Dedy Ismatulloh Mahdi, S.H. M.Hum
Bibarokati Alfatihah