Tiga dekade lalu tak banyak orang memasang mata pada bebatuan di Pulau Kasiruta. Salah satu wilayah Kesultanan Bacan ini tak ubahnya pulau-pulau lain di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Mayoritas warga berprofesi sebagai petani dan nelayan. Jarang terdengar profesi penambang, penggosok, dan penjual batu bacan seperti yang saat ini lumrah dijumpai. Kilauan mineral bernama ilmiah Krisokola itu masih tertimbun dalam tanah dan gunung batu.


Pamor batu bacan mulai tersingkap sekitar tahun 1990. Dilansir dari Indonesian Gemstone, pada masa itu batu bacan hanyalah komoditas barter masyarkat untuk mendapatkan sembako. Namun hal itu mulai berubah ketika seorang turis asal Singapura membeli 10 kilogram batu bacan super dengan harga sekitar Rp7 juta. Padahal, saat ini batu bacan super bisa melampaui harga Rp50 juta per kilogramnya. Harga yang tinggi tersebut sejalan dengan melonjaknya permintaan para penggemar batu bacan, baik skala nasional maupun internasional.


Nama batu bacan semakin melejit ketika Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mengunjungi Indonesia pada tahun 2010 silam. Presiden Republik Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, memberikan cendera mata berupa batu bacan hijau kepada Obama. Berkat momen itulah animo publik terhadap batu bacan kian bermunculan. Perkembangan tersebut ditandai dengan merebaknya komunitas hobi, kontes, pameran, serta kios-kios yang membuka jasa pembuatan dan penjualan perhiasan batu bacan.


H. C. Einfalt dan H. Sujatmiko dalam tulisan berjudul “Chrysocolla quartz from the Bacan Archipelago, South Halmahera Regency, North Maluku Province, Indonesia” yang dimuat The Journal of Gemmology Volume 30/No.3-4/2006, menerangkan bahwa batu bacan memiliki warna khas dan tingkat kekerasan yang baik dari proses pembentukan alami. Hal itu memungkinkan batu bacan untuk diolah menjadi berbagai bentuk perhiasan. Sementara itu, situs Gemstone Dictionary menganggap batu jenis ini mengandung energi untuk menimbulkan ketenangan jiwa, kestabilan emosi, dan perasaan bahagia bagi pemakainya.


Dua buah cincin batu bacan super. 

Banyak alasan yang membuat orang-orang rela membayar harga tinggi untuk mendapatkan batu bacan. Rizal Hamzah, pelaku usaha batu bacan, mengatakan bahwa batu ini merupakan “batu hidup” yang sangat digemari. Dikatakan hidup sebab warna yang dimiliki batu bacan dapat berubah seiring waktu dan kondisi lingkungan sekitar. Selain itu, tekstur dan serat batu bacan setelah mengalami pengolahan intensif sangatlah indah dan menarik pandangan. Kini batu bacan telah menjadi primadona Halmahera Selatan yang begitu tersohor. Ketika mendengar Pulau Bacan, sebagian besar orang akan mengaitkannya dengan batu bacan.


Batu bacan memang sering dipajang di toko batu mulia dan pameran ternama. Namun siapa sangka, ternyata proses penambangannya tidak semudah yang dibayangkan. Setidaknya ada tiga pihak yang bekerja sama menjadi satu kelompok dalam proses pencarian ini, yaitu penambang, penunjang, dan tuan tanah. Mereka memiliki fungsinya masing-masing. Penambang adalah garda terdepan yang telah memahami cara menggali lubang dan menemukan urat batu. Penunjang bertugas menyediakan seluruh kebutuhan dalam proses penambangan. Sedangkan tuan tanah adalah mereka yang memiliki lahan tempat pencarian batu dilakukan. Kelak, jika mendapatkan hasil tambang, maka ketiga pihak ini mendapatkan keuntungan yang dibagi sesuai kesepakatan bersama.


Jenis batu bacan

Banyak orang mengira bahwa batu bacan berasal dari Pulau Bacan karena namanya yang serupa. Namun, batu ini justru berasal dari Pulau Kasiruta yang berjarak 3 jam perjalanan laut dari Labuha, Ibu Kota Kabupaten Halmahera Selatan yang terletak di Pulau Bacan. Nama batu diambil dari Kesultanan Bacan yang wilayah kekuasaannya lebih luas daripada Pulau Bacan itu sendiri. Batu bacan diperoleh dari dua desa yang tersohor di Pulau Kasiruta, yakni Desa Doko dan Desa Palamea. Keduanya pun menjadi nama jenis batu bacan.


