Kak Cepat, Sekre Kita Dikepung!


“Wartawan itu memberi fakta, bukan fuck you”, ucapan Rijal, teman seperjuanganku di Lembaga Pers Mahasiswa Suaka, selalu terngiang hingga kini. Benar juga celotehnya itu: pers banyak dituding sebagai penyebar kebencian dan fitnah. Sedangkan fungsi utamanya sebagai sarana edukasi dan kontrol sosial seringkali tersisihkan.
Kisah ini merupakan salah satu pengalamanku yang berharga saat berkiprah di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka. Kutulis—agar bisa kubaca dan kuingat terus—bagaimana perjuangan LPM Suaka dalam mewujudkan cita-cita pers yang sejujurnya: kebenaran dan keadilan.

Rabu, 11 Maret 2015. Pada ruang yang sempat lenggang. Lalu seketika tegang.

Seorang mahasiswi berlari menuruni puluhan anak tangga gedung Student Center. Derap langkahnya menggema di lorong yang nampak kosong. Nuru, nama mahasiswi itu, nafasnya memburu. Dia seperti dikerjar waktu. Tujuannya satu: menyampaikan pesan yang dianggapnya paling penting saat itu. Beberapa detik kemudian, sampailah dia di kerumunan orang beseragam abu-abu.

“Kak Cepat, sekre kita dikepung,” kata Nuru. Saat itu Robby, yang sedang menjaga stand penjualan Tabloid Suaka, terperangah.

“Dikepung siapa?”

cleaning service, Kak!”

Tanpa dikomando, Robby dan beberapa rekan LPM Suaka segera menuju sekre. Benar saja, belasan orang petugas cleaning service berdiri tegak menunggu Robby dan kawan-kawan. Sebagian besar dari mereka menggunakan kaos berwarna hitam, celana Jeans dan sandal jepit.

“Kenapa ini Pak?” tanya Robby.

“Bisa kita ngobrol sebentar?” ucap seorang cleaning service menganggapi.

Beberapa orang perwakilan cleaning service masuk ke dalam ruang sekretariat LPM Suaka yang tidak terlalu besar. Hanya berkapasitas sekitar dua puluh orang. Saat itu, ada Robby, Nuru dan beberapa rekan LPM Suaka lainnya di dalam. Di depan mereka duduk berjajar petugas cleaning service yang nampak tegang. Sisanya berada di luar memerhatikan di balik kaca dan mendengar suara yang keluar lewat pintu yang terbuka.

“Saya minta kepada teman-teman Suaka untuk tidak mengedarkan tabloid bulan ini,” kata seorang petugas cleaning service berkumis tipis.

“Kenapa, Pak? Bukannya pada audiensi kemarin semua masalah sudah jelas?” tanya Robby. Dia terlihat santai.

Adu argumen tak terelakkan. Baik pihak Suaka maupun cleaning service saling lempar pendapat.Isthi dan Nuru nampak kaget disuguhi ketegangan siang itu. Di tengah pecahnya emosi dalam ruangan sekre, datang seorang bertubuh gempal dan berkulit gelap. Sontak sekumpulan orang yang tengah bersitegang terdiam.

“Geus dieu mana tabloid Suaka? Urang duruk we di DPR!” (Udah mana sini tabloid Suaka? Kita bakar aja di DPR—Di bawah Pohon Rindang)

Tatapan pria itu langsung tertuju pada setumpukan tabloid LPM Suaka yang rencananya hari itu akan disirkulasikan. Jumlahnya kira-kira 200 eksemplar. Sebagian sudah siap edar, sebagian lagi ada yang tidak dilipat karena kesalahan cetak. Namun semuanya diangkat habis oleh pria yang menganggap dirinya koordinator cleaning service itu.

Pemimpin Umum LPM Suaka Faisal Anshori jelas tak terima dengan perampasan tabloid yang menurutnya tak etis. Tanpa pikir panjang, Faisal menyusul sekawanan cleaning service yang turun ke lantai satu dengan ratusan tabloid Suaka di tangan mereka. Beberapa petugas nampak tertawa puas. Sebagian lagi bermuka masam seolah menyimpan seribu kesah dalam benaknya.

“Pak, jangan begini caranya. Mari kita cari jalan keluar yang baik,” kata Faisal.

“Tabloid ini tidak boleh terbit! Kami akan tahan untuk sementara waktu,” kata koordinator cleaning service yang mengompori terjadinya perampasan tabloid LPM Suaka.

“Apa tidak ada cara lain Pak?” Beberapa saat koordinator berbadan mirip petinju Mike Tyson itu terdiam.

“Ya sudah, jam dua siang nanti kita adakan audiensi. Kita luruskan masalah ini bersama. Pihak kami akan mengajak seluruh satpam dan Cleaning Service di lingkungan kampus,”
“Baik Pak. Terimakasih.”

Faisal pergi. Namun harapannya tidak. Tekadnya untuk menegakkan kebenaran yang selama ini menjadi peganggannya menggebu-gebu. Siang nanti, adalah penentuan reputasi LPM Suaka di hadapan khalayak kampus.

