Provinsi
Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Banyak kata yang mengarah
padanya: keras, sibuk, sesak, obsesi, bahagia, harapan dan lain-lain yang lahir
dari imajinasi setiap kepala. Bagi orang yang belum pernah menjamahnya, Jakarta
sering kali dianggap sebagai kota utopis tempat di mana semua cita-cita
terwujud. Namun nyatanya tak sedikit orang digilas pilu setelah menjajal
peruntungan di dalam hiruk pikuknya. Jakarta, seperti para perantau bilang, adalah
kota bengis yang punya rayu teramat manis.
Banyak juga yang bilang bahwa Jakarta
menawarkan peluang bagi siapa saja yang ingin tumbuh dan berkembang. Aku
termasuk orang yang membenarkan anggapan tersebut. Oleh sebab itu pula aku
memutuskan kembali ke Jakarta, kota masa kecilku, setelah sekian lama berpindah
dari satu daerah ke daerah lainnya. Aku kembali sebagai seorang pekerja
profesional.
Tahun demi tahun kulewati. Satu
per satu harapan yang kutempel di dinding kamar dahulu telah terwujud di kota
ini. Namun harga yang ditebus juga sebanding. Ada kemacetan jalan yang harus
diarungi, ada desak dan sesak di transportasi umum yang harus kumaklumi, belum
lagi kualitas udara yang semakin buruk dengan berbagai polusi. Banyak hal yang
membuat hidup di Jakarta begitu melelahkan, tetapi banyak pula alasan yang
membuatku harus tetap bertahan.
Seiring waktu berlalu di kota
besar ini, sampailah aku pada satu titik jenuh. Sebuah momen yang menyadarkanku
bahwa hidup hanya sekali dan patut dirayakan dengan tantangan baru. Aku ingin memiliki
lebih banyak pengalaman untuk dikenang suatu hari nanti. Pada titik jenuh itu,
terlintas satire Seno Gumira Ajidarma dalam Menjadi
Tua di Jakarta yang pernah sepintas kubaca:
“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
Sejujurnya pekerjaanku selama di
Jakarta tidaklah membosankan—malah bisa disebut menyenangkan karena bisa
bepergian ke berbagai tempat baru dan belajar banyak hal. Kejenuhan justru
lahir dari suasana kota yang semakin sumpek oleh manusia dan kendaraan yang
kian banyak, panas dan polusi udara yang kian merepotkan, serta menjamurnya para
pemabuk politik yang intoleran dan gemar melakukan politisasi agama sehingga
membuat kota ini semakin gerah. Benar-benar gerah.
Kejenuhan yang terakumulasi dari
berbagai hal itu telah meyakinkanku untuk mengambil sebuah keputusan: pindah ke
luar daerah yang sama sekali baru bagiku.
Keputusan ini bukanlah tanpa risiko.
Pindah ke tempat baru berarti harus siap dengan segala hal baru dan
meninggalkan kebiasaan lama. Aku harus terbiasa menjalani hidup tanpa fasilitas Ibu Kota, tanpa teman-teman lama dan tanpa keluarga. Aku menyadari hal tersebut
dan telah kupertimbangkan secara matang. Namun, tetap saja pertanyaan yang
lahir dari “rayuan manis Ibu Kota” menohok diriku sebelum perjalanan pergi:
“Kenapa pindah? Padahal di Jakarta
kan enak, fasilitas lengkap, gaji lumayan, jabatan juga strategis. Sayang
sekali.”
“Orang-orang ingin ke Jakarta,
ini malah pindah ke pulau kecil dan jauh. Apa tidak dipikir ulang?”
“Yakin mau lepas karier yang
sudah dibangun dari nol? Yakin tidak akan menyesal?”
