Di Pasar Tubuhmu





Di pasar tubuhmu kulihat lapak-lapak terserak. Kaki lima dari kayu dan terpal menyekat batas rapat-rapat pada setiap jengkal kulitmu yang padat. Untuk ukuran pasar rakyat kau sudah cukup berkelas. Permukaan punggungmu rata dan lekukmu nyaman. Meski kutahu tiada yang sudi menjajakan daganganmu sebab segala komoditas kau monopoli sendirian. Sepi pun menggerayangi pada waktu-waktu di mana tak bisa kau temukan pembeli barang sebiji. Satu-satunya pelanggan setia yang kau punya adalah lalat hijau burik yang berdengung di atas barang basimu.

Pada Minggu pagi kudapati seorang pemuda tergiur padamu dan pada barangmu yang belum juga laku. Pemuda dengan saku dan keyakinan yang sama kosong bertanya, “Itu berapaan?”

Jarinya menunjuk pada sepasang pipimu yang hampir jatuh.

Ditanya begitu kau menjawab “Ini bonus, tapi kalau kau punya cukup duit buat beli wajahku.”

“Berapa mahal? Cukupkah ceban?” kata pemuda. Kau juga menjawab, “Minggat saja kau, cari tempat yang lebih murah!”

Pemuda berhenti merogoh kantong yang cuman angin. Pemuda berhenti menebak-nebak niat yang cuman angan.

Di pasar tubuhmu kulihat tungau dan jamur bersarang. Perlahan mereka menapaki kue-kue bibirmu yang mulai terbelah. Kutemukan ijuk rambutmu yang kering dan berantakan, guci jidatmu yang gelap tak mengilap, gantungan kupingmu yang loncer, pisau matamu yang menumpul, parfum lehermu yang pengap, mangkuk dadamu yang lembek dan segala pernak-pernikmu yang sama sekali tak menarik.

Kudatangi dirimu yang sedang bersih-bersih dari debu. 

Sontak kau tanya,”Punya angka berapa?”

Kubilang, 

“Aku tidak menawarkan angka. Kuhanya tawarkan bahagia. Sebab kuyakin tak terhitung dan kau tak punya.”

Biar kuborong kau dan segala gelisahmu. Mari kita tutup saja pasarmu, kita pindah ke kebunku. Tempat di mana bisa kau temukan segala yang baru. 

Tempat kau menumbuhkan kembali dirimu yang tinggal layu.



(Adam R.A.)


0 comments:

Posting Komentar