“Guru yang tidak
mau dikritik masuk ke keranjang sampah. Guru bukan dewa yang selalu benar dan
murid bukan kerbau.” Itu kata Soe Hoek Gi. Tentunya kritik yang dikoarkan aktivis
kondang itu akan lebih pedas daripada kritik yang dibisikkan mahasiswa di
kampus islami. Terutama di lingkungan UIN SGD bandung. Karena nasihat ta’dziimul ahlul ilmi atau menghormati
ahli ilmu sudah ditekankan sejak awal menginjakkan kaki di ranah Cipadung.
Tapi guru tetaplah
guru. Dosen juga. Adalah pengajar yang maha kadang-kadang: kadang benar dan
salah. Tapi di sini bukan soal siapa yang paling benar dan salah. Masalah
muncul ketika dosen yang salah tak mau mengalah. Alih-alih mahasiswa
mengingatkan, yang ada malah dicirian. Lebih
parah lagi, mahasiswa yang vokal mengkritisi menjadi sasaran sederet sanksi. Mulai
dari nilai yang dikurangi, absen yang dilangkahi hingga akhirnya harus
mengulang lagi semester nanti. Jangan kira itu dongeng, tanya saja pada teman
atau kakak-kakak senior yang susah lulus karena komen terus.
Kesalahan yang
paling sering dilakukan dosen, entah itu sengaja atau khilaf, adalah pada
proses pengajaran. Ini versi mahasiswa tentunya. Kalau versi dosen ya
benar-benar saja toh selama ini mereka melakukannya dengan rutin. Serutin
tugas-tugas aneh yang diberikan pada mahasiswa. Berikut ini beberapa kekesalan
mahasiswa yang rasanya sulit diungkapkan pada dosen yang bikin capek hati:
Pertama, dosen
penganut mazhab tekstual. Penyakitnya muncul saat ujian. Soal yang diberikan
harus dijawab dengan materi yang persis sama dengan apa yang disampaikan selama
perkuliahan. Termasuk teori dan jumlah paragraf yang sama. Ekstremnya, harus
sama pula penulisan titik dan koma. Mungkin sejauh ini belum ada. Tapi jika dibiarkan
siapa sangka? Mahasiswa yang menggunakan referensi lain dianggap melanggar dan
sok pintar. Dosen tekstual ini biasanya melihat kuantitas, bukan kualitas
jawaban. Resikonya: mahasiswa yang berusaha menyontek mati-matian. Daripada
mengulang tahun depan, banyak yang memilih cari aman.
Kedua, dosen Sales Promotion Lecturer. Hobinya
menawarkan produk. Biasanya berupa buku. Tapi ada juga yang berbentuk kunjungan
web milik dosen. Supaya semakin dikunjung semakin untung. Sebetulnya tidak
masalah ketika hanya menjadi anjuran. Tapi, kalau boleh jujur, banyak dosen
yang memaksakan kehendak. Kalau tidak nurut ya didepak. Apa daya bagi mahasiswa
yang mempertuhankan nilai?
Ketiga, dosen seenaknya.
Ah mungkin terlalu kasar untuk membahasakan dosen yang suka merokok di kelas;
duduk di atas meja; berbiacara kasar dan masuk kalau ingat. Kurang seenaknya?
Bagaimana kalau dosen menyampaikan materi cetek yang mahasiswa bisa dapatkan
dari buku bahkan ketika hanya membaca resensinya saja? Atau dosen dengan materi
yang tak relevan? Atau dosen yang hanya mengandalkan public speaking-nya yang menawan dengan materi nihil? Atau bahkan
ketika dosen mengolok-olok mahasiswanya yang memakai baju oren dan, maaf, tak
lupa menganjingi The Jakmania setiap dia mengajar? Biar apa?
Setidaknya tiga
tipe dosen tadi yang selalu bikin mahasiswa gerah. Sebetulnya masih banyak.
Akan terasa jika mahasiswa lebih kritis lagi menyikapi dosennya. Maaf dosenku
tersayang, bukan ingin membangkang. Tapi sikap kalian yang buat kami berang.
Jangan sampai perilaku kalian menjadi alasan mengapa kampus ini menjadi pilihan
kesekian bagi para calon mahasiswa. Maafkan mahasiswamu yang bengal ini.
Seharusnya, dosen
menjadi panutan bagi mahasiswanya. Menjadi motivator dengan segala inspirasi
yang diberikan. Harus diingat, kita berada di UIN. Tentunya bukan Universitas
Insyaallah Negeri. Maka tolong pak, bu, sesuaikanlah sikap kalian pada prinsip
yang dijunjung kampus ini. Harus diingat pula, orang tua kami--dan juga kami pribadi-- banting tulang untuk biaya kuliah. Maka hak kami untuk mendapatkan kualitas pendidikan
yang layak. Maaf juga, kalau ibu dan bapak dosen belum mampu merubah sikap,
saya mohon, sudah jangan ngajar!
Tulisan ini dimuat pada rubrik kolom
tabloid Jurnalpos edisi April 2015.
0 comments:
Posting Komentar