Sedikit Cerita Kompas


Pada 27 Juli lalu, aku diberi kesempatan berharga oleh Harian Kompas untuk menyelami keredaksian media yang berumur setengah abad itu, mungkin pula seumur denganmu. Tidak lama, hanya setengah bulan. Namun cukup bagiku untuk menjala pengalaman yang rasanya takkan diajarkan di bangku perkuliahan. Dari banyak pengalaman yang kudapat, di antaranya akan kuceritakan pada tulisan ini.

Sejak hari pertama aku belajar di Harian Kompas, Bagian Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kompas langsung menempatkanku di Desk Politik dan Hukum. Sungguh di luar dugaan. Awalnya kukira Bagian Diklat akan menempatkanku di rubrik Sosok yang saban hari memroduksi tulisan feature, sesuai dengan bidang yang kupelajari dua tahun belakangan ini. Sebelumnya pun, saat aku mengajukan berkas lamaran, tiga tulisan yang kusertakan seluruhnya berbentuk feature. Penempatan di desk Polhuk awalnya begitu membuatku ragu. Jika kau sekelas denganku di Prodi Jurnalistik saat ini, kau akan tahu alasannya. Terlebih lagi aku belum terbiasa menulis berita seputar politik dan hukum. 

Ini adalah beberapa alasan mengapa aku was-was dengan penempatanku di desk Polhuk: pertama, adalah yang kujelaskan tadi. Kedua, desk Polhuk bisa dibilang rubrik utama di Harian Kompas, dengan jatahnya sebanyak empat halaman dan ditempatkan di awal. Ketiga, Harian Kompas adalah koran berskala nasional, maka berita yang diburu pun hanya hal-hal yang dianggap layak diketahui pembaca se-Indonesia. Dengan kata lain, isu yang harus kukejar menyangkut tokoh dan kasus besar. Keempat, penggawa di desk Polhuk adalah para wartawan senior, yang bahkan pengalaman mereka di media jauh lebih tua dari usiaku saat ini. 

Namun alasan itu rasanya tidak pantas untuk menghentikan langkahku mencari ilmu di Koran nomor satu itu. “Wahai diri,” kubilang saat itu, “Bukankah ini yang kau cari? Pengalaman baru dan menantang? Alasan yang kau bilang tadi cukup jelas menjadi sebab alasanmu berada di ibu kota ini!” Lalu kuingat nasihat Imam Syafi’i yang kira-kira begini: Jika kau tak tahan lelahnya belajar, maka kau harus menahan perihnya kebodohan. Siang itu langsung kukencangkan tali sepatu dan beli es buah khas Cirebon, lalu berangkat ke  Palmerah yang sudah sangat gerah.

Oh ya, belajar di Jakarta mudah-mudah susah (banyak hal yang seharusnya mudah jadi lebih susah). Salah satunya urusan transportasi. Kusarankan, bagi kamu yang juga ingin belajar atau berkarir di Jakarta, siapkan transportasi yang memudahkanmu menjalankan pekerjaan. Kalau aku, sejak hari pertama hingga selesai, selalu menggunakan sepeda motor dan aplikasi penunjuk jalan supaya lancar. Alhamdulillah masih suka nyasar. Tidak apa, mungkin dengan cara itu Tuhan menuntunmu ke jalan yang benar. Apa sih.

Sebelumnya aku mau bilang, Kompas itu keren! Bukan hanya fasilitas kantor dan pelayanannya, namun juga sikap para kru redaksi yang begitu membuat nyaman. Sebuah kesempatan bagiku untuk merasakan nikmatnya mencari ilmu di sana. Kau tahu? Bagian Dikat menunjuk siapa untuk jadi mentorku? Mas Hernowo! Gak kenal kan? Sama. Aku cari-cari beliau di ruang redaksi saat hari pertamaku. Ternyata, setelah diberi tahu bagian sekretaris redaksi, Mas Hernowo itu Kepala Desk Politik dan Hukum! Bosnya para wartawan politik dan hukum Kompas! Waw. Padahal kuduga sebelumnya, yang akan menjadi mentor selama aku magang adalah wartawan Kompas (yang masih turun ke lapang), ternyata lebih dari itu! Sebuah tantangan sekaligus kesempatan emas tentunya.