Satu bulan sebelumnya. Ruang redasi Suaka. Isinya segala suka dan jenaka.

Saat itu Pemimpin Redaksi Suaka Adi Permana nampak bingung. Isu yang ditawarkan pada rapat redaksi beberapa hari lalu ternyata kurang seksi. Kalau jadi, tadinya laporan utama tabloid edisi Maret akan mengupas seputar ISO di kampus. Namun beberapa pengurus tak sepenuh hati menerima. Alasan kasus klise dan data primer yang sulit didapat menjadi kendala. Lalu Robby Darmawan yang menjabat sebagai Redaktur Online mengajukan isu baru. Berawal dari obrolan kecil, kasus yang dia ajukan kelak menjadi obrolan besar. Bak menyulut sumbu peledak di kebun sendiri. Bukan untuk menghancurkan hasil panen, tapi memusnahkan hama-hama liar. Begitu kira-kira maksud pria berbadan tebal itu.

“Gimana kalau kita mengangkat isu pungli?” tanya Robby.

“Kenapa?” Aku menyergah. Posisiku di LPM Suaka sebagai Redaktur Tabloid. Dengan itu, isu yang diangkat harus pula mendapat persetujuanku.

“Soalnya banyak yang ngadu ke Suaka belakangan ini soal pungli.”

“Pelakunya siapa? Alasannya apa?”

“Jadi begini, kan banyak mahasiswa yang mengadakan acara malam. Biasanya selepas magrib. Nah, jam segitu kan jadwal kerja OB sudah habis. Jadi banyak OB yang nagih uang ke mahasiswa.”

“Ya wajar dong?”

“Enggak. Soalnya nagihnya keterlaluan. Bisa sampe ratusan ribu. Mahasiswa mau punya uang segitu dari mana? Cair dari rektorat aja pas-pasan.”

“Terus?”

“Nah, selain itu, kalo gak ngasih jadi ngemusuhin ke mahasiswa. Bahkan dari beberapa laporan katanya yang nagih itu gak cuman malem, tapi pas jam kerja juga ada mahasiswa yang ditagih.”

“Iya ya. Padahal soal kebersihan itu tanggung jawab OB. Kalo satpam gimana?”

“Sama! Ada yang laporan juga satpam suka nagih uang tiba-tiba kalo ada acara malem. Padahal kan itu tugas mereka.”

“Boleh nih. Bisa diusut. Mahasiswa udah bayar untuk keamanan dan kebersihan. Masa masih ditagih terus sih?”

“Iya. Nanti deh ya obrollin dulu ke Pemred.”

Adi Permana ternyata setuju dengan penggantian isu laporan utama tersebut. Maka secepatnya dia bentuk tim untuk memegang kasus ini. Empat orang ditunjuk. Isthi yang menulis Laporan Utama Satu, Ola Laporan Utama Dua, Robby Laporan Khusus sekaligus merangkap koordinator liputan, yang terakhir, aku, sebagai editor. Bertanggung jawab pula terhadap segala konten yang akan ada di tabloid nanti.

Pemetaan liputan sudah dilakukan. Narasumber kunci sudah ditentukan. Penggarapan isu ini harus selesai kurang dari sebulan. Meski tahu menanggung resiko, keempat orang ini bertekad mengungkap kebenaran yang diselipkan.

*

Selama hampir satu bulan kami menggali data dengan berbagai cara. Riset dan wawancara menjadi hidangan setiap hari. Satu persatu pihak yang berkaitan dihampiri. Mencari tentang kebijakan ke birokrat. Menyusuri keluhan di lingkungan mahasiswa hingga menampung alasan dari satpam dan cleaning service. Verifikasi dilakukan. Kelengkapan data narasumber menjadi keharusan. Kami mengerjakan laporan ini dengan hati-hati. Supaya tulisan yang keluar nanti bak pisau yang menebas segala ketimpangan. Bukan pisau yang melukai tanpa pertanggungjawaban.

Data primer sudah didapat. Tinggal bagaimana meramu bahan yang sudah ada menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu: keadilan. Sepertinya isu ini menjadi hal yang lebih penting dari apapun pada saat itu. Ini menyangkut hak-hak yang tidak terpenuhi.

Saat itu banyak mahasiswa yang mengeluh kepada Suaka tentang perilaku pungli yang dipraktikkan oleh para petugas. Putri misalnya, ketua salah satu UKM di kampus itu mengaku pernah ditagih uang secara tidak adil oleh petugas. Alasannya satu: uang lelah. Padahal menurut Putri, tugas dari cleaning service adalah untuk bersih-bersih. Lalu, mengapa mereka harus meminta uang kepada mahasiswa? Bukannya mereka sudah digaji oleh pihak kampus? Pikir Putri.

Atau yang dialami oleh Jamal. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah itu pun mengeluhkan satpam yang menagih uang acara kepadanya. Suatu saat, Jamal sedang mengadakan acara. Lalu tiba-tiba beberapa orang satpam menghampirinya untuk menagih uang konsumsi. Jamal bingung. Menurutnya, suatu hal yang tidak layak ketika satpam berperilaku seperti itu.

