Ada warna yang dihasilkan dari gabungan beberapa warna harmonis. Sebuah keseimbangan yang menghasilkan ketenangan dan kesejukan pandangan. Namun, ada dua warna yang rasanya terlalu kontras untuk disatukan: biru dan jingga. Antara kelembutan dan ketegaran. Mungkin Tuhan punya cara sendiri untuk menampakkan keindahan pada makhluknya. Sehingga tercipta spektrum yang menakjubkan.
Ada kalanya kita memandang sesuatu
berdasarkan warna. Tidak peduli apa yang tersembunyi di balik warna yang
menyelimuti. Dalam berbagai hal. Tak terkecuali sepak bola. Ini yang
akan kubahas.
Pernah mendengar lirik lagu ini?
“Oren Oren warna anak Jakarta. Oren Oren kebanggaan Persija..”
Atau sepenggal nyanyian ini?
“Sekarang telah menjadi lautan biru, mari Bung rebut kembali..”
Sepak bola. Ketika kau dengar kata itu,
jangan hanya bayangkan dua tim yang sibuk berebut kulit bundar. Atau
seorang striker yang mencoba melewati pemain belakang untuk menciptakan
gol. Lebih dari itu. Sepak bola melibatkan emosi. Menembus batas
geografis dan ideologis. Sepak bola adalaah rasa. Maka tak ada urusan
dengan usia. Sepak bola adalah ekspresi. Maka tak ada soal perempuan
atau lelaki.
Terlebih dahulu akan kukatakan, aku
Jakmania. Pendukung Persija Jakarta. Keluarga dan teman-temanku adalah
Bobotoh. Pendukung Persib Bandung. Jika saja Persib adalah tim lokal
yang pertama aku kenal, sepertinya aku sama dengan mereka. Aku mengenal
persija sejak kecil. Saat yang sama ketika aku mulai mengenal sepak bola dan Bambang
Pamungkas. Sedangkan Persib baru kukenal setelah aku bergaul dengan
teman sejawat yang memang menyukai sepak bola.
Masa kecil kulewati di Jakarta. Sempat
pula di Bekasi. Mungkin karena itu Persija terasa lebih familiar. Namun
setelah menginjak usia belasan, Persib ada di hampir setiap sudut
kehidupan. Persib ada di rumah, sekolah, lapangan hingga di pengajian.
Bukan masalah yang harus dibesar-besarkan.
Menjadi minoritas adalah kemungkinan bagi
setiap orang. Termasuk bagi Jakmania seperti aku. Masa minoritas di
Sukabumi sudah lewat. Sekarang, lebih menantang. Menjadi Jakmania di
rumah Persib, di Bandung. Dengan menjadi mahasiswa di UIN Bandung tidak
sedikit pun memunculkan pikiran untuk berubah mendukung Persib. Karena,
kau akan rasakan bagaimana perasaan dan logika yang kadang
bersinggungan. Itu aku.
Cemoohan? Makian? Dikerdilkan? Ya. Aku
alami itu. Bukan masalah. Bukan sesuatu yang membuat resah. Ini sepak
bola, Bung! Siapapun bebas memilih tim yang ingin didukung. Dan aku,
mendukung Persija sebisanya dari Kota Bandung.
Ada sebuah percakapan menarik antara aku dan seorang teman yang merupakan anggota Viking. Begini kurang lebih.
"Kamu Jakmania? Kan kamu orang sunda?"
"Lalu?"
"Orang sunda harusnya mendukung Persib!"
"Bung, Persib itu tim Bandung. Sunda itu Jawa Barat. Apakah ada Perda yang mengharuskan warga Jawa Barat mendukung Persib?"
"Ya tidak juga, tapi ini soal rasa!"
"Nah, kau tau itu soal rasa. Bukankah rasa adalah hal yang tidak bisa dipaksakan?"
"Terus kenapa harus Persija? Itu kan tim yang mainnya jelek?"
Tadinya akan kujawab dengan perbandingan statistik dan sejarah antara Persija dan Persib. Tapi aku tau itu takkan diterima oleh temanku yang logikanya sedikit dikabuti fanatisme.
"Begini. Kalau Persib Bandung ada di posisi yang jelek dengan performa menurun, apa yang kamu lakukan?"
"Aku jelas, tetap mendukung Persib. Maung Bandung nu aing!"
"Nah, itu jawabanku, bro! Begitu pun aku ketika Persija sedang berada di bawah"
"Ah kamu ngelak terus. Ngakunya Jakmania, udah nonton Persija langsung di stadion belum?"