Aku memahami cara berpikir
mereka. Namun seyogianya mereka juga mengerti bahwa standar kenyamanan setiap orang
tidak melulu sama. Bagiku, kenyamanan adalah kebahagiaan yang bisa diraih meski
dari hal-hal sederahana. Mereka juga mesti tahu bahwa aku merupakan sosok
rasionalis, seperti yang mereka tunjukkan. Keputusanku untuk pindah juga
didasari oleh pertimbangan yang masuk akal versi kepalaku. Namun apakah seorang
rasionalis tidak berhak mengikuti kata hatinya?
Kuakui dengan sepenuh hati, aku
mencintai Jakarta. Aku cinta keluargaku di sana, teman-temanku, commuter line, kantor lama, jajanan
Tebet, Persija dan banyak lagi yang lain. Jakarta telah menjadi rumah ketigaku
setelah Sukabumi dan Bandung. Namun, segala kecintaan itu tak bisa
menghalangiku untuk terus berkembang dan menikmati hal-hal baru.
Sebelum usai tulisanku, perlu ditegaskan,
aku tidak sepenuhnya setuju dengan ucapan Seno. Kupikir tidak semua orang yang
bekerja di Jakarta itu menyedihkan, tidak pula patut dikasihani. Banyak orang yang
memang bekerja sesuai selera dan keahliannya. Namun kemalangan yang digambarkan
Seno juga harus diakui adanya meski kita tidak bisa memukul rata para pekerja di Jakarta dengan satire tersebut. Kesuraman yang digambarkan itu adalah sebagian risiko yang harus dihadapi dalam melanjutkan hidup di Jakarta.
Namun, perlu juga kutegaskan,
aku tidak sedikit pun bergeming atas berbagai pertanyaan dan penilaian
orang-orang yang seolah tahu betul jalan hidupku. Pertanyaan mereka yang
terkesan menyayangkan keputusanku hanya akan masuk melalui telinga kanan dan
keluar begitu saja melalui telinga kiri; tidak akan sampai ke hati dan mengubah
tekad bulat yang kadung terbentuk.
Aku salut dengan para pekerja di
Jakarta. Aku salut dengan bapakku yang belasan tahun menerjang jalanan keras
kota ini dan menghirup segala polusinya demi keluarga di rumah. Aku juga salut
dengan orang-orang yang menolak menyerah dan bermandikan peluh di Jakarta demi
diri dan keluarganya. Selama pekerjaan itu halal, tiada yang salah dengan
mengadu nasib di Jakarta.
Aku hanya tidak mengerti dengan
orang-orang yang menganggap bahwa seluruh kebahagiaan dapat ditemukan di
Jakarta. Mereka pun seolah-olah menjadikan Jakarta sebagai barometer kesuksesan
seseorang. Jika hal ini dianggap lumrah, maka banyak orang akan menutup mata
terhadap peluang yang ada di berbagai daerah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi
akan menjadi timpang karena sentralisasi.
Aku termasuk bersama orang-orang
yang memilih tantangan baru dan keluar dari bungkus glorifikasi Ibu Kota. Sebab
di mana pun berkiprah, bukankah etos kerja yang akan membawa kita pada
kesuksesan? Aku tidak mau termasuk ke dalam golongan para perantau yang berduyun-duyun
datang ke Jakarta, memenuhi jalan dan transportasi umum, kemudian mengeluh “Kenapa
Jakarta sesak sekali? Kerja pemerintah apa kalau begini?”
Aku jadi berpikir, jika semua
orang ingin ke Jakarta, lalu siapa yang akan mengolah potensi daerah? Oleh
karena itu, marilah mencari kebahagiaan kita masing-masing. Terserah apakah
kita akan menikmati “rayuan Ibu Kota” atau mencari rayu-rayu yang lain di suatu
tempat, yang jelas, ikutilah kata hati bukan ucapan orang yang bahkan sama
sekali tak mengerti pandangan hidup kita.
Lalu, kembali ke Jakarta? Itu pasti.
Entah hanya singgah sesaat, entah mewujudkan salah satu mimpi yang dulu pernah
kubuat.
Adam R.A.
Ternate, 18 Juni 2019
0 comments:
Posting Komentar