Lokasi penambangan di Desa Doko menghasilkan dua jenis turunan, yaitu bacan doko gulao dan bacan doko majiko. Keduanya dibedakan dari letak tambang yang terpisah sejauh 10 kilometer. Doko gulao berada di dekat bibir pantai, sementara doko majiko berada di lokasi yang lebih ke dalam. Batu bacan doko mayoritas berwarna kehijauan. Tidak tampak begitu banyak perbedaan antara bacan doko gulao dan bacan doko majiko.


Sementara itu, penambangan di Desa Palamea juga menghasilkan dua jenis turunan, yakni bacan palamea waringin dan bacan palamea kawasi. Seluruh batu bacan palamea berwarna kebiruan. Orang lokal menyebutnya dengan biru relaxa. Sejatinya, jika dibandingkan pada tingkatan kualitas super, warna batu bacan doko dan bacan palamea akan sulit dibedakan. Batu bacan juga memiliki warna lain seperti cokelat dan putih, tetapi warna yang begitu digemari adalah hijau dan biru.


Batu bacan siap jual. Harga bervariasi mulai dari Rp2 juta - Rp7 juta.


Bertahan sepanjang zaman

Batu bacan telah melewati masa-masa yang begitu dinamis. Pamornya berfluktuasi seiring tingkat permintaan pasar dan pasokan para penambang. Ada kalanya ia dihargai sangat tinggi seperti saat seseorang warga Taiwan menebus sebongkah batu bacan seharga Rp1,5 miliar untuk dibawa pulang ke negaranya. Ada pula saat para pengusaha batu bacan kesulitan mendapat pelanggan—bahkan untuk menjual satu cincin saja. Namun transformasi batu bacan dari waktu ke waktu tetap menjadi sesuatu yang layak diingat dan dirawat.


Saat ini, menurut Rizal, pasar batu bacan memang tidak seramai sebelumnya. Para penambang pun mulai berkurang karena berbagai alasan. “Sekarang agak sulit untuk mendapatkan batu bacan. Biaya logistiknya semakin mahal, sementara cadangan batunya juga semakin berkurang,” ujarnya. Namun, ia tidak merasa khawatir. Menurutnya akan selalu ada penghobi yang mencari batu ini meskipun jumlahnya sedikit. “Seperti itulah dunia hobi. Saya pun menjalani usaha ini karena hobi.”


Batu bacan dikenal sejak bentuknya yang hanya sebatas bongkahan, hingga kini ketika orang-orang berkreasi dan membuatnya menjadi berbagai jenis perhiasan: cincin, liontin, anting, hingga giok yang ditempel pada patung-patung bernilai seni tinggi. Pesona batu bacan akan tetap memukau meskipun tidak banyak lagi yang membicarakannya di kedai kopi, pangkalan ojek, gedung perkantoran, ataupun situs jual beli online. Ia akan terus berkilau sebagai khazanah Kesultanan Bacan yang tak lekang ditelan zaman.


(ARA, 2021)

*Dilarang menggunakan teks dan foto tanpa seizin pemilik blog.







Suara ayam bersahutan memecah keheningan pagi. Sinar matahari pun masih tampak samar di ufuk timur. Di antara suasana tenang itu, terlihat Saera La Gapu dan keluarganya telah siap memulai hari. Keranjang bambu, caping, dan karung-karung sudah tersedia. Kuncup cengkih di bukit belakang desa yang mulai mewangi pun tengah menunggu untuk dipetik.

Musim panen cengkih sedang berlangsung di Desa Soligi, Kecamatan Obi Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Panen tahunan ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh warga desa yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Kali ini, panen dimulai sejak bulan Desember 2019 dan diperkirakan akan berlangsung hingga Februari 2020. Sungguh menjadi bulan-bulan yang sibuk bagi warga Desa Soligi.

Cengkih merupakan primadona Indonesia yang tersohor ke berbagai penjuru dunia. Dahulu, ketika bangsa Portugis membawa cengkih asal Maluku ke Benua Eropa sekitar abad ke-15, komoditas ini begitu digandrungi. Kemasyhuran cengkih merebak dengan cepat. Seiring waktu, semakin banyak pihak yang ingin mendapatkan produk tanaman bernama nama lain Syzgium aromaticum ini.