"Memang belum. Cuman liat latihannya aja. Kamu sekarang, ngakunya Viking, udah berkarya apa untuk Persib? Tulisan misalnya?"
"Belum. Aku cuman nonton dan teriak-teriak aja di stadion"
"Gini Sob, dukungan tidak selalu berbentuk nonton langsung di stadion. Tapi dukungan adalah rasa cinta yang kau pelihara dan kau buktikan semampumu, meski hanya lewat tulisan"
Aku kira dia akan berhenti bicara sampai situ. Ternyata berlanjut.
"Ah tetap saja Persija tidak punya stadion!"
"Ada baiknya kamu baca yang banyak soal keadaan tim kebanggaanmu itu, baca juga soal Persija. Terkadang kita lebih banyak angkuh berbicara daripada mencari data dan fakta"
Daripada larut dalam perselisihan, aku coba menenangkan temanku yang satu ini.
"Denger Kang, pernahkah terpikir mengapa nama tim sepakbola negeri kita mayoritas berawalan "Per"? Persija dan Persib misalnya? itu karena ada cita-cita persatuan yang ingin diwujudkan melalui sepakbola. Kalau para supporter mempersoalkan hal yang tidak substansial terus, sama saja menghambat persatuan. Ayo kita sama-sama bebenah. Jangan ribut mulu, malu sama Tuhan dan FIFA"
"Iya juga ya, bener kamu bilang. Ada hal yang lebih penting daripada yang kita selisihkan selama ini"
"Iya makanya.. Jadi gimana nih? Damai?"
"Damai atuh euy! Tapi tetep Persib mah nu aing!.. hehe"
"Iya mangga, Persija salawasna! haha"
Lalu berakhirlah obrolan kami pada secangkir kopi panas di warung dekat kampus.
Mungkin, saat kau membaca tulisan ini, kau sudah tahu betapa perselisihan antara Jakmania dan Bobotoh sulit sekali dituntaskan. Faktor dendam dan sejarah kelam membuat kedua supporter selalu mudah tersulut api pertikaian. Dan itu yang aku rasakan di Bandung. Bahkan di dalam kamarku sendiri.
Ada sebuah percakapan menarik antara aku dan seorang teman yang merupakan anggota Viking. Begini kurang lebih.
"Kamu Jakmania? Kan kamu orang sunda?"
"Lalu?"
"Orang sunda harusnya mendukung Persib!"
"Bung, Persib itu tim Bandung. Sunda itu Jawa Barat. Apakah ada Perda yang mengharuskan warga Jawa Barat mendukung Persib?"
"Ya tidak juga, tapi ini soal rasa!"
"Nah, kau tau itu soal rasa. Bukankah rasa adalah hal yang tidak bisa dipaksakan?"
"Terus kenapa harus Persija? Itu kan tim yang mainnya jelek?"
Tadinya akan kujawab dengan perbandingan statistik dan sejarah antara Persija dan Persib. Tapi aku tau itu takkan diterima oleh temanku yang logikanya sedikit dikabuti fanatisme.
"Begini. Kalau Persib Bandung ada di posisi yang jelek dengan performa menurun, apa yang kamu lakukan?"
"Aku jelas, tetap mendukung Persib. Maung Bandung nu aing!"
"Nah, itu jawabanku, bro! Begitu pun aku ketika Persija sedang berada di bawah"
"Ah kamu ngelak terus. Ngakunya Jakmania, udah nonton Persija langsung di stadion belum?"
"Memang belum. Cuman liat latihannya aja. Kamu sekarang, ngakunya Viking, udah berkarya apa untuk Persib? Tulisan misalnya?"
"Belum. Aku cuman nonton dan teriak-teriak aja di stadion"
"Gini Sob, dukungan tidak selalu berbentuk nonton langsung di stadion. Tapi dukungan adalah rasa cinta yang kau pelihara dan kau buktikan semampumu, meski hanya lewat tulisan"
Aku kira dia akan berhenti bicara sampai situ. Ternyata berlanjut.
"Ah tetap saja Persija tidak punya stadion!"
"Ada baiknya kamu baca yang banyak soal keadaan tim kebanggaanmu itu, baca juga soal Persija. Terkadang kita lebih banyak angkuh berbicara daripada mencari data dan fakta"
Daripada larut dalam perselisihan, aku coba menenangkan temanku yang satu ini.