Selain Putri dan Jamal, masih banyak yang mengadukan ketidaknyamanan mereka tentang petugas kampus kepada LPM Suaka. Itulah yang menjadi alasan mengapa kami kemudian bersikeras mengangkat isu ini. Karena, pada dasarnya Suaka adalah lembaga perlindungan. Adalah kewajiban bagi LPM Suaka untuk melindungi siapa pun yang merasa tertindas di lingkungan kampus.

Tulisan ini kemudian bertujuan untuk memberi penjelasan kepada mahasiswa tentang penagihan yang dilakukan oleh petugas. Apa dasarnya dan digunakan untuk apa uang yang ditagih kepada mahasiswa. LPM Suaka ingin memberi suatu titik terang tentang kisruhnya pungli di kampus Islami. Suaka ingin menyibak sekat antara upah dan lelah. Maka ditulislah laopran tentang isu yang meresahkan mahasiswa ini.

Sabtu, 7 Maret 2015. Tabloid turun cetak. Semakin nampak pihak-pihak yang menggertak.

Robby dan Fadli nampak sibuk. Mereka baru saja datang dari percetakan dengan ratusan eksemplar tabloid yang belu dilipat. Cover tabloid dengan gambar dua orang petugas yang dikarikaturkan terlihat jelas dengan warna terang. Lumayan menantang. Pada halaman depan  tertulis “Menyibak Sekat Upah dan Lelah.” Judul tabloid untuk edisi Maret ini.

Baru saja tabloid dilipat, segerombolan satpam datang dengan seragam hitam pekat. Mereka langsung menohok kru Suaka dengan bermacam pertanyaan. Terlihat kekesalan dari raut wajah mereka.

“ini apa maksudnya? Kenapa ada foto saya di tabloid ini? Sambil megang uang lagi!” protes seorang satpam.

“Bapak kan waktu itu sudah bersedia menjadi model untuk foto ilustrasi?” tanya Robby.

“Iya, tapi kan waktu itu janjinya dibuat karikatur dan disamarkan, ini kenapa jelas sekali?”

Fotografer Suaka Dede Lukman agaknya lupa. Foto di bagian dalam tabloid tidak disamarkan. Hanya di bagian cover saja. Tapi sebetulnya, foto yang di bagian dalam tersebut sama sekali tidak menampakkan wajah satpam. Pembaca pun tidak akan mengenali siapa orang yang berada dalam foto tersebut.

“Terus kenapa bahasanya pungli? Memangnya kapan kita pernah melakukan pungli kepada mahasiswa? Tegas seorang cleaning service.

“Apakah dengan menagih uang seenaknya kepada mahasiswa yang mengadakan acara itu bukan pungli? Padahal masih di dalam jam kerja Anda, dan kebersihan pun tanggung jawab bapak-bapak sekalian,” aku coba jelaskan.

Adu argumen tak terhindarkan. Akhirnya, satpam dan cleaning service sepakat untuk mengadakan audiensi dengan pihak mahasiswa dan LPM Suaka saat itu juga. Sementara itu, ratusan taboid sudah diedarkan. Mengantisipasi perampasan yang bisa saja terjadi oleh oknum petugas. Penyebaran tabloid juga dimaksudkan untuk menyampaikan pesan penting kepada khalayak kampus.

Dalam ruangan yang tak terlalu besar, mahasiswa dan petugas berkumpul setumpuk argumen yang siap dilontarkan. Pihak Suaka diwakili aku, Faisal dan Robby. Pihak satpam dan cleaning service diwakili para koordinatornya dan mahasiswa diwakili oleh beberapa ketua Unit Kegiatan Mahasiswa.

Perdebatan tidak berlangsung lama. Karena pihak Suaka dengan jelas memaparkan pembelaan mereka terhadap apa yang dituduhkan oleh para petugas. Mahasiswa pun berpihak pada Suaka. Sebaliknya, pihak satpam dan cleaning service tidak banyak bicara. Mungkin mereka menyadari kesalahan yang dilakukan. Saat itu, audiensi berjalan lancar. Semua pihak yang terlibat bisa menerima dan saling memaafkan. Tidak ada lagi yang memperasalahkan foto ataupun penulisan.

Senin, 9 Maret 2015. Sekre Suaka kembali memanas.
Ketidakpuasan para petugas pada audiensi Sabtu lalu sepertinya diluapkan di sekre Suaka. Yana—bukan nama sebenarnya—berperan sebagai pemimpin gerombolan cleaning service saat itu. Mereka menamakan diri sebagai Serikat Pekerja Mandiri Bersatu (SPMB).

“Tolonglah perhatikan lagi, kami tidak suka kata pungli dibebankan kepada kami,” kata Yana.

Yana mengeluarkan segala alasannya untuk membela cleaning service. Dia menganggap tuduhan yang dilakukan LPM Suaka tidak memiliki dasar yang kuat. Namun Robby yang saat itu mewakili LPM Suaka mampu menerangkan secara jelas duduk perkara yang menjadi perbincangan. Akhirnya, setelah sekitar satu jam berdiskusi, pihak cleaning service bisa berbesar hati menerima laporan yang dibuat oleh LPM Suaka. Bahkan, Yana meminta LPM Suaka terus mengawal isu ini hingga tercipta perubahan sesuai dengan harapan bersama.

