Earl Breizh Deufs dan Sebuah Misi Pulang Kampung




Dua dekade lalu rumah-rumah di Kedoya, Jakarta Barat, belum sepadat sekarang. Pohon belimbing masih bebas menjatuhkan daun kering dan buah busuknya di mana saja tanpa omelan tetangga. Kandang ayam kampung beserta baunya pun mudah sekali ditemukan. Beberapa ayam jago bahkan sering mampir ke teras rumah bibiku. Mereka datang tanpa salam dan pergi begitu saja dengan kotok berserakan.

Suatu sore aku kesal dengan ayam-ayam tersebut. Tak puas dengan hanya mengusirnya, aku nekat mengejar sekumpulan ayam panik itu sampai masuk ke dalam kandang. Mereka tersudut. Beberapa meringkuk tak berdaya di pojok kandang seperti pengecut. Mungkin inilah alasan mengapa seorang penakut juga disebut chicken dalam bahasa Inggris.

Kejayaanku itu ternyata tak bertahan lama. Sesak mulai terasa dalam dada. Berat sekali rasanya untuk sekadar menghela napas. Sampai pada akhirnya suara batuk yang bertubi-tubi memanggil ibuku untuk datang menjemput dalam kandang. Aku tak ingat bagaimana reaksinya ketika melihatku. Hal yang kuingat adalah saat aku terbaring terbaring di rumah sakit dengan slang dan tabung oksigen. Penyakit asmaku kambuh.


Sejak saat itu aku semakin menghindari hal-hal yang bisa membuat asmaku kian parah. Aku tak bisa menginap di kandang ayam, menghirup dalam-dalam keset masjid, mendaki Jayawijaya bertelanjang dada, juga tak boleh berutang es mambo di warung bu haji dan meminumnya setelah imsak. Sesak napas itu sungguh menyebalkan.


Pengalaman asma di kandang ayam itu sedikit membuatku trauma. Karena, tahukah kau bagaimana rasanya asma itu? Bukan, rasanya tidak sama seperti kau yang pura-pura bahagia padahal hati terluka. Memang sama-sama membuat sesak, tapi, asma lebih nyata rasanya. Apalagi bila ditambah batuk, pilek, demam dan sakit kepala. Bila sedang akut terkadang aku ingin menjadi dispenser saja.


Kekesalan terhadap kandang ayam ternyata memudar perlahan. Itu bermula sejak guruku di pesantren dulu memberi sebuah nasihat. “Harus selalu diingat, bahwa hal yang tidak kita sukai belum tentu buruk bagi kita. Begitu pula sebaliknya,” ujarnya pada sebuah pengajian kitab kuning beraksara gundul. Jangan kau tanyakan bisa atau tidaknya aku membaca kitab tersebut, karena aku dengan mudah dapat menafsirkan kitab itu kata demi kata. Aku pakai versi terjemahan.


Nasihat itu benar adanya. Pada 10 September 2018, aku berkesempatan terbang ke Prancis untuk meliput kandang ayam dalam rangkaian acara SPACE 2018, sebuah pameran peternakan bergengsi. Hal yang dulu kubenci ternyata mampu membuatku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Benua Biru.


Menyambangi peternakan khas Brittany


Sebelumnya aku ingin meminta maaf bila ingar-bingar SPACE 2018 tak kuceritakan di sini. Segala hal menarik tentang pameran itu sudah kutulis pada Laporan Khusus majalah Poultry Indonesia dan dimuat dalam dua edisi. Justru pada tulisan di blog inilah hendak kuceritakan sebagian kisah yang tak mungkin tertuang dalam majalah tersebut.


Satu dari sekian hal yang ingin kuceritakan adalah pengalaman unik ketika menyambangi peternakan khas Brittany, sebuah region di barat laut negara Prancis. Kegiatanku memang tidak semata-mata dihabiskan di Rennes—pusat pemerintahan Brittany sekaligus tuan rumah SPACE. Aku bersyukur bisa mengikuti program Farm Visit yang disediakan oleh penyelenggara pameran. Kegiatan ini memungkinkanku untuk menjelajah perdesaan dan melihat langsung genetik terbaik peternakan khas Brittany.


Sebetulnya ada beberapa opsi Farm Visit yang bisa kupilih, antara lain peternakan sapi berkonsep robotik, peternakan broiler pemasok daging restoran cepat saji, bahkan bisa pula mengunjungi sektor industri sarana produksi ternak seperti pabrik pakan berteknologi tinggi. Setelah melakukan beberapa pertimbangan, akhirnya aku memilih mengunjungi peternakan layer di daerah Henleè bernama Earl Breizh Deufs.

Sepasang suami istri yang belum pernah lawan arus di jalan layang casablanca

Senyum tampak rekah di wajah Urien David dan Urien Myriam. Sepasang suami istri pemilik Earl Breizh Deufs itu sudah menanti para peserta kunjungan tepat di depan kandang layer bersistem closed house. Standar sanitasi yang diterapkan oleh David ternyata cukup ketat. Oleh karena itu, sebelum memasuki kandang, peserta harus terlebih dahulu mencuci tangan, mengenakan pelapis sepatu, hair cap dan juga wearpack yang telah disediakan.