"Denger Kang, pernahkah terpikir mengapa nama tim sepakbola negeri kita mayoritas berawalan "Per"? Persija dan Persib misalnya? itu karena ada cita-cita persatuan yang ingin diwujudkan melalui sepakbola. Kalau para supporter mempersoalkan hal yang tidak substansial terus, sama saja menghambat persatuan. Ayo kita sama-sama bebenah. Jangan ribut mulu, malu sama Tuhan dan FIFA"
"Iya juga ya, bener kamu bilang. Ada hal yang lebih penting daripada yang kita selisihkan selama ini"
"Iya makanya.. Jadi gimana nih? Damai?"
"Damai atuh euy! Tapi tetep Persib mah nu aing!.. hehe"
"Iya mangga, Persija salawasna! haha"
Lalu berakhirlah obrolan kami pada secangkir kopi panas di warung dekat kampus.
Mungkin, saat kau membaca tulisan ini, kau sudah tahu betapa perselisihan antara Jakmania dan Bobotoh sulit sekali dituntaskan. Faktor dendam dan sejarah kelam membuat kedua supporter selalu mudah tersulut api pertikaian. Dan itu yang aku rasakan di Bandung. Bahkan di dalam kamarku sendiri.
Lalu aku mencoba terus melebur dengan
para Bobotoh. Bergabung dengan para pendukung fanatik Persib Bandung.
Tapi jangan sangka aku sembunyi-sembunyi. Mereka semua tahu soal aku
yang Jakmania. Kelompok supporter yang, maaf, “dianjingi” oleh Bobotoh.
Dan aku tidak ragu.
Mungkin kau anggap aku pencari masalah.
Atau aku yang terkesan menantang. Bukan. Aku ingin menghapus seluruh
anggapan buruk Bobotoh terhadap Jakmania. Aku ingin hilangkan dendam
Jakmania terhadap Bobotoh. Aku ingin baik-baik saja.
Lalu aku ikut nonton bareng setiap
pertandingan Persib bersama Bobotoh—yang juga sebagian anak kelas. Aku
ikut membicarakan perkembangan Persib Bandung. Bahkan, membuat beberapa
berita mengenai citra baik Persib Bandung. Hal itu memang karena
jurusanku adalah Jurnalistik.
Hal yang berkesan adalah saat menonton final ISL bersama para Bobotoh sejati. Dan aku sebagai
Jakmania. Saat itu kami melebur. Tanpa diskriminasi. Saat Persib juara
pun tak ada iri yang terasa. Ucapan selamat dan salut mengalir begitu
saja. Dan mereka terlihat tak berang dengan kehadiranku. Hal yang
kuharap bisa meluas hingga tataran kedua pihak supporter secara
menyeluruh.
Dan kau tahu? Bobotoh memang sekelompok
supporter yang ramah. Mereka solid. Mereka dipersatukan dengan ideologi
yang kuat. Dan aku mencoba menjadi Jakmania yang santun di rumah mereka.
Mereka menyambut baik.
Mungkin karena Bobotoh yang kukenal saat
ini adalah mereka yang bersikap dewasa. Dalam beberapa kesempatan, aku
mengenal dan berjumpa dengan oknum yang bertindak tolol yang
mengatasnamakan dirinya Bobotoh. Mereka yang selalu mengompori
terjadinya pertikaian. Mereka yang menebar fitnah. Mereka yang
menginginkan perselisihan Jakmania dan Bobotoh tetap abadi. Dan aku
tidak menganggap mereka sebagai pendukung Persib yang kukenal. Mereka
hanya sampah.
Tak berbeda dengan oknum Jakmania yang
selalu berperilaku abnormal. Tidak mencirikan semangat Persija. Mereka
yang juga menaruh dan menanamkan dendam pada Bobotoh. Itu juga sampah.
Jika aku saja bisa berdampingan dengan
Bobotoh dalam keseharian, mengapa yang lain tidak? Semuanya akan menjadi
harmoni ketika kedua belah pihak mengenal lebih dekat. Melupakan
masalah yang sudah-sudah. Menghilangkan ego. Mengesampingkan dengki.
Egaliter. Maka akan tercipta hubungan baik yang mencerminkan nilai-nilai
pada ideologi bersama: Pancasila.
Kita mungkin punya harapan yang sama.
Harapan terciptanya perdamaian antar supporter Indonesia. Tidak ada lagi
pertumpahan darah. Tidak ada lagi caci maki. Sehingga harmoni yang
didambakan bisa tercipta. Dan tercapai, semboyan Bhineka Tunggal ika. Semoga.
0 comments:
Posting Komentar