Manfaat yang ditawarkan cengkih beragam. Cengkih dapat digunakan sebagai rempah pelengkap kuliner, sebagai bahan rokok kretek karena aromanya yang khas, serta sebagai obat herbal untuk penyakit tertentu. Menurut Sudarmo dalam buku berjudul Pestisida Nabati, Pembuatan dan Pemanfaatannya, daun cengkih kering yang ditumbuk halus dapat digunakan sebagai pestisida nabati dan efektif mengendalikan penyakit busuk batang fusarium, dengan memberikan 50-100 gram daun cengkih kering per tanaman.


Berbudi daya cengkih adalah sebuah tradisi yang dilakukan secara turun-temurun di Desa Soligi. Saera merupakan salah satu orang yang melestarikannya. “Saya memanen cengkih dan mengolahnya sejak tahun 70-an,” ujar Saera. Ketika musim panen tiba, ia senantiasa mengajak anak dan istrinya ke kebun cengkih setiap hari, kecuali hari Jumat karena itulah waktu untuk beristirahat.

Proses pemetikan cengkih


Proses memanen cengkih diawali dengan memilih kuncup yang sudah siap petik. Para pemetik dengan sigap menaiki pohon cengkih dan meraih dahan-dahan dengan tangan kosong. Biasanya yang dipetik adalah kuncup berwarna hijau kekuningan, bukan tangkai yang telah berbunga mekar. Selain tidak sesuai dengan permintaan pasar, bunga cengkih yang mekar itu biasanya digunakan untuk keperluan pembibitan karena menghasilkan polong atau kecambah.

Setelah dipetik, cengkih yang telah terkumpul kemudian dipisahkan dari tangkainya. Warga desa menyebut proses ini dengan istilah “digugur”. Meski demikian, bukan berarti tangkai cengkih itu tidak bisa dimanfaatkan. Warga tetap mengumpulkannya untuk kemudian dijual dengan harga sekitar Rp3.000 per kilogram tangkai kering. Waktu yang biasanya dipilih untuk proses menggugurkan kuncup dari tangkainya ini adalah sore dan malam hari, setelah kegiatan pemetikan di kebun selesai.


Langkah selanjutnya dari rangkaian pengolahan cengkih adalah penjemuran. Cengkih dan tangkainya yang sudah dipisahkan itu dijemur langsung di bawah terik matahari, dari pagi hingga sore. Ketika cuaca panas normal, warga desa biasanya melakukan penjemuran selama tiga hari hingga mencapai kering yang diinginkan. Saat cengkih sudah berwarna coklat kehitaman, itulah tandanya komoditas ini siap dijual. Jumlah cengkih kering yang bisa dihasilkan dari satu pohon selama musim panen tak kurang dari 50 kilogram, tergantung dari kualitas pohon.

Cengkih kering hasil penjemuran


Tumpuan ekonomi

Salah satu keunikan pada musim panen cengkih di Desa Soligi adalah munculnya para pemetik dadakan yang berasal dari berbagai daerah, mulai dari Ambon, Ternate, Buton, Seram, Madapolo, serta daerah lainnya di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Pemetik yang jumlahnya mencapai ribuan orang itu sengaja didatangkan oleh para pemilik kebun untuk membantu panen cengkih. Warga lokal menyebut para pemetik itu dengan istilah “karyawan”.

Musim panen cengkih dapat memberdayakan banyak warga desa. Setiap orang, dari anak-anak hingga dewasa, dapat terlibat langsung dalam rangkaian pemrosesan penyediaan cengkih kering ini. Pun bagi para karyawan dari luar daerah, panen cengkih adalah berkah. Menurut Saera, panen cengkih sangat diminati karena mampu menghasilkan rupiah dengan cepat dibandingkan panen kelapa yang prosesnya lebih panjang dan menghabiskan banyak tenaga.


Namun sayang, belakangan ini, harga cengkih sedang mengalami penurunan. Cengkih kering yang biasanya dihargai lebih dari Rp90.000 per kilogram, kini hanya mencapai angka Rp64.000 di Desa Soligi. Itulah sebabnya karyawan yang datang dari berbagai daerah pun tidak sebanyak panen-panen sebelumnya. Padahal, jika sedang ramai, satu pemilik kebun bisa mempekerjakan sekitar 50 orang karyawan.