Yana beserta rekan seprofesi menyadari bahwa LPM Suaka memiliki niat baik dengan laporan yang diangkat. Yana berharap ada kejelasan dari pihak rektorat terkait upah para pekerja. Karena, sampai tabloid dicetak, regulasi pembayaran upah di luar jam kerja tidak diatur secara jelas.

Kurasa, sebagian oknum petugas bukan mempersoalkan konten tabloid. Namun mereka takut pemasukan dari mahasiswa yang mengadakan acara akan berkurang karena dampak laporan yang kami tulis. Juga mereka takut mendapat PHK dari perusahaan.

Rabu, 11 Maret 2015. Antara upah, lelah dan islah.

Akan kuceritakan sebagaimana kejadian sesungguhnya. Berawal dari kegaduhan sekre Suaka setelah disambangi puluhan cleaning service dan satpam.

Pemimpin Umum LPM Suaka Faisal Al’Anshori megap-megap. Baru saja dia berlari dari lantai satu gedung student center ke sekre LPM Suaka di lantai tiga. Di sana sudah menunggu pengurus Suaka yang nampak was-was. “Nanti jam dua kita ada audiensi akbar dengan para petugas, tolong kasih tau semua pengurus dan alumni. Undang juga Pers Mahasiswa Kota Bandung supaya hadir,” tegas Faisal.

Beberapa anggota perempuan LPM Suaka saling bertukar tatap. Tersirat rasa cemas dalam pancaran mata mereka. Saat itu, aku sedang sibuk membolak-balik draf mekanisme kerja para petugas di kampus. Air muka pengurus yang lain berubah tegang. Ada yang mengganjal dalam pikiran kami: reputasi LPM Suaka, produk yang dirampas, intimidasi fisik dan psikis serta nasib LPM Suaka esok dan seterusnya.

Setengah jam sebelum audiensi..

Meeting Room lantai satu Student Center telah ditata sedemikian rupa. Bangku-bangku disusun dengan pola setengah lingkaran. Pengeras suara dinyalakan. Satu set sofa sudah tersedia di depan: seolah khusus disediakan untuk penghujatan LPM Suaka. Belasan orang berseragam cleaning service berdiri di sebelah belakang. Beberapa di antaranya jongkok dengan rokok di bibir. Beberapa saat kemudian belasan orang berseragam satpam menyusul masuk. Seolah antusias ingin menyaksikan hukuman rajam. Wajah mereka muram. Beberapa orang memegang tabloid LPM Suaka yang sudah tergulung sambil dipukul-pukul ke telapak tangan sendiri. Kulihat bagian luar tabloid tersebut sudah sobek dan kotor. Seperti bekas terkena siraman kopi hitam. Saat itu, sebagian pengurus LPM Suaka masih berada di sekre.

Aku menjemput Faisal dan pengurus yang lain. Kulihat dari balik kaca mereka sedang melakukan persiapan jelang audiensi. Beberapa pengurus sibuk membaca tabloid dan mempelajari kemungkinan kelemahannya. Beberapa lagi sibuk menghubungi pihak-pihak yang kiranya bisa membantu. Aku pun tidak tinggal diam. Setengah jam sebelumnya aku dan Rijal menghampiri Prof.Dr. Asep Saeful Muhtadi MA. Dosen pembimbingku—yang juga guru besar UIN Bandung. Dia tokoh yang dituakan dan disegani oleh masyarakat kampus. Tak banyak hasil didapat. Hanya stimulus semangat untuk menyelesaikan perkara ini dengan cara kami.

Setelah persiapan dirasa cukup, kami menuju ruang audiensi. Kami tak gentar karena kami benar.

Ruangan sudah terisi penuh. Asap rokok semakin menebal di bagian belakang ruangan. Bangku-bangku sudah bertuan. Sebagian berdiri karena bangku yang tersedia tak begitu banyak. Di sebelah kanan berjajar mahasiswa dari berbagai UKM. Ada pula alumni LPM Suaka, dan tanpa dikira, datang pula rekan-rekan dari Pers Mahasiswa. Jumlah mereka cukup banyak. Jajaran kanan ini, mereka mendukung LPM Suaka.

Di bagian tengah sengaja disediakan untuk seluruh petugas keamanan dan kebersihan kampus UIN Bandung. Mengapa ditempatkan di tengah? Mungkin sengaja agar lebih mudah menatap tajam Faisal yang sedang berbicara nanti. Sebuah tantangan: uji mental. Di bagian tengah itu juga nampak Supervisor cleaning service—setahuku dia mendukung LPM Suaka, karena menganggap kinerja cleaning service yang dipimpinnya memang kurang baik. Terdapat pula ketua satpam UIN Bandung serta Bagian Umum Al-Jamiah. Wajah mereka juga terlihat tegang.

