Panen Cengkih Soligi, Menjaga Tradisi Negeri






Suara ayam bersahutan memecah keheningan pagi. Sinar matahari pun masih tampak samar di ufuk timur. Di antara suasana tenang itu, terlihat Saera La Gapu dan keluarganya telah siap memulai hari. Keranjang bambu, caping, dan karung-karung sudah tersedia. Kuncup cengkih di bukit belakang desa yang mulai mewangi pun tengah menunggu untuk dipetik.

Musim panen cengkih sedang berlangsung di Desa Soligi, Kecamatan Obi Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Panen tahunan ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh warga desa yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Kali ini, panen dimulai sejak bulan Desember 2019 dan diperkirakan akan berlangsung hingga Februari 2020. Sungguh menjadi bulan-bulan yang sibuk bagi warga Desa Soligi.

Cengkih merupakan primadona Indonesia yang tersohor ke berbagai penjuru dunia. Dahulu, ketika bangsa Portugis membawa cengkih asal Maluku ke Benua Eropa sekitar abad ke-15, komoditas ini begitu digandrungi. Kemasyhuran cengkih merebak dengan cepat. Seiring waktu, semakin banyak pihak yang ingin mendapatkan produk tanaman bernama nama lain Syzgium aromaticum ini.

Manfaat yang ditawarkan cengkih beragam. Cengkih dapat digunakan sebagai rempah pelengkap kuliner, sebagai bahan rokok kretek karena aromanya yang khas, serta sebagai obat herbal untuk penyakit tertentu. Menurut Sudarmo dalam buku berjudul Pestisida Nabati, Pembuatan dan Pemanfaatannya, daun cengkih kering yang ditumbuk halus dapat digunakan sebagai pestisida nabati dan efektif mengendalikan penyakit busuk batang fusarium, dengan memberikan 50-100 gram daun cengkih kering per tanaman.


Berbudi daya cengkih adalah sebuah tradisi yang dilakukan secara turun-temurun di Desa Soligi. Saera merupakan salah satu orang yang melestarikannya. “Saya memanen cengkih dan mengolahnya sejak tahun 70-an,” ujar Saera. Ketika musim panen tiba, ia senantiasa mengajak anak dan istrinya ke kebun cengkih setiap hari, kecuali hari Jumat karena itulah waktu untuk beristirahat.

Proses pemetikan cengkih


Proses memanen cengkih diawali dengan memilih kuncup yang sudah siap petik. Para pemetik dengan sigap menaiki pohon cengkih dan meraih dahan-dahan dengan tangan kosong. Biasanya yang dipetik adalah kuncup berwarna hijau kekuningan, bukan tangkai yang telah berbunga mekar. Selain tidak sesuai dengan permintaan pasar, bunga cengkih yang mekar itu biasanya digunakan untuk keperluan pembibitan karena menghasilkan polong atau kecambah.

Setelah dipetik, cengkih yang telah terkumpul kemudian dipisahkan dari tangkainya. Warga desa menyebut proses ini dengan istilah “digugur”. Meski demikian, bukan berarti tangkai cengkih itu tidak bisa dimanfaatkan. Warga tetap mengumpulkannya untuk kemudian dijual dengan harga sekitar Rp3.000 per kilogram tangkai kering. Waktu yang biasanya dipilih untuk proses menggugurkan kuncup dari tangkainya ini adalah sore dan malam hari, setelah kegiatan pemetikan di kebun selesai.


Langkah selanjutnya dari rangkaian pengolahan cengkih adalah penjemuran. Cengkih dan tangkainya yang sudah dipisahkan itu dijemur langsung di bawah terik matahari, dari pagi hingga sore. Ketika cuaca panas normal, warga desa biasanya melakukan penjemuran selama tiga hari hingga mencapai kering yang diinginkan. Saat cengkih sudah berwarna coklat kehitaman, itulah tandanya komoditas ini siap dijual. Jumlah cengkih kering yang bisa dihasilkan dari satu pohon selama musim panen tak kurang dari 50 kilogram, tergantung dari kualitas pohon.

Cengkih kering hasil penjemuran


Tumpuan ekonomi

Salah satu keunikan pada musim panen cengkih di Desa Soligi adalah munculnya para pemetik dadakan yang berasal dari berbagai daerah, mulai dari Ambon, Ternate, Buton, Seram, Madapolo, serta daerah lainnya di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Pemetik yang jumlahnya mencapai ribuan orang itu sengaja didatangkan oleh para pemilik kebun untuk membantu panen cengkih. Warga lokal menyebut para pemetik itu dengan istilah “karyawan”.

Musim panen cengkih dapat memberdayakan banyak warga desa. Setiap orang, dari anak-anak hingga dewasa, dapat terlibat langsung dalam rangkaian pemrosesan penyediaan cengkih kering ini. Pun bagi para karyawan dari luar daerah, panen cengkih adalah berkah. Menurut Saera, panen cengkih sangat diminati karena mampu menghasilkan rupiah dengan cepat dibandingkan panen kelapa yang prosesnya lebih panjang dan menghabiskan banyak tenaga.


Namun sayang, belakangan ini, harga cengkih sedang mengalami penurunan. Cengkih kering yang biasanya dihargai lebih dari Rp90.000 per kilogram, kini hanya mencapai angka Rp64.000 di Desa Soligi. Itulah sebabnya karyawan yang datang dari berbagai daerah pun tidak sebanyak panen-panen sebelumnya. Padahal, jika sedang ramai, satu pemilik kebun bisa mempekerjakan sekitar 50 orang karyawan.

Pengangkutan cengkih kering menuju pengepul


Cengkih kering dari Desa Soligi dibawa ke kota-kota besar, seperti Ternate dan Ambon, yang mayoritas diperuntukkan sebagai bahan pembuatan rokok. Di sana para pengepul mematok harga Rp70.000 untuk satu kilogram cengkih kering. Adanya selisih harga dari desa itu untuk menutupi biaya pengiriman yang menggunakan moda transportasi laut.

Menurut Saera, fluktuasi harga komoditas cengkih adalah hal wajar. Para pemilik kebun memaklumi bahwa jumlah permintaan dan pasokan tidak selalu berjalan seiringan. Meski demikian, panen cengkih akan tetap menjadi tradisi yang dilestarikan oleh warga desa. 

Saat di mana ribuan kuncup terhampar di halaman, saat semerbak cengkih terhirup sepanjang jalan, saat menggugurkan tangkai dihiasi oborlan hangat dan kebersamaan, saat itulah masa panen yang dirindukan tiba. “Semoga keberkahan yang melimpah selalu hadir pada panen-panen selanjutnya,” tandas Saera.


(A.R.A, 2020)


0 comments:

Posting Komentar