Aku salami dia, kuperkenalkan diri sambil senyum-senyum (padahal kaki bergetar dan jantung deg-degan). Nama lengkapnya Marcellus Hernowo. Mas Hernowo ini kalau bicara sangat terasa logat Jawanya; pertukaran katanya cepat; kalimatnya bijak dan yang terpenting, senyumnya tiada ujung. Ah, sungguh sosok yang menginspirasi.

Kau tahu apa yang pertama kali aku dan Mas Hernowo diskusikan? Duo Srigala? Bukan! Mas Hernowo bertanya padaku, “Dam, menurutmu, di luar angkasa itu isinya apa? Apakah ada ruang hampa yang tak kuasa dimasuki waktu? Apa ujung alam semesta ini?” Lalu kurasa gagal semua persiapan materi kejurnalistikan—yang aku siapkan jika ada pertanyaan mendadak dari mentor—karena sebaris pertanyaan Mas Hernowo tadi. Tadinya aku mau menjawab dengan jawaban ilmiah, tapi, jika kupaksakan, akan terlihat jelas kebodohanku di hadapannya. Kau tahu apa yang kujawab? “Oh itu Mas, kalau yang saya tonton dari film Interstellar, di bagian dunia sana, waktu akan berputar lebih lambat daripada di sini.” Lalu perbincangan kami beralih ke hal-hal yang ringan, termasuk membicarakan Mbak Riana, yang nanti akan kuceritakan. 

Jadi begini, setiap hari selama magang, aku diwajibkan mencari berita dengan isu seputar politik dan hukum. Setelah seharian liputan (meski beberapa kali hanya menghabiskan dua jam), aku menulis berita di ruang redaksi Kompas, lantai tiga. Kukira perlakuan terhadap anak magang akan menyedihkan, seperti cerita beberapa orang seniorku di Bandung. Namun, di Kompas, aku ditempatkan sejajar dengan wartawan senior yang kiprah mereka tak perlu diragukan lagi. Di samping meja kerjaku, ada meja Mas Hernowo sebagai bosnya desk Politik dan Hukum. Ada juga Sekretaris Pemred Mbak Retno di depan meja. Pun otomatis Pemred Kompas Pak Budiman selalu melewatiku hampir setiap malam karena ruangannya sama dengan Mbak Retno. Kemudian ada juga Mbak Maria yang kisahnya kubaca dalam beberapa buku tentang cerita teladan jurnalis. Ada Mas Hamzirwan, Mbak Ana, Mas Sutta dan juga Mas Arbain Rambey yang meramaikan suasana di ruang redaksi. Satu kata bagiku saat itu: ruang redaksi yang egaliter. 

Tentang Liputan

Kompas memiliki aturan berbeda bagi peserta magang. Biasanya, kalau di media lain, mahasiswa magang diberikan kesempatan untuk mengisi berita sesuai medianya masing-masing. Misalkan Robby, temanku di Lembaga Pers Mahasiswa Suaka, dia berkesempatan magang di Tempo dan hampir setiap hari beritanya dicetak di Koran, atau naik di website Tempo. Berbeda dengan Kompas. Jadi, kalau Kompas, mahasiswa magang tidak diprioritaskan untuk membuat berita yang akan dipublikasi. Kompas fokus kepada penempaan mahasiswa magang agar tulisannya lebih baik setelah menyelesaikan proses magangnya di Kompas. Tentunya dengan berbagai macam cara. Bagiku, soal naik atau tidaknya berita ke Harian Kompas, itu bukan masalah. Yang penting bagaimana caranya aku bisa mendapat pelajaran sebanyak-banyaknya dari koran nomor satu—berdasarkan oplah—di Indonesia itu. 