Setibanya di dalam kandang bersistem closed house itu, aku kok minder ya? Kandang layer pakai AC, kamarku tidak. Kandang layer punya tempat tidur bertingkat, kamarku tidak. Kandang layer pakai lantunan musik merdu seharian, kamarku tidak. Pokoknya, itu kandang layer yang sangat keren! Isinya 70.000 ekor dan telurnya banyak.

Jika hasil produksi satu hari diolah menjadi telur dadar, sepertinya bisa menutupi puncak Monumen Nasional (Monas) yang emas itu. Tapi, lebih baik jangan. Karena nanti namanya berubah menjadi Monumen Dadar (Modar). Aku takut dimarahi pemerintah.

Oh ya, sedikit informasi, layer itu sebutan untuk ayam ras petelur, sementara ayam ras pedaging disebut broiler. Maaf kalau aku telat memberi tahu bahwa aku merindukanmu tentang istilah tersebut.

Aku senang bisa mengikuti kunjungan ke kandang yang satu ini. Apalagi diiringi Mbak Nolwenn Possene yang baik hati. Ia adalah teknisi kandang yang banyak menemaniku selama kunjungan. Aku yakin dia nyaman berbicara kepadaku dan menganggapku sebagai pendengar yang baik. Mengapa? Karena dia berbicara dalam bahasa Prancis! Bagaimana aku bisa membalasnya jika kalimat yang kutahu sebatas bonjour dan merci? Untung saja di sana ada orang Prancis lainnya yang membantuku dengan menerjemahkan perkataan Nolwenn.

Nolwenn Possene, perempuan tangguh sang teknisi kandang

Setelah puas menjelajah kandang layer bersistem closed house, kami kemudian diajak melihat kandang ayam bersistem cage free, atau sebagian orang menyebutnya free range. Ini dia yang kutunggu!


Letak kandang ini tak begitu jauh. Pada peternakan cage free, terdapat sekitar 6.000 layer di lahan seluas 3 hektare. Ayam-ayam bebas bergerak dan melakukan kegiatan yang tak bisa dilakukan di kandang baterai, misalnya bertengger, berlarian, merasakan terpaan sinar matahari, main Instagram, menggosipkan majikan hingga berteduh di bawah pohon sambil menikmati kesejukan yang dibawa angin. 


Peternakan layer berkonsep cage free mengutamakan produksi secara naluriah. Ayam-ayam dapat beraktivitas secara leluasa dan kembali ke sebuah bangunan kandang tempat mereka beristirahat ataupun bertelur.

Menurut David, telur dari peternakan yang mengutamakan animal welfare ini cukup diminati oleh masyarakat Prancis dan Eropa pada umumnya. Kandungan gizi telur diyakini lebih berkualitas karena dihasilkan dari “ayam-ayam yang bahagia”. 

Meski demikian konsep cage free bukanlah tanpa hambatan. Sering kali ditemukan cedera pada kaki ayam karena terlalu sering mengais. Ekstremnya, ada pula kematian yang disebabkan kanibalisme antar ayam. “Belum lagi ancaman rubah yang siap memangsa,” imbuh David. Kondisi peternakan cage free yang sangat terbuka juga memungkinkan penyebaran penyakit. Untungnya, menurut David, kondisi peternakan Prancis bebas dari penyakit menular pada unggas semisal Avian Influenza.

Berbeda dengan peternakan layer sebelumnya, David mempersilakan para peserta untuk masuk dan mengambil gambar sesuka hati— karena suatu alasan, para peserta tak boleh memotret di kandang sistem closed house. Terlihat bagaimana ayam-ayam dapat saling bersinggungan tanpa batas sedikit pun. David mengaku tak kerepotan untuk memunguti telur di luar kandang. Ayam-ayam telah terbiasa bertelur di tempat yang telah tersedia sehingga memudahkan David dalam proses pengumpulan telur.

Waktu pemberian pakan dan minum pun sejatinya tak jauh berbeda dengan layer konvensional, hanya porsinya saja yang disesuaikan. Hal yang membuat David bertahan dengan pola budi daya ini adalah keyakinannya bahwa akan semakin banyak orang yang berminat mengonsumsi telur cage free meskipun harganya lebih mahal. Saat ini, bila mengacu pada harga rata-rata telur cage free internasional, selusin telur cage free dijual US$ 1 lebih mahal ketimbang telur konvensional pada jumlah yang sama. 


Ayam-ayam yang sedang malas keluar padahal di dalam bau tahinya sendiri

Suatu waktu, Benjamin Ruiz, rekan jurnalis asal Spanyol, bertanya kepadaku tentang kondisi peternakan ayam di Indonesia. Dengan percaya diri aku menjawab bahwa peternakan cage free yang sedang menjadi tren di Eropa ini sesungguhnya ketinggalan zaman bila dibandingkan peternakan Indonesia. “Serius? Kok bisa?” tanya Ruiz. Tentu saja, karena sebelum Eropa beralih dari closed house canggih ke konsep cage free, Indonesia sudah sejak dahulu kala menerapkan peternakan cage free yang disebut angon.