Pengangkutan cengkih kering menuju pengepul


Cengkih kering dari Desa Soligi dibawa ke kota-kota besar, seperti Ternate dan Ambon, yang mayoritas diperuntukkan sebagai bahan pembuatan rokok. Di sana para pengepul mematok harga Rp70.000 untuk satu kilogram cengkih kering. Adanya selisih harga dari desa itu untuk menutupi biaya pengiriman yang menggunakan moda transportasi laut.

Menurut Saera, fluktuasi harga komoditas cengkih adalah hal wajar. Para pemilik kebun memaklumi bahwa jumlah permintaan dan pasokan tidak selalu berjalan seiringan. Meski demikian, panen cengkih akan tetap menjadi tradisi yang dilestarikan oleh warga desa. 

Saat di mana ribuan kuncup terhampar di halaman, saat semerbak cengkih terhirup sepanjang jalan, saat menggugurkan tangkai dihiasi oborlan hangat dan kebersamaan, saat itulah masa panen yang dirindukan tiba. “Semoga keberkahan yang melimpah selalu hadir pada panen-panen selanjutnya,” tandas Saera.


(A.R.A, 2020)




Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Banyak kata yang mengarah padanya: keras, sibuk, sesak, obsesi, bahagia, harapan dan lain-lain yang lahir dari imajinasi setiap kepala. Bagi orang yang belum pernah menjamahnya, Jakarta sering kali dianggap sebagai kota utopis tempat di mana semua cita-cita terwujud. Namun nyatanya tak sedikit orang digilas pilu setelah menjajal peruntungan di dalam hiruk pikuknya. Jakarta, seperti para perantau bilang, adalah kota bengis yang punya rayu teramat manis.