Mas Hernowo tidak setiap hari memberiku isu liputan. Biasanya aku meminta proyeksi liputan di malam hari setelah evaluasi atau di pagi hari. Untuk mengantisipasi Mas Hernowo yang tidak memberi isu liputan, maka aku harus saksama membaca isu yang sedang berkembang di ranah politik dan hukum. Atau, aku bertanya kepada wartawan Kompas yang sudah ditempatkan sesuai job description masing-masing.

Bagi kamu yang nanti berkesempatan magang di Kompas, aku sarankan jangan cicingeun (pendiam). Banyaklah sharing dengan wartawan atau redaktur di sana. Manfaatnya akan terasa, terutama saat kau bingung menentukan isu liputan. Pernah beberapa kali, saat Mas Hernowo tidak memberiku isu, aku langsung bertanya kepada Mbak Ana (yang sekarang sudah diangkat menjadi wakilnya Mas Hernowo). Mbak Ana biasanya meliput perkara di Tipikor. Atau aku bertanya kepada Mbak Riana yang bertugas di Kejagung dan Pengadilan Negeri serta Mbak Age yang setia menunggu narasumber di KPK. Tidak hanya bertanya, aku pun meminta kesediaan mereka untuk kuikuti selama bertugas. Bukan karena tidak mandiri, namun kupikir, akan ada waktu lebih dan kedekatan yang terjalin saat aku menemani mereka di lapangan. Akhirnya, banyak hikmah yang kudapat: persahabatan, pengalaman, pelajaran dan kritik serta saran. 

Oh ya, karena aku bertugas di Desk Politik dan Hukum, maka angle liputanku tidak jauh dari situ. Beberapa perkara yang kuliput, di antaranya: Sidang Sutan Bhatoegana; sengketa surat pemecatan Prabowo; kunjungan Presiden Turki; persiapan Pilkada serentak di KPU pusat; pemeriksaan Gubernur Sumut dan istrinya di KPK; sidang praperadian Dahlan Iskan; diskusi bersama Ketua Komisi II DPRRI dan masih banyak isu nasional lainnya. Yang kusyukuri atas kesempatan magangku di Kompas, aku bisa meliput isu-isu besar yang tak bisa kudapatkan saat aku bertugas untuk media di daerah. 

Setelah liputan, biasanya saat malam hari, aku pergi ke ruang redaksi untuk menulis berita, kemudian dikoreksi oleh Mas Hernowo. Sempat pula tulisanku dikoreksi oleh Mas Suhartono dan Mas Adi Prinantyo (yang saat ini dipercaya menjadi Kepala Desk Olahraga). Di sini uniknya:
Entah karma atau apa, yang jelas, kebiasaanku mengkritik dan sedikit memarahi reporter di LPM Suaka dan Jurnalpos (Pers Mahasiswa di UIN Bandung), terasa olehku di ruang redaksi Kompas. Tulisanku, yang kurasa sudah layak, ternyata masih dikritik habis-habisan oleh para mentor. Lead berita kurang bagus, judul kurang pas, substansi dan struktur tulisan menjadi makan malam pedas yang biasa tersaji di waktu evaluasi. Baru terasa olehku: bahwa jurnalis bukan hanya harus memiliki fisik dan intelektual yang kuat, namun mental yang jauh harus lebih kuat. Namun keadaan menegangkan itu hanya berlangsung selama tiga hari pertama. Karena selanjutnya, tulisanku tak terlalu banyak dihantam oleh mereka. Meski masih ada beberapa yang harus diperbaiki. Kalau tidak malu dengan rambut gondrongku saat itu, mungkin aku sudah meneteskan air mata di ruang redaksi. Kau tahu apa yang lebih tajam dari pedang? Ya, kata. 

Hari-hari selanjutnya, selama menjalankan tugas sebagai peserta magang, kujalani dengan super bahagia dan tertata. Bahkan karena sudah biasa, aku bisa mengatur waktu dan lebih banyak mengeksplorasi kekerenan Kompas. Perpustakaan dan ruang Litbang Kompas sudah khatam kujelajahi. Pun redaksi Kompas.com serta ruang percetakan yang tak terlewatkan untuk kujamahi. 