Di sebelah kiri adalah pengurus LPM Suaka beserta anggota magang. Ekspresi pengurus saat ini terlihat lebih santai, beberapa orang bercanda seolah tak terjadi apa-apa. Agaknya audiensi ini menjadi hal yang mengagetkan bagi anggota magang. Belum seumur jagung keberadaan mereka di LPM Suaka, namun sudah dihadapkan pada masalah yang cukup menguras emosi ini. Dalam tulisan ini aku hendak meminta maaf kepada mereka. Sekaligus terimakasih yang begitu dalam karena sudi menemani perjuangan kami saat itu.
Terakhir, bagian depan, jajaran sofa. Sudah duduk Humas UIN Bandung, Ketua SPMB, Kasubag Kemahasiswaan, Pemimpin Umum LPM Suaka dan terakhir, katanya, koordinator cleaning service UIN Bandung—yang sebelumnya kubilang mirip petinju. Satu lagi, Purna Irawan, pengrus LPM Suaka yang kuminta menjadi moderator. Ini kulakukan setidaknya agar dapat mengendalikan jalannya audiensi.

Mungkin kau bertanya-tanya, mengapa banyak pihak yang terlibat dalam audiensi ini? Begini, kasus pungli diduga dilakukan oknum petugas terhadap mahasiswa. Hal itu jelas merugikan mahasiswa yang merasa dirampas hak kebebasannya. Keresahan itu kemudian mengarah kepada pemangku regulasi yang, maaf, tak becus mengatur sistem keamanan dan kebersihan kampus. Seperti lingkaran setan: petugas menagih uang kepada mahasiswa, mahasiswa menyalahkan birokrat, birokrat angkat tangan karena dana terbatas dan petugas meradang sana-sini.

Ruangan hening sejenak, setelah Purna membuka salam, audiensi dimulai…

Kasubag Kemahasiswaan mendapatkan kesempatan bicara paling dulu. Dia tidak memihak LPM Suaka ataupun para petugas. Mungkin cari aman. Namun, dari kalimat yang dia lontarkan, banyak menyindir para petugas. Meski tersirat dan tidak secara gamblang. Menurutku dia ragu sikap mana yang akan diambil. Dia memiliki kedekatan dengan para petugas. Namun secara fungsi jabatan dia bertanggung jawab terhadap segala persoalan mahasiswa. Tak lama dia berbicara. Sekitar tujuh menit sejak salam pembuka, dia memberikan kesempatan kepada koordinator cleaning service—yang kubilang mirip petinju—untuk menyatakan pendapatnya.

Sontak kegaduhan ruangan saat itu bisa dibungkam oleh si petinju. Pengeras suara yang baru saja dia terima dari Kasubag Kemahasiswaan diletakannya di atas meja. Suara yang keluar dari mulutnya sudah terlalu keras, tak perlu pakai pengeras suara lagi.

“Langsung saja ke inti persoalan, saya keberatan dengan tabloid LPM Suaka edisi kali ini. Ada banyak hal yang saya tidak setuju,” kata si petinju—yang aku takkan sebutkan namanya. Dia berhasil mendapatkan perhatian peserta audiensi dengan sekali hentak. “Pertama, saya menyayangkan ungkapan pungli yang diarahkan kepada para petugas. Kedua, pemuatan foto ilustrasi tidak layak. Ketiga, data dari narasumber di dalam tabloid tidak meyakinkan.”

Saat itu, kulihat Faisal sudah tak sabar ingin menanggapi. Sudah beberapa kali dia membunyikan tulang-tulang di jarinya. Sesekali Faisal juga menggaruk-garuk kepalanya yang berambut gondrong. Namun sayang, belum saatnya Faisal untuk bersuara.

Si petinju terus menyerang LPM Suaka dengan berbagai pendapat pribadinya. Dia seolah di atas angin. Para petugas mengeluarkan seruan-seruan yang berusaha mendukung pendapatnya. Namun sayang, dia sama sekali belum menjelaskan aksinya merampas tabloid LPM Suaka secara sepihak. Belum lagi dia menjelaskan ucapan kasarnya kepada LPM Suaka saat perampasan tabloid.

Setelah hampir lima belas menit berbicara sendirian, si petinju mengakhiri bagiannya. Oh, sebelumnya maaf, aku menyebut koordinator petugas itu sebagai petinju bukan tanpa alasan. Pertama, seperti yang kubilang, dari postur tubuhnya. Kedua, dari sikapnya yang kasar. Ketiga, karena rekam jejaknya yang yang terkenal dengan kekuatan fisik dalam menghadapi berbagai persoalan. Itu alasanku. Kalau kau tidak setuju, kau boleh menggantinya dengan sebutan yang kau mau.

Faisal, dengan sebuah catatan kecil, berhasil membantah semua tuduhan atas LPM Suaka. Faisal terllihat tenang. Satu persatu stigma yang mengarah kepada LPM Suaka berhasil dibersihkan. “Jadi seperti itu, tidak ada maksud dari LPM Suaka untuk merugikan pihak manapun. Kami bekerja untuk kebenaran dan…..” belum lagi Faisal selesai si petinju segera memotongnya.

“Iya saya mengerti, tapi cara yang LPM Suaka lakukan sungguh tidak layak. Tidak manusiawi dan merugikan pihak petugas; mencoreng nama baik petugas dan memberi kemungkinan para petugas untuk mendapat hukuman,” kata si petinju. Kulihat mukanya merah padam. Sementara itu di jajaran tengah kulihat supervisor petugas hanya senyum-senyum. Entah apa pesan di balik sepasang bibirnya itu.