Banyak juga yang bilang bahwa Jakarta menawarkan peluang bagi siapa saja yang ingin tumbuh dan berkembang. Aku termasuk orang yang membenarkan anggapan tersebut. Oleh sebab itu pula aku memutuskan kembali ke Jakarta, kota masa kecilku, setelah sekian lama berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Aku kembali sebagai seorang pekerja profesional.
Tahun demi tahun kulewati. Satu per satu harapan yang kutempel di dinding kamar dahulu telah terwujud di kota ini. Namun harga yang ditebus juga sebanding. Ada kemacetan jalan yang harus diarungi, ada desak dan sesak di transportasi umum yang harus kumaklumi, belum lagi kualitas udara yang semakin buruk dengan berbagai polusi. Banyak hal yang membuat hidup di Jakarta begitu melelahkan, tetapi banyak pula alasan yang membuatku harus tetap bertahan.
Seiring waktu berlalu di kota besar ini, sampailah aku pada satu titik jenuh. Sebuah momen yang menyadarkanku bahwa hidup hanya sekali dan patut dirayakan dengan tantangan baru. Aku ingin memiliki lebih banyak pengalaman untuk dikenang suatu hari nanti. Pada titik jenuh itu, terlintas satire Seno Gumira Ajidarma dalam Menjadi Tua di Jakarta yang pernah sepintas kubaca:
“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
Sejujurnya pekerjaanku selama di Jakarta tidaklah membosankan—malah bisa disebut menyenangkan karena bisa bepergian ke berbagai tempat baru dan belajar banyak hal. Kejenuhan justru lahir dari suasana kota yang semakin sumpek oleh manusia dan kendaraan yang kian banyak, panas dan polusi udara yang kian merepotkan, serta menjamurnya para pemabuk politik yang intoleran dan gemar melakukan politisasi agama sehingga membuat kota ini semakin gerah. Benar-benar gerah.
Kejenuhan yang terakumulasi dari berbagai hal itu telah meyakinkanku untuk mengambil sebuah keputusan: pindah ke luar daerah yang sama sekali baru bagiku.
Keputusan ini bukanlah tanpa risiko. Pindah ke tempat baru berarti harus siap dengan segala hal baru dan meninggalkan kebiasaan lama. Aku harus terbiasa menjalani hidup tanpa fasilitas Ibu Kota, tanpa teman-teman lama dan tanpa keluarga. Aku menyadari hal tersebut dan telah kupertimbangkan secara matang. Namun, tetap saja pertanyaan yang lahir dari “rayuan manis Ibu Kota” menohok diriku sebelum perjalanan pergi:
“Kenapa pindah? Padahal di Jakarta kan enak, fasilitas lengkap, gaji lumayan, jabatan juga strategis. Sayang sekali.”
“Orang-orang ingin ke Jakarta, ini malah pindah ke pulau kecil dan jauh. Apa tidak dipikir ulang?”
“Yakin mau lepas karier yang sudah dibangun dari nol? Yakin tidak akan menyesal?”
Aku memahami cara berpikir mereka. Namun seyogianya mereka juga mengerti bahwa standar kenyamanan setiap orang tidak melulu sama. Bagiku, kenyamanan adalah kebahagiaan yang bisa diraih meski dari hal-hal sederahana. Mereka juga mesti tahu bahwa aku merupakan sosok rasionalis, seperti yang mereka tunjukkan. Keputusanku untuk pindah juga didasari oleh pertimbangan yang masuk akal versi kepalaku. Namun apakah seorang rasionalis tidak berhak mengikuti kata hatinya?
Kuakui dengan sepenuh hati, aku mencintai Jakarta. Aku cinta keluargaku di sana, teman-temanku, commuter line, kantor lama, jajanan Tebet, Persija dan banyak lagi yang lain. Jakarta telah menjadi rumah ketigaku setelah Sukabumi dan Bandung. Namun, segala kecintaan itu tak bisa menghalangiku untuk terus berkembang dan menikmati hal-hal baru.
Sebelum usai tulisanku, perlu ditegaskan, aku tidak sepenuhnya setuju dengan ucapan Seno. Kupikir tidak semua orang yang bekerja di Jakarta itu menyedihkan, tidak pula patut dikasihani. Banyak orang yang memang bekerja sesuai selera dan keahliannya. Namun kemalangan yang digambarkan Seno juga harus diakui adanya meski kita tidak bisa memukul rata para pekerja di Jakarta dengan satire tersebut. Kesuraman yang digambarkan itu adalah sebagian risiko yang harus dihadapi dalam melanjutkan hidup di Jakarta. 
Namun, perlu juga kutegaskan, aku tidak sedikit pun bergeming atas berbagai pertanyaan dan penilaian orang-orang yang seolah tahu betul jalan hidupku. Pertanyaan mereka yang terkesan menyayangkan keputusanku hanya akan masuk melalui telinga kanan dan keluar begitu saja melalui telinga kiri; tidak akan sampai ke hati dan mengubah tekad bulat yang kadung terbentuk.
Aku salut dengan para pekerja di Jakarta. Aku salut dengan bapakku yang belasan tahun menerjang jalanan keras kota ini dan menghirup segala polusinya demi keluarga di rumah. Aku juga salut dengan orang-orang yang menolak menyerah dan bermandikan peluh di Jakarta demi diri dan keluarganya. Selama pekerjaan itu halal, tiada yang salah dengan mengadu nasib di Jakarta.
Aku hanya tidak mengerti dengan orang-orang yang menganggap bahwa seluruh kebahagiaan dapat ditemukan di Jakarta. Mereka pun seolah-olah menjadikan Jakarta sebagai barometer kesuksesan seseorang. Jika hal ini dianggap lumrah, maka banyak orang akan menutup mata terhadap peluang yang ada di berbagai daerah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi akan menjadi timpang karena sentralisasi.
Aku termasuk bersama orang-orang yang memilih tantangan baru dan keluar dari bungkus glorifikasi Ibu Kota. Sebab di mana pun berkiprah, bukankah etos kerja yang akan membawa kita pada kesuksesan? Aku tidak mau termasuk ke dalam golongan para perantau yang berduyun-duyun datang ke Jakarta, memenuhi jalan dan transportasi umum, kemudian mengeluh “Kenapa Jakarta sesak sekali? Kerja pemerintah apa kalau begini?”
Aku jadi berpikir, jika semua orang ingin ke Jakarta, lalu siapa yang akan mengolah potensi daerah? Oleh karena itu, marilah mencari kebahagiaan kita masing-masing. Terserah apakah kita akan menikmati “rayuan Ibu Kota” atau mencari rayu-rayu yang lain di suatu tempat, yang jelas, ikutilah kata hati bukan ucapan orang yang bahkan sama sekali tak mengerti pandangan hidup kita.
Lalu, kembali ke Jakarta? Itu pasti. Entah hanya singgah sesaat, entah mewujudkan salah satu mimpi yang dulu pernah kubuat.

Adam R.A.
Ternate, 18 Juni 2019