Tentang Nama

Di suatu malam yang sibuk, saat beberapa wartawan sudah terlihat suntuk, aku berbincang dengan Mas Hernowo. Bukan soal status—karena seringkali Mas Hernowo mengejekku yang masih jomblo dan berusaha menjodoh-jodohkan dengan Mbak Riana dan Mbak Age yang luar biasa—tapi soal pemberian nama Kompas. Kutanya dia saat itu. “Mas, dosenku (yang seringkali dikritik oleh Mas Hernowo) bilang, kalau Kompas itu diambil dari Komando Pastur? Masa iya?”. Mas Hernowo tersenyum. Sabil makan kue di mejanya, dia bilang “Dosenmu kurang baca, Dam. Kamu cari sendiri deh di Litbang, nanti ketemu jawabannya,” kata Mas Hernowo. Nanti kutuliskan hasil pencarianku.
Obrolan kami lanjutkan. Kutanya, “Mas, kalau berita soal keagamaan, biasanya posisi Kompas di mana?”

Kau mungkin menganggapku terlalu ekstrem menanyakan persoalan agama. Namun, ini yang membuatku penasaran. Mumpung sedang bersama orang yang tepat, mengapa tidak kutanyakan? Lalu begini jawaban Mas Hernowo.

“Nah itu, Dam. Saya rasa di sini kalau soal agama abu-abu. Tidak seperti teman kita di Republika. Kenapa? Kamu bisa amati. Sebagian besar wartawan di sini adalah muslim yang taat. Namun banyak juga yang nonmuslim. Soal berpihak ke mana, kita berdiri di atas jurnalisme. Contohnya soal Tolikara, kita tidak membela siapapun. Bahkan, langkah kita saat itu adalah untuk meredam suasana. Karena banyak pemicu konflik yang Kompas sembunyikan demi tercapainya kedamaian. Maka kamu bisa baca sendiri gimana beritanya”.

Dia menambahkan. “Soal agama, saya rasa di Kompas ini luar biasa. Wartawan yang nonmuslim bersedia menunda jadwal makan siang mereka ke maghrib saat bulan puasa, untuk bisa buka puasa bareng wartawan muslim. Soal makanan kan disediain gratis sama kantor, hehe. Di sini toleransinya luar biasa, maka soal arah berita tentang keagamaan, biar pembaca yang menilai.”

Bukan tanpa alasan aku bertanya seperti itu. Kau tahu? Aku sedikit jijik kepada dosen dan teman-teman yang memiliki stigma bahwa sebuah media menjadi jelek soal pemberitaannya hanya karena urusan agama. Dosenku, takkan kubilang namanya, tapi kalau kau sekelas denganku kau akan tahu, selalu bilang bahwa Kompas adalah media kafir yang menyesatkan. Kan edan. Maka itulah aku tanyakan hal tersebut ke Mas Hernowo. Lalu, beginilah kira-kira kesimpulanku:

Sejarah Kompas, saat kucari di Litbang sesuai instruksi Mas Hernowo, ternyata dimulai pada April 1965. Panglima Angkatan Darat Jenderal Achmad Yani mengusulkan kepada Drs. Frans Seda, Ketua Partai Katolik, agar partainya memiliki sebuah media. Frans Seda menghubungi dua rekan yang berpengalaman menangani media massa, yaitu Petrus Kanisius (PK) Ojong dan Jakob Oetama, yang dua tahun sebelumnya menerbitkan majalah Intisari. 

Tanggal 25 Juni 1965, Frans Seda selaku Menteri Perkebunan bertemu dengan Presiden Soekarno di istana. Presiden menanyakan nama koran yang akan terbit. Frans Seda mengatakan bahwa koran itu bernama Bentara Rakyat. Spontan Bung Karno berkomentar nama koran itu mirip koran PKI. “Saya usul nama koranmu Kompas, artinya penunjuk arah,” kata presiden. 
Kemudian, dari pengamatanku, Kompas menyediakan tempat beribadah—khususnya mushala—yang lebih dari layak. Di setiap lantai terdapat tempat yang nyaman bagi karyawan muslim yang hendak beribadah. Berbeda dengan media di daerah yang kutahu, dengan mengaku-ngaku media Islam, namun tempat beribadahnya kurang diperhatikan. 