Momen memotong penjelasan Faisal dimanfaatkan betul oleh si petinju untuk melakukan serangan balik. Berbagai tuduhan baru dilancarkan: dia menyebut LPM Suaka yang sekarang sudah tidak bersahabat dengan para petugas seperti tahun-tahun sebelunya. Dengan demikian, dia berusaha membentuk opini publik bahwa kepengurusan saat ini sudah tidak bisa membela yang benar dan lemah lagi. Tamparan bagi LPM Suaka.

Waktu itu seolah logikaku membuncah: meledak bersama amarah di dalam kepala dan menjalar ke dada bagian terdalam. Namun sulit sekali menghentikan si petinju itu. Lalu, aku minta Purna untuk memberikan kesempatan aku berbicara. Tentu dengan diam-diam. Itu tujuanku menunjuk Purna menjadi moderator: memegang kendali jalannya audiensi. Beberapa menit kemudian, setelah disetujui Faisal dan seluruh peserta audiensi, aku berbicara. Begini kira-kira ucapanku saat itu:

“Assalamualaikum, senang bertatap muka dengan rekan-rekan semua di sini. Semoga Allah memberi petunjuk dan jalan terbaik untuk seluruh persoalan yang kita hadapi. Maaf, sebelumnya, akan saya uraikan secara kronologis tentang penggarapan tabloid LPM Suaka edisi kali ini. Karena saya sebagai redaktur memiliki tanggung jawab atas setiap kata yang tertera dan makna yang terkira.”

Aku tarik napas sejenak dan memberi sedikit senyum kepada semua peserta audiensi. Saat itu kurasakan Rijal menepuk bahuku pelan. Mungkin ingin mengontrol emosiku agar tetap tenang.

“Beberapa bulan lalu, di teriknya siang UIN Bandung, saya beserta Robby Darmawan dan beberapa rekan sedang berbincang di sekre. Ketika mahasiswa yang lain sedang sibuk mengurusi masalah tugas kuliah, kami, yang ada di ruangan saat itu, sibuk memikirkan isu untuk penggarapan tabloid LPM Suaka. Beberapa teman mengajukan isu kualitas ISO kampus. Namun dirasa kurang menarik. Akhirnya, karena banyak keluhan mengenai penarikan uang oleh petugas kepada mahasiswa, kami memutuskan untuk mengusut isu tersebut. Data yang valid kami himpun. Mahasiswa yang mengalami penagihan yang merugikan kami data: mulai dari nama, usia, jurusan dan jabatan. Kami betul-betul ingin menjunjung tinggi verifikasi. Hingga terkumpul bahan yang cukup kuat, kami baru menyusun asumsi: terjadi kasus pungli di kampus Islami.”

Kulihat peserta memerhatikan dengan saksama. Beberapa petugas di bagian belakang mematikan rokok. Peserta yang berada di luar kulihat bergerombol masuk ruangan. Samar-samar kulihat pula alumni LPM Suaka yang baru datang.

Aku jelaskan secara detail setiap langkah penggarapan tabloid. Orang-orang yang bertugas meliput dan menullis pun aku sebutkan. Kulihat peserta audiens mengangguk-angguk, mungkin terbawa ceritaku saat itu. Lalu sampailah aku ke sesi, kasarnya, membantah tuduhan si petinju.

“Pertama, soal kata pungli, kami pilih dengan beberapa pertimbangan. Pungli adalah akronim dari pungutan liar, sebagaimana rekan-rekan di sini ketahui. Pungutan liar berarti kegiatan pemungutan, baik itu berupa uang atau benda lainnya, terhadap suatu pihak. Dikatakan liar karena tidak ada regulasi yang jelas terkait pemungutan tersebut. Sama persis dengan yang dilakukan oknum petugas di UIN Bandung. Tanpa didasari regulasi yang jelas, pemungutan uang dan barang dilakukan terhadap mahasiswa.”

Aku melanjtukan, “Seorang presiden, ketika dia korupsi, maka akan disebut koruptor. Seorang guru, jika dia membunuh, maka akan dikatakan pembunuh. Tidak ada penghalusan kata. Pun pada pungli, kami rasa layak disematkan pada siapapun yang melakukan tindakan itu. Mengapa kami berani? Karena kami sudah memiliki bukti yang kuat.”

Aku mengarahkan pandangan kepada beberapa korban pungli yang datang pada audiensi saat itu. Mereka menunduk, mungkin malu.

“Kami memliki bukti yang tidak bisa dibantah, karena pelakunya pun sudah mengakui ihwal pungutan yang dilakukan. Kalau tidak percaya, bisa ditanyakan langsung kepada Kang Godeg (buan nama sebenarnya),” kataku sambil meyilakan Godeg berkomentar.
“Iya saya memang menagih uang, tapi itu sesuai dengan jasa yang saya berikan. Itu bukan pungli, tapi uang lelah,” kata Godeg.