“Karena hanya segelintir saja peternak Indonesia yang punya duit untuk membuat closed house. Sisanya masih opened house untuk layer dan broiler. Karena itu pula cage free di Indonesia tetap langgeng. Bahkan, kau dapat dengan mudah menemukan ayam lokal yang berkeliaran di perkampungan ataupun bebek di persawahan,” ujarku tersenyum. Ia pun tertawa mengerti akan maksudku.


Sulit memang untuk menerapkan sistem cage free pada layer di Indonesia. Negeriku tercinta ini sangat rentan terhadap penyebaran penyakit karena beriklim tropis. Berbeda dengan negara-negara Eropa yang telah terbebas dari ragam penyakit unggas. Sudah mending sih ayam-ayam di Indonesia masih mau bertelur. Kalau aku jadi ayam dan mendengar isu politik yang murahan di Indonesia, tak sudilah aku bertelur dan memberi makan para politikus bangsat itu. Astagrifullah. Maafkan aku teman-teman.


Ingin pulang kampung


Aku banyak berbincang dengan beberapa pengunjung Farm Visit. Ternyata, sebagian dari mereka memiliki usaha peternakan di negaranya masing-masing. Minna-Riitta Ketokulta misalnya, pengunjung asal Finlandia itu ingin mengetahui lebih jauh perkembangan industri unggas di Prancis. Ia ingin menerapkan segala inovasi yang didapatnya ketika pulang nanti.


Minna dan beberapa orang yang kujumpai memandang bahwa usaha peternakan semakin digandrungi. Bahkan, pada pameran SPACE 2018, banyak sekali anak muda yang ikut serta di dalamnya. Animo masyarakat Rennes, dan Prancis pada umumnya, memang besar terhadap sektor agrobisnis. Itulah mengapa beragam inovasi dan produk terbaik terus lahir dari Negeri Mode ini.


Aku berpikir, jika di negara maju saja usaha peternakan terus melejit, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia yang peluang tumbuhnya lebih besar. Aku membayangkan betapa indahnya kembali ke kampung halaman, membuka usaha peternakan, serta memberdayakan sumber daya desa, baik alam maupun manusianya. Aku banyak belajar dari Earl Breizh Deufs bahwa usaha peternakan bukan sebatas bisnis sampingan. Usaha peternakan adalah motor penggerak ekonomi desa; membangun ketahanan pangan nasional dari pinggiran.

Pulang kampung juga mengingatkanku pada penyakit asma yang kualami dulu. Kampung tempat aku tinggal setelah hijrah dari Jakarta benar-benar menjadi obat mujarab. Kegiatanku sebagai anak kampung ternyata mampu mengatasi persoalan sesak napas itu. 


Serunya berenang di sungai tanpa busana, main layang-layang dan merusak antena orang, berlarian sepulang mengaji karena takut dicolek setan, mencuri kelapa dan membaca basmalah sebelum meminumnya, ternyata sungguh ampuh dalam memperkuat daya tahan tubuh. Olahraga dan memacu adrenalin adalah kombinasi yang asyik. Aku ingin berterima kasih kepada kampungku karena berkatnya pula aku bisa sampai ke Earl Breizh Deufs dan mendapat cita-cita ini.

Suatu saat nanti aku ingin kembali ke sana, ke rumah masa kecilku, Sukabumi. Senang sekali membayangkan hari-hari tanpa polusi udara, tanpa kemacetan jalanan dan tanpa isu-isu panas Ibu Kota. Sepertinya menyenangkan kelak aku memulai pagi dengan surat kabar dan secangkir teh hangat. Di hadapanku tersaji pemandangan Gunung Walat yang berkabut. 


Setelah itu aku menuju kandang bersama teman-teman pekerja, dan ketika siang menjelang aku pergi ke tempat kulinerku yang bahan pangannya berasal dari kandang sendiri. Ah, sungguh mimpi siang bolong di teriknya Henleè saat itu.

Tersadar aku sedang dalam kegiatan meliput, kusimpan dulu khayalan itu untuk nanti aku teruskan—dan tentu aku upayakan wujudnya. Untuk saat ini aku cukup bahagia dengan profesi yang kujalani. Karena sebuah hobi yang dibayar adalah sesuatu yang patut disyukuri, bukan? 


Namun telah kutekadkan bahwa suatu hari nanti aku ingin seperti David: memberdayakan potensi daerahnya, menyuplai kebutuhan pangan masyarakat, kaya raya, dan tentu menjalani bisnisnya dengan yakin dan bahagia. Tak kalah penting, aku juga ingin seperti David, memiliki seorang pendamping yang setia menguatkan di setiap langkah.

0 comments:

Posting Komentar