Selain itu, di ruang redaksi pun seringkali diadakan diskusi keislaman. Soal isu-isu keislaman pun Kompas sudah lebih maju. Saat aku magang, kebetulan sedang ramai Muktamar Muhammadiyah dan NU. Kau tahu? Tanpa ragu Kompas mengirim wartawan terbaiknya, termasuk Mas Hamzirwan selaku editor, ke Jombang dan Makassar untuk secara langsung meliput acara besar ormas Islam tersebut. Jadi, menurutku, pendapat dosenku yang mengatakan bahwa Kompas adalah Komando Pastur yang menyesatkan adalah keliru. Itu pendapatku, entah menurutmu, silakan tafsirkan sendiri. 
Kalimat dari Mas Hernowo yang masih hangat di telingaku: “Di Kompas semuanya harmonis. Wartawan dengan keyakinan berbeda bisa bersatu padu memberikan dedikasi bagi khalayak, intinya, kami egaliter”.

Tentang Wacana

Suatu siang, ketika musim pemberitaan pasal penghinaan kepada presiden, Mas Hernowo bilang begini: “Itu di tv perasaan berita pasal penghinaan presiden terus yang muncul”. Kemudian kutanya, “Mas, kalau Kompas gimana kebijakan redaksi soal pengarahan isu?”

Kemudian Mas Hernowo menjelaskan, Kompas punya aturan sendiri soal wacana apa saja yang akan diberitakan. Misalkan dalam pemberitaan pasal tadi, Kompas tidak terlalu banyak ambil bagian, karena itu sarat kepentingan pihak tertentu. “Biarlah teman-teman tv tetangga yang beritakan, karena isu itu sebetulnya sudah lama,” kata Mas Hernowo. 

Atau, ketika ramai rencana Pilkada Serentak pada 9 Desember 2015 nanti. Kompas mendukung penuh niatan tersebut. Pemberitaan yang ditulis di harian Kompas—termasuk opini yang dimuat—diarahkan sedemikian rupa supaya khalayak mendukung penyelenggaraan Pilkada Serentak tersebut. Pun dalam mengkritisi kinerja pemerintah, Kompas memiliki trik tersendiri. “Kita tidak seperti teman-teman Tempo yang begitu tajam menghantam, kita juga menghajar, namun tidak sampai bonyok,” kata Mas Antony Lee, salah seorang mentorku yang bertugas meliput di KPU. 

Lalu kutanyakan pada Mas Hernowo dan Mas Antony, yang kebetulan sedang dalam obrolan yang sama, mengapa Kompas terkesan tanggung dalam pemberitaan. Lalu Mas Hernowo menjawab. “Kami sudah mempelajari efektifitas kritik. Berdasarkan pengamatan, pihak yang terlalu sering dikritik pada akhirnya akan kebal kritik, dan pesan perbaikan yang disampaikan akan sulit diterima,” kata Mas Hernowo. 

Maka dari itu, menurut Mas Hernowo, Kompas mengombinasikan secara proporsional pujian dan kritikan, agar pesan yang disampaikan dapat diterima secara efektif. “Kamu misalnya Dam, kalau terus-terusan dikritik maka akan keras. Juga kalau terus-terusan dipuji akan lembek. Tapi, kalau pujian dan kritikan disampaikan secara pas, akan terasa hasilnya. 

Kemudian, pada hari-hari terakhirku di Kompas, Mas Hernowo bertanya seperti ini. “Apa yang kamu sadari dari Kompas selama magang?”

Tadinya aku mau bilang kalau wartawan Kompas cantik-cantik, tapi tidak jadi. Begini kujawab: “Setahu saya, Mas, Kompas itu begitu hati-hati dalam penyampaian berita. Tidak menghakimi dan mencoreng  esensi jurnalisme. Menurut saya, tulisan Kompas itu bijaksana”.Lalu Mas Hernowo tersenyum sambil bilang, “Nah itu Dam, sekarang kamu tahu apa yang jadi pegangan Kompas, Jurnalisme Damai!”