Pernyataan Godeg dibantah oleh Putri—mahasiswi yang ditagih. Dengan penjelasan mendalam, Godeg pun kehabisan kata untuk membalas komentar Putri.
Kembali aku melanjutkan penjelasan.

“Masalah foto ilustrasi, itu memang kesalahan kami. Sempat terjadi salah koordinasi sehingga terjadi hal seperti itu. Awalnya kami berniat menjadikan foto salah seorang satpam menjadi ilustrasi, namun karena terbatasnya waktu kami tampilkan sebagaimana aselinya. Namun saya rasa foto itu sama sekali tidak menunjukkan wajah yang bersangkutan. Benar-benar tersamarkan. Lagi pula kami beri keterangan foto: diperankan oleh model dan bukan kejadian sebenarnya. Cukup jelas menurut saya. Kalau teman-teman satpam kurang berkenan, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya.”

Permasalahan foto tidak berlarut terlalu lama. Bisa selesai dengan hanya satu kali penjelasan. Namun gelombang serangan kembali datang dari peserta audiensi. Kali ini salah seorang staf Al-Jamiah yang dulunya sebagai koordinator cleaning service.
“Saya rasa masalah ini tidak perlu dibawa serius,” kata dia. “Ini lebih ke sisi manusawi. Memberi upah kepada petugas itu adalah hal yang wajar, kenapa Suaka repot-repot mengangkat isu ini? Bukankah masih banyak isu lain yang lebih penting? Perpustakaan atau parkiran misalnya? Para petugas itu orang tua, mereka dari kalangan tidak mampu. Apa tega kalian menuduh hal yang tidak-tidak?”

Pria bertubuh jangkung itu mampu menarik perhatian peserta audiensi dengan retorikanya yang menarik. Dia melanjutkan, “Saya rasa juga tak perlu ada regulasi soal ini, cukup dengan saling pengertian maka seluruh masalah akan selesai. Kita semua sama-sama untung, bukan?”

Sekitar sepuluh menit dia berkoar. Berusaha membela para petugas dengan segala kekurangan yang disembunyikan. Kemudian, seperti sebelumnya, Purna memberiku kesempatan berbiacara.

“Begini, Pak, tidak ada niatan sedikit pun LPM Suaka untuk tidak menghargai para petugas. Seperti yang Bapak bilang, mereka semua adalah orang tua kami. Oh ya, berbicara soal manusiawi, upaya yang kami lakukan adalah untuk memanusiakan para petugas: kami berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka. Kalau Bapak bicara soal kami yang tak tahu diri, Bapak salah. Maaf, Pak, bibi dan paman saya mereka adalah cleaning service dan satpam sekolahan, sama seperti rekan-rekan petugas di sini. Karena itu saya tahu betul apa yang harus diperjuangkan. Bapak bilang tidak perlu ada regulasi yang jelas? Saya pribadi dan mungkin rekan-rekan mahasiswa tidak setuju. Dengan adanya regulasi, akan menciptakan aturan yang jelas ihwal upah dan jam kerja bagi para petugas. Tidak seperti sekarang yang sering terjadi salah paham antara kita semua.”

Kemudian dia menyela, “Tapi selama ini saya rasa sudah adil apa yang diminta petugas!”
“Karena itu, Pak, saya dan LPM Suaka berupaya menciptakan keadilan yang meyeluruh. Tidak adil menurut satu atau dua orang saja. Boleh saya kasih contoh, Pak? Begini, hari ini saya mengadakan acara di aula dengan seratus kursi. Semua sudah diurus oleh Kang Godeg, cleaning service yang masih lajang. Perlengkapan dan acara diurusnya dari awal sampai akhir. Kemudian saya kasih uang dua ratus ribu,”

Saat itu kuarahkan pandangan kepada Godeg, lalu kutanya, “Apakah hal tersebut adil, Kang?”

Dengan lantang, Godeg menjawab, “Adil Jang!”

“Adil ya, Kang? Hatur nuhun. Lalu kemudian besoknya saya mengadakan acara serupa dengan kebutuhan serupa. Kebetulan yang mengurus acara dari awal sampai akhir adalah Pak Jaenudin, cleaning service beranak lima. Kemudian saya beri upah serupa dengan Kang Godeg, dua ratus ribu. Apakah itu juga Adil?”

Kudengar peserta audiensi serempak menjawab tidak. Godeg seketika menundukkan kepalanya. Pun sang koordinator yang setelah itu tidak banyak berbicara, hanya argumen tambahan yang menurutku dipaksakan. Kulanjutkan penjelasan.

“Kami, LPM Suaka, pada dasarnya dibentuk sebagai perlindungan. Sesuai dengan nama Suaka itu sendiri. Kami bertekad melindungi seluruh lapisan yang ada di kampus ini. Sudah merupakan kewajiban kami menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Membela yang tertindas dalam bentuk apapun, termasuk pungutan tanpa aturan yang selama ini dilakukan. Kami mencoba mencari jalan keluar untuk kepentingan bersama, mencari solusi yang menguntungkan seluruh pihak. Maka itu kami mohon kerjasamanya dari rekan-rekan sekalian.”

