Pada
pucuk purnama kutinggalkan kamar yang makin pengap sebab rindu yang tak henti
menguap. Kubawa keluar sepotong senyum yang dulu kauberi sebagai azimat.
Kusulut sumbu lilin dari air matamu yang mengeras agar bisa kulihat bayanganmu
jelas-jelas di malam yang bias. Kupergi bertiga dengan sandal jepit lusuh dan
secarik tanya: sesungguhnya apa itu rindu? Mengapa mengundang suka? Mengapa
mengandung siksa?
Lamat-lamat
bisik berdesir dari berbagai sudut. Kulihat alam satu per satu mengacungkan
jarinya dan kata-kata yang sudah diserut mencocok telingaku.
Hujan
yang baru saja turun berkata:
“Rindu
itu jatuh berkali-kali dan selalu tahu ke mana harus kembali.”
Awan
ikut-ikutan. Dia menimpali hujan:
“Pastilah
rindu itu jatuh berkali-kali sebab ia bervolume. Pada waktunya ia akan buncah
dan menciprati segala sisi kering pilu dan gelisah.”
Lalu
angin meluapkan dirinya dalam definisi rindu:
“Rindu
itu metafisika, karenanya ia bersarang dalam-dalam pada rasa, bukan pada raga.”
Kuperhatikan
diam-diam pada raut gunung. Beberapa kali kudengar gemuruhnya seolah ingin
sampaikan petuah. Lalu kutanya, “Bagaimana menurutmu, Tuan?”
Gunung
berdeham, dengan suara serak dia berkata:
“Nak,
jangan kaurawat rindumu seperti dendam. Sebab dendam adalah magma mendidih
dalam dada yang ringkih. Kau pun tahu, jika dendam pecah dan duniamu hancur,
kau pula ikut lebur. Kuperingatkan kau soal dendam, sebab ia lebih pongah dari
rindu. Soal rindu itu, tanyakan sajalah pada maut: hakikat penantian paling
tinggi.”
Kutimbang-timbang
pantaskah kutanyakan perkara rindu pada maut. Sebab di hadapannya siapa yang
tak kisut? Siapa yang tak kecut?
“Hmm,
begini, wahai maut, sudikah kau bisikkan padaku ihwal rindu? Sebab gunung yang
agung itu pun merujuk padamu.”
Maut
terkekeh. Dia berkata: “Rindu adalah berserah pada waktu. Sebab segala yang
telah digariskan, pada saatnya pastilah bertemu.”
(Adam
R.A)
0 comments:
Posting Komentar