Tentang Kritik

“Kamu kan sudah belajar setengah bulan di Kompas, coba saya minta kritikan dari kamu,” Mas Hernowo menantangku untuk mengkritik kinerja Kompas yang menurutku tanpa cacat. Namun Kompas tetaplah Kompas: sebuah media besutan manusia yang tak selamanya benar. Lalu kubilang begini:

Susah mencari kesalahan Kompas. Apalagi saya yang baru belajar jurnalisme tiga tahun belakangan ini. Tapi, menurut saya, ada beberapa yang kurang dari Kompas. Pertama, saya masih suka menemukan kesalahan pengetikan di Harian Kompas, apalagi di Kompas.com. kedua, mengapa Kompas belum berani memakai by line (nama penulis berita), apakah itu tidak mengurangi kredibiitas Kompas sebagai media ternama?

Soal kesalahan penulisan, Mas Hernowo jawab seperti ini: 

Itu memang susah dihilangkan. Selalu ada meski satu huruf. Apalagi kita kan banyak desk dan halaman. Mungkin ke depannya akan kita temukan cara yang ampuh untuk memberantas kesalahan penulisan itu. Tapi, kebiasaan di sini, misalkan satu minggu kita gak ada kesalahan, tiba-tiba ada kesalahan di satu hari, kesalahan itu susah hilangnya sampai satu minggu berikutnya. Entah kenapa. Tapi kita ada papan evaluasi di tengah sana, untuk mengingatkan betapa pentingnya berhati-hati dalam menulis. 

Soal pencantuman by line seperti ini:

Itu bukan soal. Sekarang begini, satu berita itu seringkali karya kolektif. Bukan perorangan. Bahkan satu berita bisa digarap oleh empat sampai lima orang. Terbayang kan kalau kita harus mencantumkan lima nama lengkap di bawah berita? Itu akan boros tempat. Kemudian, alasan Kompas pakai inisial, karena setiap tulisan itu bukan lagi tanggung jawab perorangan. Kalau ada tulisan bermasalah, nanti yang kena selain wartawan, ya redaktur dan pemred. Itu sudah menjadi tanggung jawab bersama. Kalau soal inisial yang diragukan, pembaca bisa lihat saja susunan redaksi di Harian Kompas. Untuk pencantuman nama penulis, ada juga dengan nama lengkap. Itu biasanya di tulisan feature. Karena apresiasi untuk penulis dinilai lebih tinggi untuk karya feature. By line sejauh ini tidak terlalu menghambat bagi Kompas. 

Aku tidak berani menyuarakan kritik terlalu banyak, selain tidak punya dasar yang kuat, aku khawatir dicap so pintar dan sok benar oleh mentorku itu. 
--
Sebetulnya masih banyak yang ingin kuceritakan tentang Kompas, termasuk soal kesejahteraan, kebiasaan karyawan, pengalaman liputan, kebersamaan di dalam dan luar kantor dengan kru redaksi, kesempatan berkarir, diskusi dan obrolan santai dan lainnya yang kualami selama magang. Semoga bisa kuceritakan di tulisan selanjutnya. Terimakasih Mas Hernowo yang luar biasa, Mas Antony yang tenang, Mas Suhartono yang ramah, Mas Hamzirwan yang murah senyum, Mas Adi yang sudah traktir makan malam (Itu makan malam terhebat, karena bisa satu meja dengan orang-orang luar biasa Kompas), Mas Iksan yang suka ciye-ciye, Mas Kumoro yang bawel, Mas Osa yang penuntun, Mbak Age yang tangguh, Mbak Riana yang riang, Mbak Ana yang sabar, Mbak Nita yang tegas,dan Mas serta Mbak lainnya yang terlalu banyak kalau disebutkan satu persatu. 

Selamat setengah abad Kompas, tetaplah berwarna di setiap abad!






2 komentar:

  1. kalau magang di kompas dari jurusan apapun apa akan selalu menjadi pembuat berita?

    BalasHapus
  2. Kk, cara mangang di harian kompas gimana?

    BalasHapus