Aku merasa sedang di atas angin. Ini kesempatan untuk meyakinkan semua pihak bahwa langkah yang diambil oleh LPM Suaka adalah benar. Kemudian kucoba untuk mengembalikan hak kami yang dirampas.

“Berdasarkan apa yang saya dengar dari alumni dan masyarakat kampus, LPM Suaka berkiprah berdampingan dengan semua komponen kampus. Meliputi mahasiswa, birokrat, petugas hingga para pedagang. Selama itu pula kami berusaha memberikan karya terbaik untuk suatu perubahan. Mungkin rekan-rekan belum mengetahui bagaimana repotnya membuat berita dan lembaran tabloid? Mereka adalah anak-anak yang kami lahirkan dengan tekad dan keringat. Hasil rapat dan mengejar narasumber berminggu-minggu. Hasil emosi yang pecah saat penggarapan. Mereka lahir dari upaya keras para pengurus LPM Suaka. Maka itu, maaf, sungguh hal yang menyakitkan ketika karya yang kami lahirkan itu dirampas dengan sepihak. Maaf, mungkin bukan dirampas, kami anggap para petugas meminjam tabloid kami untuk sama-sama dibaca dan dipelajari. Kami berharap besar, karya kami itu bisa dikembalikan dengan keadaan utuh untuk kebaikan bersama.”
Setelah itu, ruangan nampak tenang sekejap. Kemudian si petinju angkat bicara.

“Sebetulnya kami tidak mengambil secara paksa. Benar kata si aa ini, kami ingin mempelajari tentang berita yang ada di dalamnya. Secepatnya akan kami kembalikan,” segera dia menyuruh petugas untuk mengambil ratusan tabloid di ruang sebelah. Tabloid yang beberapa waktu lalu mereka bawa.

Entah benar atau tidak yang dia sampaikan. Namun, masih terngiang ucapan, “Kadiekeun tabloidna, urang duruk di DPR!”

Sesaat kemudian lima orang petugas datang megap-megap dengan tabloid yang kemudian diletakkan di depan peserta audiensi. Kulihat beberapa tabloid sudah rusak dan beberapa bagian yang hilang.

Kemballinya tabloid kami saat itu disambut tepuk tangan yang meriah dari seluruh peserta audiensi, tanpa terkecuali. Sepuluh menit kemudian audiensi ditutup dengan bersalam-salaman.

*

Audiensi yang cukup panas itu menghasilkan keputusan: Pertama, islah antara seluruh pihak yang terkait dalam penggarapan tabloid. Kedua, akan ada audiensi lanjutan yang melibatkan para pemangku kebijakan tertinggi kampus untuk menciptakan regulasi yang jelas. Ketiga, persetujuan LPM Suaka untuk mengawal isu ini sampai tuntas, dan semoga, menciptakan peningkatan kesejahteraan para petugas.

Hasil dari audiensi itu benar-benar kami upayakan semaksimal mungkin. Aku dan Faisal secepatnya menyambangi Kepala Bagian Umum dan menyampaikan maksud untuk melakukan audiensi lanjutan. Sayang, dia tidak menghendaki hal itu. Namun kami mendesak adanya pertemuan para petinggi untuk membahas isu ini. Kemudian Kepala Bagian Umum merestui harapan kami.

*

Beberapa minggu berselang. Berita tentang regulasi pemberian upah kepada petugas terus kami bahas di online maupun cetak. Saat itu, aku dan Robby Darmawan baru akan mempersiapkan acara Kompas Lego Ergo Scio di UIN Bandung. Pagi, sekitar pukul sembilan, ketua Serikat Pekerja Mandiri Bersatu (SPMB) menghampiri kami berdua. Kami memang sudah saling mengenal satu sama lain sebelumnya. Sambil membawa sapu lidi, di selasar masjid Iqomah, dia berkata, “Kang Adam, Alhamdulillah aya peningkatan ayeuna mah. Sabulan, gaji jadi naek 420 rebu, ditambah THR,” ucapnya dengan senyum yang paling manis pagi itu. Tak banyak kata yang kuucapkan. Huruf yang kuhapal selama ini habis dilumat senyumnya.

Setidaknya, dengan masalah ini, kami bisa membuktikan bahwa pers adalah benar lembaga kontrol sosial. Meskipun hanya di lingkungan kampus, kami berupaya menciptakan perubahan ke arah yang baik. Sejak saat itu hubungan LPM Suaka dan para petugas menjadi lebih harmonis. Pun dengan mahasiswa yang lebih terbuka membahas permasalahan seputar kampus. Semoga cita, cinta, cipta dan karsa LPM Suaka bisa senantiasa menaungi si Kampus Hijau. Dengan demikian, salah bagi orang yang memandang sebelah mata kekuatan pers mahasiwa. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa, “Pers Mahasiswa adalah lembaga yang paling idealis dalam menyampaikan fakta dan kebenaran.”

Cerita ini sebagai salah satu contoh upaya pers mahasiswa menciptakan perubahan. Semoga lain waktu bisa kuceritakan pengalaman berharga lainnya. Terimakasih sudah membaca. Salam Pers Mahasiswa, Suaka!





0 comments:

Posting Komentar