Sudah Jangan Ngajar!




“Guru yang tidak mau dikritik masuk ke keranjang sampah. Guru bukan dewa yang selalu benar dan murid bukan kerbau.” Itu kata Soe Hoek Gi. Tentunya kritik yang dikoarkan aktivis kondang itu akan lebih pedas daripada kritik yang dibisikkan mahasiswa di kampus islami. Terutama di lingkungan UIN SGD bandung. Karena nasihat ta’dziimul ahlul ilmi atau menghormati ahli ilmu sudah ditekankan sejak awal menginjakkan kaki di ranah Cipadung.

Tapi guru tetaplah guru. Dosen juga. Adalah pengajar yang maha kadang-kadang: kadang benar dan salah. Tapi di sini bukan soal siapa yang paling benar dan salah. Masalah muncul ketika dosen yang salah tak mau mengalah. Alih-alih mahasiswa mengingatkan, yang ada malah dicirian. Lebih parah lagi, mahasiswa yang vokal mengkritisi menjadi sasaran sederet sanksi. Mulai dari nilai yang dikurangi, absen yang dilangkahi hingga akhirnya harus mengulang lagi semester nanti. Jangan kira itu dongeng, tanya saja pada teman atau kakak-kakak senior yang susah lulus karena komen terus.

Kesalahan yang paling sering dilakukan dosen, entah itu sengaja atau khilaf, adalah pada proses pengajaran. Ini versi mahasiswa tentunya. Kalau versi dosen ya benar-benar saja toh selama ini mereka melakukannya dengan rutin. Serutin tugas-tugas aneh yang diberikan pada mahasiswa. Berikut ini beberapa kekesalan mahasiswa yang rasanya sulit diungkapkan pada dosen yang bikin capek hati:

Pertama, dosen penganut mazhab tekstual. Penyakitnya muncul saat ujian. Soal yang diberikan harus dijawab dengan materi yang persis sama dengan apa yang disampaikan selama perkuliahan. Termasuk teori dan jumlah paragraf yang sama. Ekstremnya, harus sama pula penulisan titik dan koma. Mungkin sejauh ini belum ada. Tapi jika dibiarkan siapa sangka? Mahasiswa yang menggunakan referensi lain dianggap melanggar dan sok pintar. Dosen tekstual ini biasanya melihat kuantitas, bukan kualitas jawaban. Resikonya: mahasiswa yang berusaha menyontek mati-matian. Daripada mengulang tahun depan, banyak yang memilih cari aman.

Kedua, dosen Sales Promotion Lecturer. Hobinya menawarkan produk. Biasanya berupa buku. Tapi ada juga yang berbentuk kunjungan web milik dosen. Supaya semakin dikunjung semakin untung. Sebetulnya tidak masalah ketika hanya menjadi anjuran. Tapi, kalau boleh jujur, banyak dosen yang memaksakan kehendak. Kalau tidak nurut ya didepak. Apa daya bagi mahasiswa yang mempertuhankan nilai?

Ketiga, dosen seenaknya. Ah mungkin terlalu kasar untuk membahasakan dosen yang suka merokok di kelas; duduk di atas meja; berbiacara kasar dan masuk kalau ingat. Kurang seenaknya? Bagaimana kalau dosen menyampaikan materi cetek yang mahasiswa bisa dapatkan dari buku bahkan ketika hanya membaca resensinya saja? Atau dosen dengan materi yang tak relevan? Atau dosen yang hanya mengandalkan public speaking-nya yang menawan dengan materi nihil? Atau bahkan ketika dosen mengolok-olok mahasiswanya yang memakai baju oren dan, maaf, tak lupa menganjingi The Jakmania setiap dia mengajar? Biar apa?

Setidaknya tiga tipe dosen tadi yang selalu bikin mahasiswa gerah. Sebetulnya masih banyak. Akan terasa jika mahasiswa lebih kritis lagi menyikapi dosennya. Maaf dosenku tersayang, bukan ingin membangkang. Tapi sikap kalian yang buat kami berang. Jangan sampai perilaku kalian menjadi alasan mengapa kampus ini menjadi pilihan kesekian bagi para calon mahasiswa. Maafkan mahasiswamu yang bengal ini.

Seharusnya, dosen menjadi panutan bagi mahasiswanya. Menjadi motivator dengan segala inspirasi yang diberikan. Harus diingat, kita berada di UIN. Tentunya bukan Universitas Insyaallah Negeri. Maka tolong pak, bu, sesuaikanlah sikap kalian pada prinsip yang dijunjung kampus ini. Harus diingat pula, orang tua kami--dan juga kami pribadi-- banting tulang untuk biaya kuliah. Maka hak kami untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang layak. Maaf juga, kalau ibu dan bapak dosen belum mampu merubah sikap, saya mohon, sudah jangan ngajar!

Tulisan ini dimuat pada rubrik kolom tabloid Jurnalpos edisi April 2015.



0 comments:

Posting Komentar